[#EdisiKonferensi] Pentingnya Memperjuangkan Hak Perempuan Disabilitas Masyarakat Adat

Pada tahun 2011, Indonesia resmi menandatangani Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas yang ditandai dengan terbitnya Undang-undang nomor 19 tahun 2011. Menurut pasal 23 ayat 1 butir a dari konvensi tersebut, perempuan disabilitas memiliki hak untuk menikah dengan persetujuan dan menentukan pasangannya sendiri.

Namun, hak tersebut seringkali tidak terjangkau oleh perempuan disabilitas yang menjadi bagian dari komunitas masyarakat adat dan terikat dengan nilai-nilai adat. Hal tersebut salah satunya berhasil dibuktikan oleh penelitian bertajuk ‘Dilema Adat ada Perjodohan Disabilitas’ karya Desmaisi.

Desmaisi sendiri meneliti tentang budaya perjodohan yang jamak diterapkan kepada kelompok perempuan disabilitas dalam masyarakat adat Nagari Padang Gantiang, Sumatera Barat. Ia mengatakan bahwa praktik perjodohan ini berkaitan erat dengan banyaknya kasus kawin-cerai di daerah tersebut.

“Salah satu struktur yang memberdayakan praktik kawin cerai itu adalah praktik perjodohan,” kata Desmaisi, ketika memaparkan hasil penelitiannya dalam diskusi bertema ‘Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) dan Kekerasan’ pada Selasa (3/11) lalu.

Diskusi Nasional HKSR dan Kekerasan merupakan sesi ke-4 dari rangkaian Konferensi Nasional Hasil Riset Advokasi Berbasis Geder, Disability, & Social Inclusion (GEDSI). Risetnya sendiri telah berjalan sejak 8 Oktober 2019 lalu.

Berdasarkan survei pribadinya yang dilakukan pada tahun 2017, Desmaisi menemukan terdapat 48 kasus perceraian di wilayah tinggal masyarakat adat Nagari Padang Gantiang. Angka tersebut kemudian naik menjadi 136 kasus pada tahun 2018.

Lebih lanjut, Desmaisi menjelaskan bahwa praktik perjodohan ini dilanggengkan oleh stigma-stigma yang mengakar kuat tentang perempuan dan disabilitas. Stigma yang paling lekat adalah bahwa disabilitas bukan individu yang mandiri. “Muncul pandangan masyarakat bahwa jangankan mengurus orang lain, mengurus dirinya sendiri saja dia belum bisa. nah bagaimana nanti dia mengurus suaminya sendiri?” katanya.

Karena itu, masyarakat adat Nagari Padang Gantiang berpendapat bahwa perempuan disabilitas harus dinikahkan dengan laki-laki sesama disabilitas. “Jadi masyarakat menganggap perempuan disabilitas dengan laki-laki disabilitas itu adalah orang yang senasib, jadi mereka dijodohkan,” ujar Desmaisi.

Stigma lainnya, perempuan dewasa yang belum menikah dianggap sebagai aib dan dianggap berpotensi menjadi pelaku pelanggaran nilai dan norma. Perempuan yang lebih tua juga harus menikah lebih dulu ketimbang saudarinya yang lebih muda. “Jika tidak begitu, si kakak (diyakini) akan susah mendapatkan jodoh,” tutur Desmaisi.

Budaya perjodohan antar sesama disabilitas semakin terlegitimasi dengan adanya agen-agen dalam masyarakat adat Nagari Padang Gantiang. Salah satunya adalah adalah sosok ‘mamak’ atau saudara laki-laki dari ibu (paman), yang memiliki memiliki kewenangan adat untuk mencarikan jodoh dari kemenakan (keponakan) yang disabilitas.

“Di sini tindakan mamak itu pun didukung oleh keluarga. Jika ada kemenakannya yang perempuan itu difabel atau pun disabilitas, maka mamak akan turun tangan langsung untuk mencarikan laki-laki,” jelas Desmaisi.

Agen lain yang turut melegitimasi budaya perjodohan ini adalah sosok ‘bundo kanduang’, yakni perempuan tertua yang memimpin satu keluarga besar di rumah Gadang. Menurut Desmaisi, Bundo Kanduang punya peran penting dalam mereproduksi nilai-nilai tentang perjodohan sesama disabilitas.

“Perjodohan adalah turun temurun dan hal yang biasa. Jadi tidak hanya orang biasa atau pun masyarakat non-disabilitas, tidak hanya pemangku adat, ternyata orang yang dihormati juga melakukan praktik perjodohan,” kata Desmaisi.

Mengingat betapa strategisnya posisi mereka, Desmaisi pun berharap agar ada sosialisasi tentang kesetaraan perempuan dan disabilitas. Menurutnya, akan lebih baik jika sosialisasi tersebut diberikan bukan kepada masyarakat adat. “Tapi lebih ke pemangku adat dan juga masyarakat umum,” katanya.

Tidak Jauh Berbeda

Senada dengan Desmaisi, Mariah Un dari Himpunan Wanita Disabilitas (HWDI) Sulawesi Selatan yang hadir sebagai penanggap, juga setuju bahwa para tokoh adat menjadi kunci penting. Ia harus bekerjasama dengan pemerintah desa memperbanyak mainstreaming isu disabilitas dan gender yang menurutnya saat ini masih dilakukan secara parsial.

“Tokoh adat memiliki peran yang sangat strategis di dalam masyarakat adat, termasuk mempengaruhi atau memberikan pertimbangan terkait dengan pembangunan dalam pemerintah desa. Tokoh adat menjadi satu tokoh kunci yang perlu dibangun pemahamannya terkait dengan disabilitas dan gender itu sendiri,” jelas Mariah.

Dalam paparannya, Mariah bercerita bahwa apa yang dialami perempuan disabilitas dari masyarakat adat di Nagari Padang Gantiang, tidak jauh berbeda dengan di kampung halamannya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, juga terdapat budaya perjodohan yang hampir serupa.

“Ini dialami juga oleh kami, bahwa peran paman begitu dominan di dalam menentukan nasib keponakannya yang perempuan, terutama di dalam memutuskan berapa uang mahar, kemudian setuju atau tidak setuju laki-laki yang akan meminang keponakan perempuan. Dan si ibu sama sekali tidak dilibatkan dan tidak di dengar suaranya dalam proses pengambilan keputusan tersebut,” tuturnya.

Selain antar daerah yang berbeda, kesamaan pengalaman juga ditemukan antar perempuan disabilitas masyarakat adat dengan yang dari masyarakat umumnya. “Hanya saja, ketika kita berbicara tentang masyarakat adat, tentu kondisi mereka dan situasi mereka itu lebih rentan,” tegas Mariah.

Misalnya adalah perihal tingginya pembedaan antara laki-laki dan perempuan, terutama yang disabilitas. “Itu bisa dikarenakan oleh pemahaman ajaran agama atau kepercayaan yang menomorduakan perempuan. Kemudian dan juga karena budaya,” kata Mariah.

Menurut riset yang dilakukan HWDI pada tahun 2017, pembedaan tersebut paling nampak pada acara ritual adat. “Masih banyak terjadi penyandang disabilitas itu tidak diperkenankan mengikuti ritual, karena nanti hasilnya (diyakini) akan kurang atau gagal. Dan itu dikaitkan dengan kondisi fisik penyandang disabilitas yang dianggap kurang atau rusak,” ujarnya.

Porsi perempuan disabilitas dalam struktur adat pun juga begitu sedikit. “Jika pun ada itu sebatas sebagai petugas yang menyediakan segala keperluan akomodasi terkait dengan sesajian yang perlu disediakan ketika ada acara ritual adat,” cerita Mariah.

Bukan hanya budaya, posisi perempuan disabilitas dalam masyarakat adat juga tersubordinasi di bidang politik. Menurut Mariah, partisipasi politik mereka sangat rendah. “Terkait penyelenggaraan pemerintah desa misalnya, termasuk informasi terkait pemilihan perangkat desa, para penyandang disabilitas bahkan tidak memperoleh informasi sama sekali,” katanya.

Perempuan disabilitas juga jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan bersama, misalnya saat Musyawarah Perencanaan Pembanguna Desa (Musrenbang). “Masih sangat sedikit yang sadar bahwa mereka memiliki hak untuk mengikuti proses itu,” jelas Mariah.

Di samping hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk turut terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam pun, banyak perempuan disabilitas yang tidak memahaminya. “Sebagian besar sama sekali tidak mengetahui hak mereka. Kalaupun ada lahan yang saat itu mereka olah atau mereka kerjakan itu karena warisan,” tuturnya.

Di bidang pendidikan, juga demikian. Sebanyak 67% disabilitas yang kebanyakan perempuan menjawab tidak pernah menyentuh sekolah. “Juga sangat besar jumlah penyandang disabilitas yang tidak memperoleh informasi tentang layanan kesehatan reproduksi. Hampir 100% dari responden yang kami wawancara,” kata Mariah.

Karena itu, Mariah merekomendasikan agar pemerinah daerah rajin memberikan pemberdayaan. “Juga termasuk pendidikan seumur hidup. bagaimana program2 pemerintah, paket A, paket B, paket C itu kemudian menyentuh teman-teman penyandang disabilitas masyarakat adat,” tegasnya.

Selain pembedaan antar gender di berbagai bidang, kesamaan pengalaman perempuan disabilitas masyarakat adat dengan masyarakat umum juga berkaitan dengan stigma. Menurut Mariah, salah satu stigma yang mengakar adalah bahwa perempuan disabilitas tidak bisa hamil dan mengurus anak. “Ini terkait dengan pemahaman yang keliru atas ragam disabilitas,” katanya.

Stigma lainnya adalah bahwa perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual akan dipandang sebagai aib, terlebih bagi disabilitas. Karena itu, keluarga dan perangkat desa lebih gemar menyelesaikan kasus secara adat kekeluargaan. “Yaitu dengan mencari laki-laki untuk dinikahkan dengan korban. Dan jika itu terjadi, maka proses hukum tidak akan pernah bisa dilakukan,” jelas Mariah.

Pengalaman yang lebih buruk dialami oleh perempuan yang menyandang kondisi disabilitas bukan karena ciri tubuhnya, melainkan karena penyakit, seperti kusta. “Kami pernah menemukan perempuan disabilitas yang oleh masyarakat adat dibuatkan rumah kecil di pinggir hutan jauh dari anggota keluarga yang lain,” tuturnya.

Menciptakan Perubahan Sosial

Sementara itu, penanggap lain yakni Rival Ahmad dari Jentera sangat berharap Indonesia memiliki lebih banyak penelitian yang dapat menciptakan perubahan sosial, sebagaimana penelitian milik Desmaisi. Rival menilai bahwa penelitian Desmaisi memenuhi satu syarat penting, yakni mempertanyakan atau mencabar fenomena.

“Bukan hanya bertanya sesuatu yang kita enggak tahu, tapi kita juga mempertanyakan sesuatu yang sudah dianggap doxa. Doxa itu sesuatu yang selama ini sudah dianggap wajar, sesuatu yang dianggap baik-baik saja, padahal belum tentu,” jelas Rival.

Dalam konteks penelitian milik Desmaisi, peneliti telah berhasil mempertanyakan doxa yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat Nagari Padang Gantiang, yakni budaya perjodohan. “Nah, ini dicabar atau di-challenge. Apa ini benar? Ada enggak kerugiannya buat orang adat? Ada kah dampak-dampak lainnya?” kata Rival.

Menurut Rival, paradigma penelitian Desamaisi perlu ditiru mengingat saat ini semakin banyaknya pemahaman dan pengetahuan lama yang telah langgeng dan tidak pernah dipertanyakan lagi. “Itu membuat orang jadi melihat dengan cara yang berbeda, bahwa ada banyak salah kaprah dalam kegiatan di hari-hari kita,” jelasnnya.