Kerjasama Antar Layanan Penting dalam Mekanisme Penanganan Kekerasan

Sumber kerentanan perempuan penyandang disabilitas terhadap kekerasan bersumber dari banyak hal; mulai dari ketidakadilan di masyarakat, marjinalisasi, diskriminasi, subordinasi, stereotip, hingga beban ganda. Kerjasama antar lembaga diperlukan dalam mekanisme penanganan kekerasan berbasis gender dan disabilitas.

Koordinator layanan konseling Rumah Cakap Bermartabat (RCB) Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak (SAPDA) Rini Rindawati mengatakan kerjasama antar layanan dapat diwujudkan melalui sistem rujukan. “Baik rujukan bersifat lepas dan sinergi. Lepas dalam artian lepas ke instansi lain, dan sinergi berarti bekerja sama untuk membantu kebutuhan klien,” kata Rini saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk Mekanisme Penanganan Korban Berbasis Gender dengan Disabilitas pada Rabu (27/10).

Menurutnya, kerjasama antar layanan diperlukan untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Ia mencontohkan pihaknya sering menjalin kerjasama; misalnya untuk menyediakan pendamping disabilitas dan juru bahasa isyarat (JBI). “Sayangnya, masih banyak kebijakan yang belum mengakomodasi (kebutuhan) disabilitas,” kata Rini.

Rini mengatakan, pihaknya pun juga terus membuka pintu kerjasama. Ia menghimbau lembaga layanan dan Aparat Penegak Hukum (APH) yang membutuhkan dukungan dalam penyelesaian perkara untuk tidak ragu menghubungi RCB SAPDA. “Karena setiap kasus pasti memiliki kebutuhan kompleks yang dapat dipenuhi lewat kerjasama dengan instansi, komunitas, kelompok, dan lainnya,” tegasnya.

Selain itu, Rini mengatakan, RCB SAPDA juga bisa memberikan dukungan lewat peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan kepada sumber daya layanan. “Semisal tentang konsep disabilitas, cara berinteraksi dengan disabilitas, lalu penguatan tekait alur mekanisme, dan segainya,” katanya.

Lebih lanjut, kerjasama antar layanan salah satunya juga selalu diterapkan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bantul. Konselor psikologis UPTD PPA Bantul Anny Soepardjati mengatakan pihaknya sering menggandeng pihak lain saat melakukan penjangkauan kepada korban.

“Penjangkauan biasa (UPTD PPA Bantul) berjejaring bersama dengan Satuan Tugas Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan dan Satgas Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak; dimana kami saling berelaborasi terkait kebutuhan dan situasi serta kondisi kasus yang ada,” kata Anny saat menceritakan pengalamannya.

Kendati demikian, Anny mengatakan pihaknya masih perlu mengadakan unit layanan khusus bagi penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan, demi menyediakan penanganan yang lebih optimal. “Di PPA Bantul tidak ada pemisahan data antara kasus kekerasan yang dialami disabiltas dan nondisabilitas,” imbuhnya.

Sementara itu, Kepala Unit (Kanit) Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Kepolisan Resort (Polres) Kabupaten Bantul, Mustafa Kamal juga mengatakan pihaknya selalu mengupayakan kerjasama dengan lembaga yang memiliki fokus terhadap isu disabilitas.

Menurutnya, upaya tersebut penting dalam proses penyelesaian perkara, karena dapat membantu pihaknya dalam memahami posisi korban dalam sebuah perkara. Terlebih, Kamal mengakui bahwa penanganan kasus yang melibatkan penyandang disabilitas seringkali memerlukan tenaga ekstra.

“Misalnya jika (melibatkan disabilitas) netra, kita kesulitan dalam menjelaskan kondisi yang spesifik. (Saat melibatkan disabilitas) wicara, kita kesulitan dalam meminta keterangan. (Jika melibatkan disabilitas) mental intelektual, kita juga terhambat dengan undang-undang yang hanya mengakui (kesaksian dari disabilitas) fisik bukan usia mental” kata Kamal.

Ia menuturkan, UPPA Polres Bantul juga bekerjasama dengan berbagai lembaga dalam mengupayakan perlindungan khusus bagi perempuan penyandang disabilitas yang baru saja menjadi korban kekerasan. “Kami bekerjasama dengan rumah aman atau UPTD PPA agar mendapatkan perlindungan fisik dan psikis dari pelaku. Ada juga tempat lain, misalnya dengan LPSK,” jelas Kamal.

Kamal pun bercerita bahwa pihaknya telah menangani lima kasus penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum selama tiga tahun terakhir. Antara tahun 2017 hingga 2020, Unit PPA Polres Bantul telah membantu satu korban penyandang disabilitas tuli dan empat korban penyandang disabilitas mental-intelektual dengan rincian kasus yakni pencabulan dan persetubuhan.

Webinar Mekanisme Penanganan Korban Berbasis Gender dengan Disabilitas merupakan rangkaian inisiatif SAPDA dalam menyosialisasikan layanan konseling RCB SAPDA. Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).

********

Webinar selengkapnya dapat disimak melalui rekaman berikut: