Aksesibilitas dan Tabu Menjadi Tantangan Utama Pelayanan Kespro Disabilitas

Aksesibilitas dan Tabu Masih Menjadi Tantangan Utama Pelayanan Kesehatan Reproduksi terhadap Penyandang Disabilitas

Layanan kesehatan reproduksi (Kespro) yang ditujukan kepada disabilitas maupun tanpa disabilitas sama. Namun, penyandang disabilitas memiliki tantangan tersendiri dalam mengakses layanan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini merupakan hasil diskusi nasional bertajuk “Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas” yang diselenggarakan secara online oleh SAPDA, Rabu (20/5).

“Pemerintah dalam kebijakannya mendorong agar adanya pelayanan yang inklusif, termasuk dalam layanan kesehatan reproduksi. Selama ini ada anggapan penyandang disabilitas adalah aseksual. Selain itu, beberapa disabilitas adalah pelaku seksual aktif. Dengan minimnya keterjangkauan informasi, membuat mereka rentan menjadi korban kekerasan seksual, IMS, hingga HIV/AIDS” kata dr. Erna Mulati, Direktur Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan, yang menjadi pemateri pertama.

Pemateri lainnya adalah drg. Hunik Himmawati dari Dinas Kesehatan Kulon Progo dan Asrorul Mais, Kaprodi Pendidikan Luar Biasa IKIP PGRI Jember.

“Kegiatan yang sudah dilakukan antara lain pelatihan kesehatan reproduksi bagi disabilitas. Selain itu, Kulon Progo sudah memiliki 5 Posbindu khusus disabilitas. Keberadaan Posbindu ini melibatkan TKSK Dinas Sosial dan KPKD” terang drg. Hunik dalam paparan singkatnya.

Menurut Asrorul Mais, dalam dunia akademik maupun masyarakat, tantangan terkait kesehetan reproduksi adalah masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Sehingga menyebabkan relatif minimnya pembahasannya. Hal ini berimbas pada minimnya kesadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi. Terlebih, bagi disabilitas yang membutuhkan penanganan yang berbeda sesuai dengan ragam disabilitasnya.

Diskusi ini dihadiri kurang lebih 86 orang dari berbagai latar belakang. Salah satunya dari kalangan yang terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi. Misalnya petugas Keluarga Berencana yang menyatakan tertarik mengikuti diskusi ini karena sudah menjadi bagian dari pekerjaan dan selama ini belum mendapatkan pengetahuan yang cukup terkait  layanan kesehatan reproduksi bagi disabilitas.

“Seminar ini terselenggara dikarenakan angka kekerasan seksual terhadap disabilitas cukup tinggi. Tetapi berdasarkan penelitian SAPDA, pemahaman penyandang disabilitas masih minim dan akses untuk sosialisasi ke penyandang disabilitas masih kecil” kata Nurul Sa’adah Andriani, Direktur SAPDA.