Ambiguitas Cakap Hukum pada Penyandang Disabilitas

Ambiguitas Cakap Hukum pada Penyandang Disabilitas

Meskipun pemerintah telah menjamin kecakapan hukum bagi penyandang disabilitas lewat undang-undang, tetapi masih banyak yang meragukan kecakapan hukum penyandang disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Hal ini dikatakan Nurul Sa’adah, dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada seminar “Komplesitas Gagasan atas Kecakapan Hukum Penyandang Disabilitas di Indonesia” bertempat di Fakultas Hukum UGM, Senin (2/12).

“Dalam kasus pidana seorang penyandang disabilitas netra yang menjadi saksi dalam perisrtiwa pemukulan pada istrinya tidak dianggap kesaksiannya karena tidak melihat sendiri peristiwa tersebut “ Terang Nurul.

Lebih lanjut, Nurul menjelaskan bahwa kasus yang dialami penyandang disabilitas yang seringkali tersendat tidak sebatas pada kasus pidana, tetapi juga lainnya. Dalam kasus hak ahli waris dan pengurusan akta notaris, penyandang disabilitas intelektual juga seringkali dianggap tidak cakap hukum.

“Probelmatika ini menyebabkan mereka kehilangan hak untuk membuat keputusan atas tubuh, masa depan, pekerjaan, bahkan kehilangan harta kekayaannya,” jelas Nurul.

Seminar ini merupakan rangkain dari peringatan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati setiap tanggal 3 Desember. Acara yang merupakan kerjasama antara SAPDA, AIDRAN, Law Trobe School Australia dan Fakultas Hukum UGM ini bertujuan untuk mengurai cakap hukum yang selama ini cenderung mendiskriminasikan penyandang disabilitas.

“Adanya berbagai konsep cakap hukum dalam hukum di Indonesia menjadikan batasan cakap hukum antara hukum yang satu dengan lainnya menjadi berbeda-beda. Hal ini menjadi hambatan tersendiri bagi penyandang disabilitas” terang Rimawati, dosen Fakultas Hukum UGM.

Acara ini juga menghadirkan Prof. Patrick Keyzer dari La Trobe Law School, Australia dan Tio Tegar Wicacksana mewakili elemen penyandang disabilitas yang juga merupakan mahasiswa Fakultas Hukum, UGM.