Perempuan Disabilitas Perlu Perhatian Lebih

SAPDA

Perempuan dengan disabilitas masih mengalami hambatan dalam berkeluarga dan memilih pasangan hidup. Hal itu disampaikan Nurul Saadah Andriani dalam forum International Conference Disabilitas on Diversity in Asia (ICDDA) yang berlangsung di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang pada 24 September 2014.

Acara yang berlangsung selama dua hari ini (24-25 September) merupakan kerja sama antara Universitas Brawijaya dengan La Trobe Law School, Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD), dan AIDRAN. Konferensi ini cukup penting mengingat 60 persen jumlah disabilitas di dunia berada di Asia. Sementara itu, sudah ada 30 negara yang sudah meratifikasi Konvensi PBB mengenai Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD).

SAPDA diberi kesempatan untuk mengisi forum di Sesi Pleno bertema Women with Disabilities: Lived Experience. Sesuai temanya, sesi ini mengulas berbagai aspek kehidupan perempuan disabilitas. Selain Nurul, ada tiga pembicara lain yang hadir. Mereka diantaranya adalah Yustitia Arief, Fatum Ade, dan Mukhanif Yasin Yusup. Dua pembicara terakhir merupakan peneliti disabilitas di SAPDA, sementara Yustitia Arief adalah mantan presenter televisi swasta yang juga merupakan disabilitas.

Yustitia mengisahkan pengalaman hidupnya sebagai perempuan disabilitas. Meski mengalami lumpuh polio sejak kecil, Yustitia beruntung lahir dan tumbuh di keluarga yang selalu mendukung pilihan hidupnya. Termasuk untuk urusan melanjutkan studi di perguruan tinggi. Keluarganya mendukung. Yustitia berhasil menamatkan kuliahnya di Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran Bandung.

Nasib mujur kerap mendatangi Yustitia. Pasca meraih gelar sarjana, ia memasukkan lamaran kerja di lima perusahaan, dan semua perusahaan menerimanya. Tapi, menjadi presenter berita yang paling menyentuh hatinya. “Saya lima belas tahun bekerja di profesi ini,” ujar pendiri Yayasan Audisi ini.

Jika Yustitia tidak mengalami hambatan selama kuliah, lain halnya dengan Mukhanif Yasin Yusup. Dalam paparannya, Hanif menjelaskan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia masih menempati ruang marjinal. Menurutnya hal ini terjadi karena selama ini penyandang disabilitas dipandang sebagai  tidak normal, cacat, tidak sempurna, dan sebagainya. Cara pandang ini tidak terlepas dari konstruksi tubuh yang ada di masyarakat.

“Cara pandang ini juga terjadi di pendidikan,” papar Hanif. Maka sangat wajar, sambung Hanif, bahwa partisipasi penyandang disabilitas dalam pendidikan sangat minim. Hal ini terbukti dari 36 persen  Angka Keterlibatan Pasif (APK) di Indonesia, hanya 0,95 persen yang menempuh perguruan tinggi.

Kondisi perempuan disabilitas terdengar semakin minor dari pemaparan Fatum Ade. Sebagai perempuan disabilitas, Dede, begitu ia disapa, menyampaikan kelirunya perspektif masyarakat dalam memandang perempuan disabilitas. Mereka kerap dipandang sebagai makhluk yang tidak memiliki hasrat seksual, tidak bisa hamil, dan sulit memiliki anak. “Ada banyak perempuan disabilitas yang memiliki karir dan mampu merawat anak,” papar Dede.

Dede melanjutkan bahwa hak seksual merupakan hak dasar manusia yang dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, perempuan disabilitas juga berhak mendapatkan informasi atas kesehatan seksual mereka.

Berdasarkan pemaparan keempat pemateri di atas menunjukkan bahwa perlu upaya penanganan dan pelayanan lebih pada perempuan disabilitas, terutama dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan sosial masyarakat.