DISKUSI PERTEMUAN AGENDA FRONTLINE (PERWAKILAN LEMBAGA YANG PERNAH MASUK KE KARANGWUNI DAN MILIRAN) FORUM PRB DIY

Catatan dalam pertemuan jaringan PRB pada 09 september 2016 yang bertempat di Sekretariat Forum PRB DIY, mengingat bahwa SAPDA juga concern di isu Penanganan Resiko Bencana untuk disabilitas maka SAPDA sebagai penggiat isu yang bergerak di isu didsabilitas terpanggil untuk mengikuti diskusi ini.

Diskusi ini dihadiri oleh :
1. Mas Suparlan (Yayasan Sheep )
2. Bu Iva (ISI YK)
3. Sunarjo (IDEA)
4. Mba Ranie Ayu Hapsari (YEU)
5. Pak I made Sudana (SAPDA)
6. MbA aNISATUN Nafisah (PKBI)
7. Bu Teti (Karangwuni)
8. Mas Yogi Zul (LBH Yogya)
9. Mas Joyo (CRI)
10. Mas Rahmat Melir (Lingkar)
11. Mba Siti Mulyani (Paluma)
12. Pak Thantowi (Rifka Annisa)
13. Mas Gandar ( LBH Yogyakarta)
14. Mas Damar Dwi (Satunama)
15. Donna

Acara di buka oleh mas Melir, beliau menyampaikan bahwa dalam pertemuan ini untuk mendiskusikan tentang posisi masing – masing ( lembaga masing-masing ) dimana dan menjadi apa. Siapa melakukan apa dimana, dan harus memikirkan Posisi forum ada dimana. Dilanjutkan oleh Ranie menjelaskan apa itu forum PRB DIY. Forum PRB DIY merupakan forum yang anggotanya sangat kompleks kurang lebih 90 lembaga yang terdiri dari LSM, Pemerintah, sektor swasta dan akademisi. Forum berdiri bulan Oktober tahun 2009.
Forum PRB ada 4 bidang yang cukup strategis untuk layanan kepada masyarakat dalam hal memperjuangkan terhadap resiko bencana yang dialami oleh masyarakat itu sendiri. 4 bidang tersebut di antaranya :
– Bidang 1 yaitu bidang Advokasi; bagaimana kita mensikapi kebijakan di DIY sehingga bisa pro dan berpihak pada rakyat.
– Bidang 2 yaitu bidang manajemen pengetahuan; berkaitan dengan kegiatan penelitian- penelitian sperti ini (Frontline). Anggota Forum sendiri juga ada dari pemerintah. Posisi FPRB sangat strategis untuk mendiskusikan hal – hal yang berbau kebijakan yang berkelanjutan dan pro rakyat.
– Bidang 3 yaitu bidang partisipasi; FPRB memobilisasi anggota untuk bisa berpartisipasi dalam berbagai kegiatan. Sejauh ini anggota Forum baru sebatas LSM, pemerintah, akademisi, nantinya semoga anggota bisa dari komunitas.
– Bidang 4 yaitu bidang pengembangan organisasi; lebih ke bagaimana kerj – kerja FPRB bisa akuntabel dan bisa dipertanggungjawabkan.

Fungsi dari PRB adalah untuk menjembatani antara komunitas dan pemerintah untuk mengkritisi kebijakan.
Tentang frontline, merupakan sebuah agenda dari kumpulan NGO internasional yaitu GNDR yang ingin menjaring temuan- temuan di tingkat lokal. Studi kasus; salah satu contoh kasus di kampung Miliran dan Karangwuni merupakan 1 contoh konkrit dimana masyarakat yang ada di wilayah Miliran dan Karangwuni mengalami dampak yang cukup riskan terkait masalah air yang di lakukan oleh salah satu pengembang perhotelan yang ada di Jogja , sehingga masyarakat bisa tahu bagaimana kondisi Yogyakarta saat ini. Melalui kegiatan inilah FPRB akan melakukan advokasi yang berkelanjutan dan tidak berisiko.
Setelah pertemuan ini kemudian yang bisa dilakukan setelah survey. Forum sebagai koordinasi penyambung antara masyarakat, swasta, dan pemerintah.

 


Untuk agenda frontline ini 2-3 bulan sudah ada sesuatu yang bisa di hasilkan, yaitu untuk memfasilitasi antara masyarakat Miliran dan Karangwuni dengan pihak pengelola hotel yang ada di daerah tersebut , sehingga bisa mendapat jalan yang terbaik dalam penanganan kasus yg berkembang saat ini.
Rencananya akan ada sesi pertemuan besar dengan banyak stakeholder yang akan memaparkan temuan – temuan yang sudah didiskusikan sebelumnya yang kita temukan dari kampung – kampung. Hal ini yang merupakan advokasi dan penawaran tertinggi dari Forum.
Selain agenda besar dari frontline ini, bahwa dari kerangka besar dari konsep riset yang telah dilakukan akan mencoba respon secara konkrit situasi dilapangan. Ini tidak sekedar survey, tapi proses riset lapangan ini sekaligus memberikan ruang bagi masyarakat di lokasi untuk bisa belajar langsung hal – hal semacam ini. Tentang bagaimana mensikapi kebijakan yang tidak ramah dan bagaimana melakukan advokasinya.
Pertemuan sebelumnya yang jatuh pada tanggal 01 september 2016 yang baru lalu sudah mendiskusikan mengenai persoalan masyarakat Karangwuni. Sebagai gambaran umum profil kelompok warga Karangwuni ini sudah berdaya jika dibandingkan dengan kampung – kampung lain. Sudah banyak sekali yang dilakukan berdasar inisiatif warga sendri mulai dari hal – hal formal dan kultural. Walau apartemen utara sudah terbangun, lalu bagaimana bersama – sama melihat strategi adaptasi apa yang bisa dilakukan. LBH Jogja adalah salah satu lembaga yang sudah mengawal proses dijalur hukum.
Peserta diskusi mengusulkan untuk penambahan aktifitas berupa refleksi, untuk mengetahui mengenai apa saja yang berhasil dilakukan dan apa saja kegagalannya jadi tidak mulai lagi dari nol. Refleksi bisa muncul dalam diskusi dan dialog, sehingga bisa menjadi salah satu jalan yang bisa dilakukan bersama.

Dari hasil diskusi LBH mendampingi warga Karangwuni untuk melakukan gugatan atas ijin lingkungan yang diterbitkan BLH Sleman untuk ijin pembangunan apartemen utara gugatan dilakukan melebihi waktu sehingga ditolak. Proses yang terjadi pada saat permohonan perijinan “apartemen Utara di Sleman menyalahi sejumlah peraturan perundangan yang semestinya bisa ditaati oleh pemrakarsa. Apartement Uttara kemudian menjadi cerminan jangan – jangan ditempat lain juga serupa. Adanya ijin yang mudah terbit tapi menyalahi peraturan hukum. Ada 4 hal yang di layangkan dalam gugatan.
1. Uttara dibangun melebihi koefisien dasar bangunan yang dtetapkan kepala BLH yang seharusnya 60% tapi melebihi.
2. Penetapan KDB 60% itu tidak sesuai dengan tata Ruang .
3. Soal luasan bangunan yang seharusnya wajib amdal hanya sebatas ukl upl. Usaha yang wajib amdal yang lebih dari 10rb meter persegi. Menurut data Uttara hanya seluas 9600meter. Hal ini juga manipulatif karena faktanya melebihi setelah dihitung oleh teknik sipil UII sekitar 19rb meter.
4. Penerbitan ijin menjadi kewenangan kepala daerah tapi yang menerbitkan kepala BLH. Seharusnya bupati yang memberikan ijin.
Proses saat ini telah melakukan banding di PN Surabaya Hambatannya adalah orang awam tidak mengerti hukum. Harapannya adalah bisa menghasilkan prodak secara visual tentang pasal yang mengatur. Agar kita paham tentang perundang2an.
Dalam diskusi yang di lakukan Ada dua point yang sudah disepakati:
1. Survey itu sendiri
2. Peningkatan kapasitas
Tidak hanya sebatas diskusi tapi ada masukan dari praktisi yang bisa kita kembangkan bersama masyarakat.
Ada banyak pelajaran dari point – point gugatannya LBH. Dalam amdal, ukupl, skupl, item2 amdal-kerangka acuan-pengumuman-audit lingkungan. Penilaian amdal itu sendiri harus melibatkan banyak pihak salah satunya LSM lingkungan.

Peserta dari isi menyampaikan bahwa Di ISI ada satu mata kuliah yang disebut dengan design. Biasanya mahasiwa design ini mengadakan kegiatan yang merupakan bagian dari mata kuliah yang berbentuk workshop. Kami sudah beberapa kali mengadakan kegiatan ini. Mulai dr Petani kopi di Temanggung, pengrajin bambu, perusahaan furnitur di Bantul. Dari hasil proses yang kami dapat dari workshop tersebut adalah, cara pandangnya sosial tapi juga ada unsur pengembangan bisnis. Dan kami belum pernah melakukan workshop yang pure sosial. Kami mencoba study kasus yang pure sosial. Bagaimana sebuah kota bisa beradaptasi terhadap bencana. Design ini bertujuan mencari solusi dengan berempati oleh user, untuk menghadapi permasalahan – permasalahan disekitarnya.
Harapannya dari kegiatan ini ada peningkatan kapasitas untuk masyarakat dan semua pihak
Perlu diketahui bahwa saat ini sudah ada risiko yang real mereka hadapi. Apartemen Uttara sudah terbangun di depan mata.
FT UTY mencoba melakakan pengukuran untuk pembandingan dengan dokumen yang tertera dan yang dibangun dilapangan. Yang dituju tidak hanya luasnya saja tapi juga menghitung potensi risiko.
Mencari perbedaan perkembangan sosial kemasyarakatannya apa. Untuk tidak mengulangi pertanyaan yang sama secara teknis. Kita bisa menambahi kekurangan – kekurangan. Forum tidak akan bicara soal teknis. Soal hukum tidak secara detail. Perubahan sosial yang ada diforum risau dgn banyaknya gedung di Jogja saat ini. Persoalan aspek lingkungan hidup. Diperluas ke aspek anak dan perempuan. Aspek lingkungan dilanggar apalagi kemanusiaan.
Kasus di GK (Gunungkidul) berkaitan penggusuran; ketakutan – ketakutan masyarakat GK banyaknya pariwisata justru mengancam mereka. Mengubah mindset masyarakat bahwa segala sesuatu harus dinominalkan.
Masalah di GK bisa terjadi di jogja. Ruang bermain anak menjadi terbatasi dan bahkan tidak ada. Secara visual sudah terihat bahwa pembangunan ini tidak ramah anak. Miliran dan Karangwuni hanya studi kasus. Banyak sekali kasus diluar Karangwuni dan Miliran yang seperti ini.
Proyek ini sejak awal sudah tidak transparan. Tercatat 60KK tapi hanya setengahnya yang tinggal disitu.
Tidak ada pemuda dan pemudi. Semua berawal perjuangan ibu –ibu. Kami memiliki harapan, langkah strategis apa yang bisa dilakukan. Sodaqoh air, dibalik musibah menjadi berkah. Sudah pernah bedah ukl upl ibu-ibu.
Kami ingin membuat buku sederhana Karangwuni berbagi. Kami ingin mendapat masukan. Harus ada statement apartemen, harus ada amdal. Kami berharap, dalam workshop ada masukan bagi kami langkah apa yang harus kami lakukan lagi. Syukur2 kita punya media.
Dampak negativ yang paling merugikan adalah AIR belum pernah ada kejadian seperti ini. Mengisi bak air sampai setengah hari. Pompa air banyak yang rusak. Kami juga kehilangan cahaya matahari, area bermain anak – anak. Tidak lagi kehilangan jam belajar tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Fenomenalnya selalu begitu, aqua selalu ada manipulasi ukuran luasan. Tidak ada konsekuensi nya.
Untuk kelanjutannya akan ada. Kajian soal teknis untuk memperkaya temuan frontline. Teman-teman teknis UII,Walhi, dan lain – lain selain dari sisi sosial. Dari pertemuan ini ada beberapa poin penting :
1. Produk untuk knowledge menejemen alur soal prosedur ijin
2. Refleksi soal kegagalan dan keberhasilan
3. Mungkin kedepan kita bisa diskusi ke beberapa teman NGO, salah satunya bisa iuran untuk membuat secara grassroot, bisa bersuara. Kapan komunitas bisa menyuarakan. Kesuksesan – kegagalan sejak awal kami selalu melakukan aksinya secara tertulis.

Diskusi untuk pertemuan selanjutnya Jum’at 16 September 2016
Jam 19.30 DI KARANGWUNI.