LAPORAN HASIL DISKUSI : MENGUPAS LAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK REMAJA DENGAN DISABILITAS

Tempat : Pendopo SMK N 3 (SMSR) Kasihan, Bantul (25 November 2014)

Dalam rangka memperingati hari Difabel Day Internasional, 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan juga menyelenggarakan Launching Buku Sewindu SAPDA yang diadakan pada tanggal 24, 25 dan 26 November, lembaga SAPDA menggelar beberapa kegiatan untuk memperingati event tersebut. Rangkaian acara tersebut berupa launching buku yang sudah terbit dan dipublikasikan kepada khalayak umum, workshop lukis anak, pameran foto dan diskusi. Salah satu diskusi yang dilakukan pada tanggal 25 November 2014 adalah mengenai Layanan Kespro (Kesehatan Reproduksi) untuk Remaja Dengan Disabilitas, dimoderatori oleh Mas Sholih Muhdlor (Staff WDCC SAPDA) dan dihadiri oleh peserta dari berbagai komponen seperti perwakilam Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, orangtua anak dan remaja dengan disabilitas, penggiat isu-isu disabilitas dan beberapa peserta lain.

Tujuan dari diskusi ini antara lain :
1.Mengetahui lebih jauh layanan kesehatan reproduksi yang telah diberikan oleh pemberi layanan kepada remaja dengan disabilitas

2.Mendapatkan rekomendasi bagaimana bisa memasukkan mainstreaming disability dalam isu kesehatan reproduksi

3.Pembahasan aktivitas dan program kedepan untuk mendorong kebijakan, program, layanan dan informasi kesehatan reproduksi & seksualitas bagi remaja dengan disabilitas, keluarga dan organisasi penyandang disabilitas.

Berikut hasil diskusi yang telah diselesaikan :
Paparan Narasumber dan Peserta :
Diskusi dibuka dengan pemaparan dari Ibu Kus Minari sebagai Manajer Klinik PKBI Yogyakarta mengenai Layanan Kesehatan Reproduksi yang selama ini telah diberikan oleh PKBI termasuk beberapa contoh kasus yang pernah mereka tangani selama ini. PKBI memiliki klinik yang menangani tentang kesehatan reproduksi di beberapa kabupaten dan Kota di Yogyakarta, tim advokasi bagi korban kekerasan, klinik mobile kesehatan reproduksi {termasuk penyuluhan HIV-AIDS}, dan laboratorium medis. PKBI tidak memiliki konselor / tenaga medis yang khusus menangani pasien dengan disabilitas, namun pelayanan yang diberikan tidak mendiskriminasikan disabilitas karena ketika ada pasien dengan disabilitas, PKBI mencoba mencari jalan tengah untuk memenuhi aksesibilitas yang bersangkutan.
Bapak Surgiyantoro, Pengawas Dinas Pendidikan Kabupaten Kulonprogo, juga memaparkan bahwa Dinas Pendidikan di Kabupaten Kulon Progo juga telah memiliki modul pendidikan kesehatan reproduksi untuk tingkat SD sampai SMA, meskipn memang belum memasukkan isu disabilitas kedalam buku tersebut. Program tersebut baru dimulai bulan September 2014 ini, sehingga memang belum banyak yang bisa digambarkan dari program tersebut selain hal-hal teknis.
Ibu Indria dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, telah memiliki program PKPR (Program Kesehatan Peduli Remaja) yang pelayanannya ada disetiap puskesmas. Program ini menyasar kepada remaja secara keseluruhan, namun memang selama ini masih sedikit remaja yang mengakses layanan tersebut. Pihak Dinas Kesehatan sendiri juga telah melatih konselor remaja itu sendiri sehingga memudahkan remaja untuk berbagi diantara mereka sendiri (Peer Counseling). Disetiap puskesmas juga telah ada psikolog dan psikiater, serta tim advokasi untuk menangani keluhan atas tindak kekerasan yang diterima oleh pasien. Dari sekian yang datang, belum ada remaja dengan disabilitas yang melakukan konsultasi ke puskesmas.
SLB, juga telah memiliki modul yang berisi materi kesehatan reproduksi dari Dirjen Pendidikan Khusus. Modul ini diajarkan melalui kegiatan ekstrakurikuler yang diajarkan kepada masing-masing kelompok siswa dengan disabilitas oleh guru yang mengerti karakter siswa sehingga guru lebih mudah menyampaikan. Guru-guru sendiri juga mendapatkan pelatihan rutin setiap tahun dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Provinsi DIY. SLB Pembina Bantul, secara spesifik juga telah memiliki program pendidikan kesehatan reproduksi yang melibatkan orangtua. Guru mengumpulkan dan mengajarkan orangtua tentang kesehatan reproduksi, kemudian sekolah mengumpulkan anak dan diajarkan oleh orangtua.
Muhandis, perwakilan dari LSPPAG, juga mengungkapkan bahwa sebenarnya kesehatan reproduksi ini bisa diajarkan dengan berbagai situasi yang berbeda. Di SLB misalnya, ada alat peraga untuk mengajarkan materi kesehatan reproduksi ini sehingga mudah dimengerti, dan kesehatan reproduksi sendiri juga bisa dimasukkan dalam beberapa bidang studi, seperti bidang studi Bina Diri untuk anak tunagrahita misalnya.

Diskusi Kelompok :

1. Bagaimana sebaiknya isu-isu disabilitas dimasukkan kedalam layanan-layanan yang sudah ada?
– Harus ada data disabilitas yang lengkap untuk memudahkan penanganan
– Mainstreaming disabilitas kepada garda depan pelayanan (administrasi, konselor, dokter/bidan) sehingga tidak terjadi diskriminasi dan kebutuhan sesuai disabilitas dapat terpenuhi. (penterjemah isyarat, tempat tidur yang tidak tinggi, media yang mudah dipahami tunarungu dan tunagrahita, dll)
– Sosialisasi kepada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas.
– Kerjasama dan keterangan komprehensif tentang kondisi disabilitas dan keluhan yang dialami

2. Apa tantangan-tantangan yang mungkin dihadapi dalam pemberian layanan kesehatan reproduksi bagi remaja pada umumnya, dan remaja dengan disabilitas?
– Minimnya pemahaman pihak yang terlibat tentang kesehatan reproduksi bagi disabilitas
– Hambatan komunikasi keoada tunarungu dan tunagrahita
– Ketidaksiapan tempat layanan yang aksesibel (alat peraga, ruangan, tempat tidur, dll)

3. Apa yang diperlukan oleh para pemberi layanan, untuk dapat memberikan pelayanan kespro kepada remaja dengan disabilitas?
– Data orang dengan disabilitas yang komprehensif
– Pelatihan mainstreming disabilitas bagi garda depan layanan (administrasi, dokter/bidan, konselor)

4. Kebijakan yang telah ada untuk memaksimalkan pemberian layanan kespro bagi remaja dengan disabilitas?
– Penganggaran dana dari pemerintah untuk layanan yang ramah disabilitas.
– Program kesehatan reproduksi yang jelas dan rutin serta diawaki oleh tim yang kompeten tentang disabilitas.

5. Dukungan apa yang diperlukan dalam pemberian layanan kesehatan reproduksi bagi remaja dengan disabilitas? Apa bentuknya, dan dari mana kira-kira dukungan itu bisa didapat.
– Rujukan / kemudahan layanan antar lembaga / instansi pemberi layanan
– Keterlibatan masyarakat dan pemerintah secara simultan

Pembelajaran yang didapat berupa :
1. Pemberi layanan kesehatan reproduksi tidak bermaksud diskriminatif kepada remaja dengan disabilitas, tapi karena belum memiliki perspektif disabilitas yang benar sehingga kesulitan dalam memberikan layanan.

2. Pemberi layanan masih melakukan layanan sendiri-sendiri dan belum ada koordinasi

3. Ada benturan budaya tentang bahasa yang digunakan sehari-hari (penghalusan / eufimisme bahasa untuk alat kelamin), sehingga menyulitkan pengajaran dengan bahasa medis karena dianggap tabu.

Rekomendasi :
1. Penganggaran kesehatan reproduksi yang berperspektif disabilitas

2. Layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi perlu dilakukan secara lintas sektoral sehingga dapat memenuhi hak setiap warga tanpa kecuali

3. Menelaah kembali kebijakan yang ada (SK, SoP, PerDa, dll) untuk memasukkan mainstreaming disabilitas ke dalam praktek pemberian layanan dan pendidikan.

4. Mengamati dan atau mengakses secara langsung kegiatan-kegiatan layanan kespro untuk melihat sejauh mana perspektif disabilitasnya

Diharapkan dengan kegiatan ini, wawasan dan perspektif orang tua maupun masyarakat lebih aware terhadap isu kesehatan reproduksi, kepedulian dari pemerintah pun tak pelak lagi sangat dibutuhkan.