DESA YANG INKLUSIF BAGI PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS

Bapak Bito Wikantosa, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Kapasitas Masyarakat Desa Ditjend PPMD Kemendesa, PDT, dan Transmigrasi, menjadi narasumber dalam acara Workshop Knowledge Sharing “Inisiasi Kebijakan Inklusi di Level Kabupaten/ Kota & Desa/ Kelurahan”, Jogja, 10 Mei 2016.

Setelah disampaikan paparan dari Kementrian Sosial, selanjutnya Bapak Bito Wikantosa dari Kemendesa, PDT, dan Transmigrasi menyampaikan materi tentang Desa yang inklusif bagi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam acara Workshop Knowledge Sharing “Inisiasi Kebijakan Inklusi di Level Kabupaten/ Kota & Desa/ Kelurahan”, rangkaian kegiatan Program Peduli Pilar Disabilitas yang diselenggarakan Sapda, Jogja, 10 Mei 2016. Berikut adalah paparan selengkapnya.

Terkait isu dari UU Desa, dasar pikirnya dulu, bagaimana kawan-kawan disabilitas terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara. Pertama-tama adalah soal tidak membedakan warga yang disabilitas maupun yang tidak, semua punya hak yang sama, semua warga negara. Itu aturan umum mengatur tata kelola seluruh kehidupan di desa maka seluruh warga desa siapapun itu punya hak yang sama dan wajib dilayani dengan adil. Salah satu fakta obyektif yang harus dipenuhi adalah disabilitas.

Ada hal mendasar yang mengubah wajah desa, UU desa diterapkan atas dua asas; pertama, asas pengakuan keanekaragaman budaya. Desa harus tumbuh sesuai jati dirinya, tumbuh dalam sejarahnya dan mengembangkannya. Daerah Kalimantan masih banyak desa adat karena masih banyak tanah ulayat. Tapi dari asas recognisi ini diakui desa adat dan kewenangan desa dari hak asal usulnya. Itu menjadi kewenangan desa itu sendiri untuk mengatur. Kedua asas subsidiaritas. Kalau sanggup mengatur urusan pemerintahan maka pemerintah tidak boleh mengambil alih. Ketika dulu UU desa belum ada, desa bisa diserbu untuk proyek macam-macam. Desa hanya obyek. Dengan UU desa, kalau desa bisa sanggup dan mengurus itu, tidak boleh diambil alih.

Adanya pendampingan desa itu haknya desa. Ada kewenangan untuk mengatur dan mengurus. Namanya kewenangan lokal. Misal mengatur poliklinik desa, yang penting digunakan untuk memenuhi hak disabilitas itu masuk di kewenangan lokal desa. Langkah pertama harus ada peraturan bupati tentang daftar kewenangan desa dan daftar kewenangan atas hak asal usul.

Setiap desa kewenangannya berbeda-beda. Itu harus bisa mencantumkan program kegiatan untuk memenuhi hak-hak disabilitas agar bisa diatur dan diurus oleh desa. Contoh paling sederhana, desa saya jauh akses layanan desa, usulan ambulans desa, ini harus masuk di kewenangan desa agar dibiayai keuangan desa, atau membangun panti rehabilitasi juga harus masuk di daftar kewenangan ini, termasuk di dalamnya dana desa.

Sumber keuangan desa ada tujuh, pendapatan asli desa, dana desa, alokasi dana desa APBD kabupaten, bantuan dari propinsi dan kabupaten dan bantuan dari pihak ketiga yang tidak mengikat, dari hasil pajak. Bisa digunakan apa saja sejauh untuk pemenuhan desa. Aset desa yang menjadi milik desa bisa dibangun, ini penting diperjuangkan dalam kewenangan. Setiap desa harus menghormati itu dan tidak boleh mengambil alih. Ini yang harus didiskusikan dengan kabupaten.

Berikutnya bagaimana pengambilan keputusan dalam mengeksekusi kewenangan desa. Dalam UU Desa, hal-hal strategis di desa harus dimusyawarahkan dalam musyawarah desa untuk dibahas dan disepakati untuk mengeksekusi dalam kebijakan bersama. Musyawarah untuk membangun kepentingan bersama. Yang dibuka adalah ruang perbincangan publik, membicarakan terus-menerus sehingga menjadi usulan kelompok, dusun, dibawa ke musyawarah desa dan diputuskan dalam program kegiatan, masuk RPJMDes, disusun kepala desa terpilih dan digabungkan dengan aspirasi masyarakat yang berlaku enam tahun dalam masa jabatan kepala desa. Setiap tahun diambil dari musyawarah desa, di cek, dirumuskan jadi rencana kerja tahunan lalu dituangkan dalam APBD lalu di eksekusi dengan keuangan desa, bisa dana desa atau dari bantuan dari propinsi, dan kabupaten.

Proses antara kepentingan kelompok menjadi kepentingan publik ini yang tidak gampang. Bukan hanya kepentingan disabilitas, kepentingan perempuan sulit, fakir miskin sulit. Bagaimana proses seleksi kepemimpinan desa harus cari pemimpin desa yang visioner. Pilkades tidak bisa main-main lagi. Tidak boleh ada money politik. Kepala desa pemimpin rakyat bukan bawahan bupati.  Kepala desa dalam konstruksi UU desa adalah pemimpin rakyat untuk membawa desa yang mandiri dan demokratis. Orang-orang yang berjuang untuk disabilitas duduk sebagai penyeimbang untuk kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran.

Berikutnya, membangun ruang publik sebagai media, isu tentang penyandang disabilitas harus jadi isu publik, tidak hanya isu privat di rumah tangga, karena penyandang disabilitas punya hak yang sama dengan warga desa yang lain. Oleh sebab itu pilar tata kelola desa: partisipasi warga desa, kepentingan disabilitas harus jadi kepentingan warga desa. Tumbuh bela rasa sosial, itu ruh UU Desa bukan hanya pembangunan infrastruktur dengan pilarnya adalah musyawarah desa. Demokrasi musyawarah mufakat tertuang di musyawarah desa. Untuk mencapai hal seperti ini perlu diadakan pengembangan kapasitas bagi masyarakat, dengan pendekatan sosial, tidak bisa dana desa diatur sekian persen untuk disabilitas. Yang dilakukan adalah pendidikan bagi seluruh komponen. Sekolah desa bisa berpindah antar rumah, belajar merumuskan kepentingan bersama sehingga kepentingan masyarakat yang tadinya terpinggirkan menjadi kepentingan bersama. Proses belajar seperti itu paling efektif dengan model fasilitasi kader yang punya perspektif yang dicita-cita UU Desa, membawa tindakan, dari tadinya teks menjadi tindakan. Ini jadi kerja politik dalam tanda kutip. Kalau tidak ada kader militan seribu regulasi tidak akan jalan. Ini harus dibangun dari semua elemen untuk berpihak pada disabilitas agar hak-haknya terpenuhi. Apalagi kepala desa jadi kader, dia akan pimpin rakyat.

Kalau kepentingan disabilitas akan diperjuangkan di desa, maka ruh itu dibutuhkan. Kalau tidak, akan masuk jebakan elite, sekelompok orang menguasai aset. Pentingnya berjejaring dan menjalin kekuatan bersama, peluang ini besar dan dimandatkan UU.