Organisasi profesi dan penyedia layanan masih menghadapi persoalan dalam melakukan pendampingan terhadap penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Berbagai perwakilan lembaga yang terdiri dari advokat, psikolog dan psikiater serta pengada layanan berbasis masyarakat dan pemerintah menyampaikan beragam masukan untuk mendorong terciptanya standar pemeriksaan yang ramah bagi penyandang disabilitas berbasis akomodasi yang layak.
Perwakilan dari kelompok penyedia layanan Juru Bahasa Isyarat (JBI) misalnya mengatakan, pendampingan penyandang disabilitas sering kali menjadi terhambat karena masih adanya kewajiban JBI untuk bersertifikat, hingga permohonan JBI yang terlalu mendadak. Selain itu, JBI juga tidak dilibatkan secara penuh sejak awal penanganan kasus.
“Seharusnya JBI yang sama dilibatkan sejak awal sampai putusan. Jika ada pergantian, bisa diinformasikan kepada JBI yang sebelumnya mendampingi,” kata Ragil, seorang JBI Dengar, dalam kegiatan Diskusi Kelompok Terarah Mengenai Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, yang diselenggarakan Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA), pada Rabu (6/7).
Ragil juga menyampaikan bahwa seharusnya JBI tidak diwajibkan bersertifikat. Menurutnya legalitas bisa menggunakan surat tugas dari lembaga terkait. “Surat tugas atau surat rekomendasi selalu kami bawa dari penyedia layanan Juru Bahasa Isyarat atau lembaga penyedia layanan yang memanggil. Biasanya kalau di persidangan memang ditanya sertifikat dulu. Namun (di Yogyakarta) sekarang sudah mulai jarang,” katanya.
Sementara itu, perwakilan peserta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) merekomendasikan agar aparatur pengadilan dapat lebih memahami situasi kerentanan penyandang disabilitas. Hal ini misalnya bisa dilakukan dengan memprioritaskan layanan bagi penyandang disabilitas, terutama bagi ragam disabilitas tertentu yang rentan mengalami tantrum.
“Perlu adanya penyesuaian waktu. Korban disabilitas perlu didahulukan waktu, tempat dan segalanya agar lebih kondusif. Pengadilan juga perlu mempunyai ruang khusus istirahat untuk difabel,” jelas salah satu peserta dari UPTD PPA Kabupaten Sleman.
Perwakilan peserta UPTD PPA juga berharap agar sosialisasi mengenai penilaian personal menyentuh lebih banyak aparatur pengadilan. “Kemudian untuk perspektif disabilitasnya perlu dibangun kembali dan perlu adanya peningkatan kapasitas untuk membangun responsif pada korban untuk APH ini,” tambah mereka.
Perwakilan peserta dari penyedia layanan juga memberikan beberapa masukan. Arini Robi Izzati dari Rumah Cakap Bermartabat SAPDA mengatakan perlu adanya perbaikan dalam praktik penilaian personal disabilitas. Sebab selama ini aparat penegak hukum lebih sering mengacu pada Hasil Pemeriksaan Psikologis (HPP) dalam menentukan pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas.
“Penilaian personal tidak ter-cover dalam HPP. Itu tidak menjawab pada level kebutuhan khususnya, namun hanya menjelaskan pada kondisinya. Misalnya, IQ-nya berapa, termasuk intelegensi apa, dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana dengan hambatan dan kebutuhan khususnya? Juga tidak terjawab di sana,” jelas Arini.
Selain itu, Arini juga mengingatkan bahwa proses penilaian personal perlu menjamin partisipasi penyandang disabilitas. “Upaya pemenuhan akomodasi yang layak, basisnya adalah pada individu disabilitas. Jangan sampai proses penilaian personal meninggalkan disabilitasnya. Justru penyandang disabilitas itu menjadi sumber informasinya,” katanya.
Masukan juga diperoleh dari perwakilan peserta organisasi profesi. Salah satunya, perlu adanya penyesuaian durasi pemeriksaan bagi penyandang disabilitas. “Penyesuaian durasi pemeriksaan secara kasuistik berdasarkan penilaian personal. Jadi tidak ada jangka waktu. Karena secara pendampingan dari pihak psikiater dan advokat pun itu kasuistis. Mereka bisa kambuh itu karena ada treager-treager tertentu,” jelas Ayu, salah satu peserta advokat.
Mereka juga merekomendasikan agar Raperma Disabilitas mengatur secara jelas perihal anggaran bagi pemenuhan hak penyandang disabilitas dan penyediaan akomodasi yang layak. “Soal politik anggaran APH (Aparat Penegak Hukum). Anggaran langsung saja dicantumkan di Perma, enggak usah ke mana-mana,” jelas Ayu.
Berbagai cerita mengenai hambatan dan tantangan penyandang disabilitas yang telah dihimpun akan menjadi bahan masukan untuk mendukung fakta empirik pada Draft Naskah Akademik Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Standar Pemeriksaan Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan yang saat ini tengah disusun oleh SAPDA bersama Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM).
Yuris, salah satu peneliti dari PUKAT UGM yang berkontribusi dalam penulisan Draft Naskah Akademik Raperma Disabilitas mengatakan Mahkamah Agung dan seluruh badan peradilan dibawahnya perlu didorong untuk bisa memberikan akomodasi yang layak untuk teman-teman penyandang disabilitas.
“Secara empiris, banyak kasus yang terbengkalai, banyak kasus terdiskriminasi, banyak kasus dimana teman-teman disabilitas tidak bisa mendapatkan proses peradilan yang adil. Secara hukum dan kebijakan kita itu enggak kurang-kurang. Negara memiliki kewajiban memberikan akomodasi kepada teman-teman disabilitas dalam konteks hukum dan peradilan,” pungkas Yuris.
Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan pendanaan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).