Pada bulan ini kita memperingati beberapa hari yang penting, dan bagi saya mempunyai keterkaitan yang cukup erat bagi difabel. Yang pertama adalah “the international day of persons with disabilities” (3 Desember) yang baru-baru ini diperingati oleh berbagai instansi negeri ini sebagai hari internasional penyandang cacat / penyandang disabilitas / difabel, yang ke dua adalah hari hak asasi manusia (10 Desember), dan yang ke tiga adalah hari kesetia kawanan social nasional (20 Desember). Penulis perlu mencantumkan ketiga istilah tersebut di awal tulisan ini sebagai bentuk apresiasi atas masih eksisnya ketiga pandangan yang berbeda (cacat, disabilitas dan difabel) untuk mengistilahkan subyek yang sama dalam kerangka idiologi yang sebenarnya berbeda.
Bukan hanya jatuh pada bulan yang sama, menurut penulis, ketiga hari tersebut mempunyai relevansi yang sangat kuat dalam konteks penghormatan, pemenuhan serta perlindungan hak setiap warga Negara, terlebih lagi bagi difabel. Jika hari internasional HAM dan hari internasional difabel secara berturut-turut mengingatkan bangsa ini untuk merefleksikan kembali sejauh mana bangsa dan masyarakat Indonesia telah mengakui, menghormati serta turut berperan dalam upaya pemenuhan dan promosi hak setiap individu yang termasuk di dalamnya adalah difabel, hari KSN mengandung makna Luhur untuk mengingatkan kita sebagai bangsa yang social, bangsa yang saling peduli dan menjunjung tinggi solidaritas. Bagi penulis, kesetiakawanan dalam arti positif sebagai bentuk “kesadaran dan solidaritas masyarakat secara kolektif untuk menghargai dan berperan penting dalam upaya promosi dan pemenuhan hak setiap warga Negara” inilah yang saat ini dibutuhkan jika kita ingin beranjak dari masalah ketidak adilan, pelanggaran HAM, serta berbagai penyimpangan yang telah seakan menjadi keniscayaan di negeri ini. Sayangnya, makna tersebut hanya menjadi gerakan minoritas di bawah baying-bayang kesetiakawanan untuk terus melanggengkan korupsi berjama’ah, gotong royong untuk membangun kuasa kelompok tertentu, serta solidaritas untuk menutup kebusukan penguasa.
Peringatan hari internasional difabel kali ini bukan hanya istimewa, melainkan sangat luar biasa dan bersejarah. Mengapa? Karena pada tahun yang sama, menjelang peringatan hari tersebut, pemerintah RI mengumumkan dan mengundangkan ratifikasi atas the United Nation Convention on the Rights of Persons with Disabilities (UN CRPD) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penghormatan dan perlindungan hak difabel. Artinya, bangsa ini telah bersepakat untuk mengikatkan diri dalam kesepakatan internasional untuk mengambil langkah-langkah yang nyata dalam rangka memberikan jaminan atas penghormatan dan perlindungan hak difabel. Bukan hanya itu, ratifikasi juga akan memberikan dampak berupa kesediaan bangsa ini untuk dimonitor oleh masyarakat internasional dalam hal implementasinya.
UN CRPD sendiri merupakan sebuah kesepakatan internasional yang telah digagas serta didesakkan oleh organisasi-organisasi difabilitas di tingkat internasional selama bertahun-tahun, Ujungnya adalah pengesahan oleh PBB pada 13 Desember 2006 yang diikuti dengan penandatanganan oleh negara-negara pihak pada 30 maret 2007 dimana Indonesia merupakan negara ke 70 yang turut menandatangani konvensi tersebut. Sebagai sebuah produk hukum internasional yang diyakini secara komprehensif memuat hak-hak difabel untuk dihormati dan dipenuhi oleh Negara-negara pihak, konvensi ini bukan hanya memberikan mandat kepada Negara-negara pihak untuk memberikan jaminan atas perlindungan dan pemeneuhan hak sebagaimana tercantum dalam konvensi, melainkan juga memberikan arahan yang cukup jelas atas langkah-langkah yang harus diambil oleh Negara-negara pihak untuk dapat memenuhi kewajibannya tersebut.
Bagi difabel yang telah sekian lama sejak kemerdekaan negeri republic ini tidak dapat menikmati kemerdekaan mereka, kehadiran sebuah produk hukum yang menjamin martabat serta hak mereka secara penuh jelas merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Selama ini, difabel dalam berbagai dimensi telah mengalami berbagai bentuk pelanggaran atas hak asasi mereka. Mulai dari tingkat keluarga sampai dengan masyarakat, difabel selalu identic dengan stigma dan stereotype negative yang berujung pada perlakuan yang kurang manusiawi dan tidak menguntungkan secara social. Jika anda mau sedikit saja membuka mata, saya yakin tidak sulit untuk dapat melihat orang tua yang malu dengan keberadaan anak mereka yang cacat, atau juga orang-orang yang menatap dengan rasa iba atau bahkan mengejek ketika berada satu lokasi dengan difabel.
Lingkungan pun masih melupakan keberadaan kelompok ini. Jika kita lihat di sekeliling kita, berapa banyakkah fasilitas yang diperuntukkan bagi difabel? Berapa banyak bangunan public yang didisain secara universal untuk memberikan kemudahan bagi lebih banyak orang?
Belum lagi jika kita mengevaluasi system,kebijakan maupun program pembangunan yang ada, akan semakin membuktikan bahwa difabel belum sepenuhnya terbaca sebagai bagian integral dari warga Negara yang keberadaan mereka patut untuk diakomodasi. Pemerintah, dalam pidato-pidato peringatan hari internasional difabel di berbagai forum boleh saja mengatakan bahwa “kami telah memprioritaskan program pemberdayaan difabel sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan kami”, tetapi fakta bahwa hanya sekitar 10 – 20% anak difabel yang dapat mengakses Pendidikan sementara anak-anak non-difabel telah mencapai 80 bahkan sampai dengan 90%, hal itu menyisakan kekhawatiran kita bersama bahwa dalam waktu 10 – 20 tahun ke depan, kita masih akan memiliki 80% generasi difabel yang tidak memperoleh Pendidikan yang cukup sehingga tidak mungkin dapat bersaing dalam pasar persaingan kerja yang tidak pernah berpihak bagi mereka. Malangnya, bukti pembiaran atas ketidak adilan itu justru diperkuat dengan bersembunyi dibalik dalih “keterbatasan anggaran, pemerataan serta keterbatasan sumber daya” di tengah maraknya korupsi dan penggelapan anggaran.
Pertanyaannya kemudian adalah: akankah ratifikasi UN CRPD membawa dampak perbaikan yang signifikan bagi kehidupan difabel? Terlalu dini bagi saya untuk menjawab “ya” atau “tidak”, dan untuk mengantarkan pada jawaban yang tidak pasti tersebut, kita boleh berkaca pada pengalaman negeri yang berazazkan “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia” ini dalam memberikan rasa keadilan bagi difabel.
Sudah sejak 14 tahun yang lalu, hak difabel dilindungi oleh undang-undang no.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Bukan hanya itu, pemerintah bahkan juga telah menetapkan rencana aksi nasional penyandang cacat sebagai tindak-lanjut dari “BIWAKO MILLENNIUM FRAMEWORK FOR ACTION TOWARDS AN INCLUSIVE, BARRIER-FREE AND RIGHTS-BASED SOCIETY FOR PERSONS WITH DISABILITIES IN ASIA AND THE PACIFIC” sebagai hasil dari pertemuan tingkat asia pacific yang diselenggarakan pada tahun 2002 . Memperkuat itu semua, bahkan sejumlah peraturan pemerintah, keputusan menteri serta peraturan turunan yang lain pun telah diundangkan. Namun, jika tidak dapat dikatakan sebagai hanya indah di atas kertas, rangkaian kebijakan diatas masih tidak dapat membawa perubahan yang cukup berarti sampai dengan sekarang ini.
Sekedar contoh saja, belum lama ini kita mendengar sosok Ridwan Sumantri, seorang pengguna kursi roda yang dilarang terbang dengan menggunakan salah satu maskapai swasta hanya karena dia tidak mau menandatangani surat pernyataan yang tidak semestinya dia tandatangani . Atau Wuri Handayani yang pada akhir 2004 dengan terpaksa harus mencari keadilan atas penolakan yang dialaminya untuk mendaftar sebagai CPNS di Surabaya yang dikarenakan kecacatannya . Masih pada tahun yang sama, kasus penolakan serupa juga terjadi terhadap Widodo, seorang tunanetra yang ditolak mengikuti tes CPNS setelah lolos proses administrasi . Rangkaian kasus di atas cukup menggambarkan betapa kebijakan yang telah ada tersebut ternyata tidak banyak membawa perubahan berarti.
Berkaca dari pengalaman di atas, ada kekhawatiran bahwa ratifikasi UN CRPD tidak akan memberikan dampak apa-apa sebagaimana peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya, jika tidak diikuti dengan komitmen untuk melaksanakannya secara bulat dari segenap komponen pemerintah. Untuk itu, peringatan hari internasional difabel tahun ini, semestinya menjadi saat untuk merefleksikan kembali komitmen bangsa ini untuk memberikan rasa keadilan dan penghormatan atas hak, bukan hanya kepada difabel, melainkan kepada seluruh rakyat bangsa yang katanya berketuhanan dan berkemanusiaan ini. Adalah tidak mungkin bahwa ratifikasi UN CRPD akan secara serta merta merubah segalanya. Tetapi, perubahan itu akan menjadi semakin tidak mungkin jika tidak diikuti dengan langkah-langkah riil untuk menjalankannya. Untuk itu, setidaknya ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan.
Yang pertama, perlu dipahami bahwa masalah difabilitas adalah masalah lintas isu dan lintas sektoral. Pendekatan kerangka kebijakan yang selama ini diterapkan oleh pemerintah dengan menempatkan penanganan difabel hanya kepada departemen social jelas sangat tidak sesuai dengan pemahaman di atas, yang akibatnya, banyak sector isu dan permasalahan public yang sebenarnya terkait dengan difabel tidak dapat tertangani. Untuk itu, masalah difabel sudah seharusnya dijadikan sebagai arus utama dalam perumusan, evaluasi serta perencanaan kebijakan public. Semua kementrian, dalam kapasitas dan sector isu yang mereka tangani harus dipastikan bahwa program dan kebijakan yang mereka susun dan laksanakan mengakomodasi keberadaan difabel. Begitu pula dengan perencanaan dan implementasinya di tingkat daerah.
Poin berikutnya adalah partisipasi penuh. Sudah saatnya pemerintah lebih membuka pintu dan ruang partisipasi bagi difabel untuk turut terlibat dalam perumusan kebijakan public yang terkait dengan kepentingan mereka. Namun, yang lebih penting dari itu adalah langkah-langkah yang sungguh-sungguh untuk memampukan mereka berpartisipasi, bukan hanya dengan membuka ruang komunikasi, melainkan juga dalam bentuk peningkatan kapasitas dan sumberdaya yang dilakukan melalui program-program pemerintah yang komprehensif.
Hal lain yang juga penting adalah peningkatan kesadaran kolektif di kalangan pemerintah sendiri akan kesetaraan difabel. Banyak kasus menunjukkan bahwa sikap diskriminasi dan penolakan yang terjadi terhadap difabel salah satunya dikarenakan oleh kurangnya pemahaman. Untuk itu, melalui upaya penyadaran yang lebih luas, diharapkan akan lebih banyak orang yang akan bersedia memberikan dukungan berupa sikap yang lebih adil.
Hal yang tentunya lebih penting mengingat bahwa konvensi ini berkait erat dengan berbagai peraturan yang sudah ada, maka penyesuaian-penyesuaian untuk mengadobsi isi konvensi ke dalam kebijakan yang sudah ada, maupun juga ke dalam peraturan baru yang lebih implementatif menjadi sangat perlu dilakukan untuk mempermudah proses implementasinya. Yang selebihnya, jika tak mau dikatakan sebagai bagian dari manuver politik pencitraan, maka komitmen pemerintah untuk benar-benar mengambil langkah nyata untuk mempersiapkan langkah implementasi ini betul-betul menjadi hal yang dipertaruhkan. Semoga.