Penilaian Personal Penting Diperluas Hingga ke Kejaksaan dan Kepolisian

Penilaian personal memungkinkan lembaga layanan mampu menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sesuai kebutuhan khususnya. Kini, penilaian personal telah wajib diterapkan oleh seluruh pengadilan dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal (Dirjen) Badan Peradilan Umum (Badilum) Nomor 1692 Tahun 2020.

Namun, tidak cukup jika penilaian personal sebatas diterapkan di pengadilan. Demi semakin mempermudah penyandang disabilitas memperoleh keadilan, lembaga penegak hukum di seluruh tingkatan juga perlu secara sinergis menerapkannya, tidak terkecuali kejaksaan dan kepolisian.

Demikian simpulan dari audiensi dan rapat strategis yang dilakukan Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) bersama Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kepolisian Daerah (Polda), dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masing-masing pada Senin (8/3), Selasa (9/3), dan Rabu (10/3) lalu.

“Pengadilan saja tidak mungkin. Butuh juga dari kepolisian dan kejaksaan, karena menjadi bagian yang penting juga di dalam peradilan. Apalagi kepolisian punya peranan penting ketika penyidikan, sehingga penilaian personal sangat dibutuhkan di awal,” kata Fatum Ade dari hola Woman Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA.

Seperti yang diketahui, kewajiban seluruh lembaga penegak hukum untuk menerapkan penilaian personal telah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas Dalam Proses Peradilan.

“Penilaian Personal adalah upaya untuk menilai ragam, tingkat, hambatan, dan kebutuhan Penyandang Disabilitas baik secara medis maupun psikis untuk menentukan Akomodasi yang Layak,” demikian bunyi pasal 1 ayat 3 dari peraturan tersebut.

Lebih lanjut, halaman penjelasan PP menyebutkan “Penilaian Personal menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses peradilan yang melibatkan Penyandang Disabilitas, baik dalam statusnya sebagai pelaku, saksi, maupun korban.”

Sementara itu, Rini Ririndawati yang juga mewakili WDCC SAPDA mengingatkan bahwa penerapan penilaian personal di dalam proses hukum tidak bermaksud untuk mencampuri putusan perkara, melainkan sebatas untuk mengidentifikasi kebutuhan dan hambatan khusus penyandang disabilitas.

“Karena kita melihat banyak ragam disabilitas, dan kebutuhannya juga berbeda-beda. Selain itu, harapan kita, penilaian personal bisa menjadi tambahan dari berkas, bukan terkait perkaranya, tetapi terkait kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri,” tambah Rini.

Lebih lanjut, menurut Sri Surani dari hola Gender Equality, Disability & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA, dengan menerapkan penilaian personal di seluruh tingkatan lembaga penegak hukum harapannya penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas bisa terpenuhi dari awal proses hukum hingga persidangan.

“Ketika di proses penyidikan sudah ada penilaian personal, sehingga kan nanti di Kejaksaan tinggal mengecek, apa saja sih kebutuhan penyandang disabilitas. Harapan kami, perlakuan terhadap anak dan perempuan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum itu sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kerentanan yang berbeda-bedam” kata Rani.

Senada dengan Rani, Jaksa dari Kejari DIY, Siti Hartati menegaskan bahwa identifikasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas perlu dilakukan dari tahap penyidikan. “Sehingga nanti ketika kita membawa perkara ke persidangan, kita mengikuti apa yang sudah ada di dalam proses penyidikan,” kata Siti.

Karena itu, para lembaga penegak hukum pun menyatakan kesediaannya untuk bekerjasama dengan SAPDA dalam menyuarakan penilaian personal. Kejati DIY misalnya, akan mengusulkan penilaian personal kepada Kejaksaan Agung sebagai standar operasional prosedur (SOP) pelayanan terhadap penyandang disabilitas.

Jaksa Tri Ratnawati menyampaikan, penilaian personal penting diterapkan terutama dalam kasus tindak pidana umum, sebab di sanalah penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum jamak dilibatkan. Terlebih, Kejaksaan Agung juga belum mengalokasikan dana khusus terkait pelayanan terhadap penyandang disabilitas.

“Jadi ke depan kami nanti mengusulkan kepada Kejaksaan Agung agar bisa menganggarkan dan mengeluarkan pedoman penanganan penyandang disabilitas, sehingga itu bisa diikuti kejaksaan-kejaksaan yang ada di bawahnya,” katanya.

Upaya serupa pun juga hendak dilakukan Polda DIY. Ajun Komisaris Polisi (AKP) Lidwina Esti dari unit Pelayanan Perempuan dan Anak Reserse Kriminal Umum (PPA Reskrimum) Polda DIY. Pihaknya akan mengupayakan agar penerapan penilaian personal memperoleh dukungan dari pucuk pimpinan teratas.

“Walaupun untuk sekarang ini masih tidak, karena memang mungkin belum. Tapi terkait dengan penanganannya, maupun dia disabilitas atau tidak, secara personal penangananya akan tetap sama. Tidak ada perbedaan, tidak ada yang istimewa,” tambahnya.

Selain mendorong penilaian personal, kerjasama antara SAPDA dengan sejumlah lembaga hukum di atas juga mencakup peningkatan perspektif disabilitas. Nantinya, SAPDA hendak memberikan mainstreaming terkait isu disabilitas.

“Terkait dengan penanganan, itu pasti diawali dengan mainstreaming. Artinya bagaimana aparat penegak hukum juga mempunyai perspektif disabilitas, bisa berinteraksi, bisa berkomunikasi dengan teman-teman disabilitas,” timpa Rani dari GEDSI SAPDA.

Di samping itu, SAPDA juga akan memberikan pendampingan dalam penanganan kasus. “Terutama terkait dengan perempuan dan anak disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Karena ini menjadi mandat dari organisasi kami untuk sama-sama mewujudkan keadilan, timpa Fatum Ade dari WDCC SAPDA.

SAPDA sendiri diamanatkan untuk mendampingi pengadilan-pengadilan yang ditunjuk Mahkamah Agung (MA) dan memperoleh pendanaan (Kemenpan-RB) untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Kini, SAPDA hendak melebarkan sayap kerjasamanya dengan lembaga penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

Hingga saat ini, SAPDA telah menjalin kerjasama dengan Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, PN Karanganyar, PN Pati, PN Klaten, PN Malang, Pegadilan Agama (PA) Yogyakarta, PA Stabat, Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, PT Surabaya, PT Palangkaraya, dan Pengadilan Militer (PM) Yogyakarta. Seluruh kerjasama ini terwujud di bawah pendanaan dari Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).