[#EdisiKonferensi] Kritik 3 Lembaga Perempuan Terhadap RUU Ketahanan Keluarga

Sejak dimasukan ke dalam Proses Legislasi Nasional (Prolegnas) pada Juli 2020 lalu, Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) terus memantik sorotan dan kritik karena berpotensi memicu lebih banyak diskriminasi terhadap perempuan dan keluarga penyandang disabilitas.

Sebanyak tiga lembaga pun menuangkan kritiknya terhadap produk hukum tersebut dalam acara Konferensi Nasional Catatan Kritis RUU Ketahanan Keluarga dan Rancangan Regulasi di Indonesia dalam Perspektif GEDSI yang diselenggarakan SAPDA pada Rabu, (21/10) lalu.

Ketiga lembaga yang menyampaikan kritik antara lain Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (HAM PBB) dari Convention for Rights of People with Disability (CRPD), dan Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Dalam konferensi, Ketua Umum HWDI Maulani Rotinsulu mempersoalkan sejumlah pasal dari RUU KK yang dinilainya janggal. Salah satunya yang paling disorot adalah pasal 25 yang dengan jelas mengatur peran rumah tangga antara suami dan istri.

Menurut Maulani, dalam keluarga disabilitas, pembagian peran rumah tangga lebih baik didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak. “Sangat penting bagi keluarga disabilitas untuk menyepakati kesetaraan perlakuan dan penerimaan satu sama lain,” katanya.

Kemudian, ia juga mengkritik pasal 26 yang menyediakan opsi pemenuhan hak untuk memperoleh keturunan. Sebab, hak tersebut relatif lebih sulit dijangkau oleh keluarga penyandang disabilitas, dan pada akhirnya meligitimasi perceraian dan poligami.

“Bilamana opsi yang ada dalam pasal tersebut tidak terjangkau oleh pasangan suami istri, terlebih istri yang menjadi disabilitas, kemudian jalan keluarnya adalah menceraikan atau poligami,” jelas Maulani.

Terlebih, jika perceraian terjadi dalam keluarga disabilitas, perempuan lah yang dipastikan akan menanggung bebannya. Sebab, pasal 80 RUU KK menjadikan perempuan sebagai pihak prioritas yang mengasuh anak setelah perceraian.  

Selanjutnya, adalah kebijakan perpanjangan cuti melahirkan menjadi 6 bulan yang tertuang dalam pasal 29. Maulani mengatakan pasal tersebut bisa membuat pasar menjadi kurang tertarik untuk mempekerjakan penyandang disabilitas.

Ia lantas menyarankan, alih-alih memperpanjang masa cuti, lebih baik perusahaan menyediakan fasilitas pengasuhan bagi pekerjanya yang baru saja melahirkan. “(Perpanjangan cuti) melanggengkan kesenjangan pembedaan, dan membatasi kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia kerja,” katanya.

Terakhir, Maulani mengkritik keberadaan Pusat Layanan Keluarga (Pasal 128) dan profesi Konsultan Keluarga (Pasal 70). Kedua pasal tersebut mengindikasikan kewenangan negara untuk campur tangan dalam kehidupan privasi keluarga.

“Juga mematikan dinamisasi sebuah kelompok terkecil dalam masyarakat yang kita katakan keluarga. Jika segala sesuatunya harus dikomunikasikan atau dikonsultasikan pada sebuah lembaga resmi, hidup kita seolah-olah dibuat tidak bervariasi,” ujarnya.

Sementara itu, perwakilan Indonesia Komite PBB dari CRPD Risnawati Utami mengkritik bahwa isi RUU KK berlawanan dengan pasal 23 Konvensi Internasional untuk Hak Penyandang Disabilitas (UN CRPD). Pasal tersebut mengatur beragam hak perempuan dan disabilitas dalam kehidupan berkeluarga.

Salah satunya adalah hak untuk menikah saat sudah cukup umur dan dengan konsen. Setelah menikah, perempun disabilitas juga punya hak untuk menentukan jumlah anak dan mengambil keputusan terkait Keluarga Berencana (KB). “Ingin punya anak atau tidak, adalah hak mereka sendiri, bukan negara yang menentukan,” tegasnya.

Jika seorang perempuan disabilitas tidak memiliki keinginan untuk melahirkan, ia pun berhak untuk mengajukan adopsi. “Mereka bisa mengasuh anak-anak tersebut, dan pastinya negara juga harus memberikan dukungan di dalam hak perwalian,” jelas Risnawati.

Menurutnya, hak perwalian tersebut seringkali juga tidak terjangkau terutama oleh perempuan disabilitas yang menjadi korban pelecehan seksual. Sebab, mereka umumnya dipisahkan dari anak-anaknya secara paksa.

“Padahal mereka ingin mengandung anaknya, tidak melakukan aborsi paksa, dan ingin merawatnya. Itu harusnya negara harus memberikan dukungan kalau jangan sampai ini ditelantarkan dan kemudian dipisahkan,” jelasnya.

Keadaan ini makin diperburuk dengan kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih mengacu pada kehidupan panti perihal urusan rehabilitasi dan habilitasi. Panti rehabilitasi sering menjadi solusi untuk memisahkan anak dari orang tua disabilitasnya.

“Padahal panti-panti rehabilitasi ini sangat tidak human rights perspective, artinya sangat terjadi pelanggaran pelecehan seksual dan segala hal yang berkaitan dengan kekerasan itu terjadi di panti,” terang Risnawati.

CACAT HUKUM

Selain HWDI dan UN CRPD, dalam konferensi, kritik terhadap RUU KK juga datang dari Komnas Perempuan. Menurut hasil kajian terakhirnya, Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani menyimpulkan bahwa RUU KK memiliki kecacatan sebagai produk hukum.

Alasan pertama, RUU KK tidak memiliki urgensi untuk dijadikan sebagai UU yang baru. “Persoalan-persoalan yang diajukan lebih banyak pada implementasi dari produk perundang-undangan yang sudah ada. Maka, proses implementasi ini yang perlu kita pastikan dia berjalan,” paparnya.

Alasan kedua adalah, Andy menilai bahwa RUU KK tidak mengindikasikan agenda keadilan transformatif dan kesetaraan substantif, karena terkesan mengerdilkan peran keluarga “Ada potensi untuk over-regulating untuk hal-hal yang sebetulnya negara perlu menahan dirinya,” katanya.

Alasan terakhir, RUU KK memiliki kontradiksi dengan agenda reformasi birokrasi. “Setidaknya dari draft terakhir itu ada usulan untuk kelembagaan baru yang sebetulnya merupakan pemborosan dari Sumber Daya Negara yang juga tidak besar lagi mengingat dampak sistemik global akibat pandemi Covid-19,” jelasnya.

Konferensi Nasional Catatan Kritis RUU Ketahanan Keluarga dan Rancangan Regulasi di Indonesia dalam Perspektif GEDSI merupakan bagian dari program Riset Advokasi Perempuan Disabilitas Berbasis Gender, Disability and Social Inclusion (GEDSI) yang telah berjalan sejak 8 Oktober 2019 lalu.

Konferensi ini juga menandai peluncuran hasil penelitian dari 17 periset yang dibukukan dalam bentuk tulisan populer. Dalam konferensi hadir pula sebagai pembicara: peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Sri Wiyanti Eddyono dan Direkrur SAPDA Nurul Saadah.