DISKUSI KEKERASAN PADA REMAJA PENYANDANG DISABILITAS

Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Di antara peristiwa-peristiwa historis yang terkait lainnya, perayaan ini memperingati kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya.
Menurut data Komnas Perlindungan Anak (PA), kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu. Pada tahun 2015 menunjukkan dari 1.726 kasus pelecehan seksual yang terjadi, sekitar 58 persennya dialami anak-anak. Ironisnya, kasus-kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak justru lebih sering terjadi di dalam lingkungan terdekat anak, seperti di dalam rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Pelakunya adalah orang yang seharusnya melindungi anak, seperti orang tua, paman, guru, juga bapak atau ibu tiri.
SAPDA sendiri, sebagai lembaga yang konsen pada perlindungan perempuan, disabilitas dan anak beberapa waktu ini telah melakukan proses pencegahan dengan melalui pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja dengan disabilitas di beberapa sekolah, komunitas dan orang tua dari remaja dengan disabilitas. Tindak lanjut untuk pencegahan tersebut adalah melakukan forum diskusi pemahaman kekerasan yang dihadapi oleh anak/remaja dengan disabilitas sehingga tercapai satu kesatuan pemahaman serta agar anak/remaja disabilitas tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas. Dalam rangka memperingati hari Perempuan Internasional serta untuk mengawali diskusi selanjutnya, SAPDA ingin mengangkat tema kekerasan yang dialami dan dihadapi oleh remaja disabilitas.

Diskusi ini digelar tanggal 19 Maret 2016 di knator SAPDA pukul 09.00-13.00 dengan menghadirkan 2 narasumber, yaitu Sri Muji Rahayu (Kepala Sekoalah Guru SLBN 2 Yogyakarta) dan Hani Atus Surgiyah, Orang Tua Murid (Persatuan Orangtua Murid di SLBN Pembina). Acara yang dimoderatori oleh Rini (SAPDA) dan dikawal notetaker oleh Alviah dihadiri oleh 26 Orang, diantaranya SAPDA (9 orang), Guru (4 orang), Orangtua murid (10 orang), Umum (3 0rang) dengan detail kepesertaan Perempuan: 19 orang (Non Dis= 12 ; Disabilitas=7) ; Laki-laki: 7 orang (Non Dis= 5 ; Disabilitas= 2).

Diskusi ini selain untuk mengawali diskusi kekerasan di sekolah dan komunitas, serta pengantar ijin kepada orangtua dan sekolah juga untuk memperingati hari perempuan sedunia yang sebenarnya jatuh pada tanggal 8 Maret 2016. Peserta dari orangtua ada yang dari orang tua remaja grahita dan runguwicara. Sebagai pengantar, SAPDA mengemukakan realitas yang ada bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kekerasa terhadap remaja disabilitas baik di keluarga maupun di masyarakat. Kenapa dan bagaimana?

Narasumber pertama adalah Bu Hani Atus Surgiyah dari orangtua SLBN Pembina Giwangan.
Inti dari materi Bu Hani adalah kekerasan dapat dicegah dan diminimalisir dengan pengetahuan kesehatan reproduksi.
Bu Hani adalah seorang ibu dari remaja grahita yang berusia kalender 17 tahun. Beliau mulai sering berdiskusi dengan anaknya. Beliau menyampaikan tentang bagaimana belajar proteksi diri melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi (KESPRO) dalam menghadapi kekerasan. Meskipun sangat berat, tetapi harus demi masa depan anak. Bu Hani juga menjelaskan bahwa belajar Kespro dilakukan sejak dini, menggunakan bahasa sederhana, menjelaskan dengan lugas dan baik ketika anak bertanya, jangan menganggap tabu dan mengajarkan berani berkata tidak jika seseorang akan menyentuh bagian tubuh. Selain itu, orangtua harus melek teknologi, peka akan tingkahlaku anak dan selalu memonitor anak agar tidak terpengaruh kemajuan teknologi yang banyak mengakses pornografi.

Narasumber kedua adalah Bu Sri Muji Rahayu (Yayuk), seorang Kepala sekolah SLBN 2 Yogyakarta. Dengan judul KEKERASAN TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Bu Yayuk menyampaikan bahwa macam kekerasan adalah kekerasan seksual, fisik, emosi, verbal dan social. Kekerasan fisik jelas tandanya seperti pukulan, cubitan dan lain-lain. Kekerasan verbal melalui ucapan. Baik dari teman di sekolah , teman sebaya maupun alumni.
Anak grahita tetap ada ketertarikan dengan lawan jenis, karena pada dasarnya mereka lugu dan polos. Dia akan menyampaikan ketertarikannya tanpa malu-malu dihadapan temannya. Mereka mudah jatuh cinta, tapi juga mudah pindah ke lain hati.

Orangtua kadang ada yang melabeli anaknya atau remaja orang lain dengan label “anak kurang”. Hal ini menyebabkan kekerasan verbal ataupun fisik. Bahkan di masyarakat sering terdengar istilah jika anaknya bandel dengan istilah “akan di sekolahkan ke SLB” dan juga anak saya disebut anak dari guru SLB. Anak grahita sering menjadi bahan ledekan di masyarakat masyarakat seperti “dasar cah SLB” ketika ada kesalahan kecil. Ada underestimate bahwa seolah-olah untuk anak nakal dan tidak punya potensi, meskipun banyak yang berprestasi.

Karena anak memiliki kebutuhan biologis, anak kadang tidak menolak ketika dicium temannya. Ada anak grahita yang disetubuhi tetangga, tidak bercerita kepada guru, tetapi melapor kepada teman sebaya. Anak kadang memfoto ketika sedang ciuman. Mereka bangga bahwa mereka punya pacar. Padahal orangtua kadang melarang. Ketika di sekolah diberi kamera CCTV, anak-anak pintar mencari sela/pojok yang tidak terkena kamera.

Ada hambatan komunikasi antara murid, orangtua dan guru. Selain itu, bagaimana cara mengendalikan dorongan dan hasrat seksual anak grahita karena keterbatasan intelektualnya. Adanya gaya imitasi yang tinggi dari anak grahita untuk melihat adegan ciuman, pelukan dan persetubuhan. Mereka ingin mencoba. Situasi lain adalah situasi kamar di rumah. Mereka melihat orangtuanya berhubungan seksual yang kemudian diceritakan di sekolah.

Salah satu cara mengurangi kekerasan adalah anak diberi peluang untuk mengaktualisasikan dirinya seperti ikut pentas atau perform, digali kemampuannya, memberi pengertian bagian mana yang tidak boleh disentuh orang lain. Orangtua diberi pengertian tentang kebutuhan biologis anak/remaja.

Banyak pernyataan/sharing dari orangtua dan guru seperti dari pak Suparwoto (ortu rungu wicara), Naryo (guru SLB Dharma Rena Ring), Winarsih (ortu remaja grahita SLBN Pembina), Rusmiati (orangtua remaja grahita SLBN 2 Yogyakarta), Nana (ortu remaja runguwicara DTLS), Maya (ortu remaja grahita SLBN Pembina), Presti (umum), Abbas (SAPDA).

a. Suparwoto menyatakan bahwa pengaruh media televisi sangat besar sehingga tayangan yang tidak mendidik harus dihapuskan. Baik melalui sosmed, televisi dan audiovisual. Ia menyatakan bahwa 97% remaja menurut data KPA secara nasional sudah pernah membuka konten pornografi. Mereka membuka dari HP dan warnet.
Untuk memberikan pembelajaran ke anaknya yang runguwicara, ketika kecil cukup keras. Ia pernah menyabet anaknya dengan kabel internet ketika melakukan tindakan yang membahayakan dirinya. Pernah memeluknya dengan erat karena jika tidak begitu, akan kuat menangis selama berjam-jam. Padahal hanya karena bahasanya tidak dimengerti oleh ibunya atau orang lain. Sekarang sudah tidak menyabeti lagi karena anak sudah dong.
Untuk pencegahan, tayangan tidak bermutu dihentikan atau diganti jam tayang, pak parwoto memberi senjata kepada anaknya jika sedang sendirian dirumah atau disuruh lari dan melawan jika ada yang akan berbuat jahat. Dalam menyampaikan nasehat bisa melalui media gambar, bertanya tentang kegiatan di sekolah ke guru dan anak.
Ketika orangtua aktif bertanya tentang anak dan yang lainnya jangan di “cim”. Sesekali setrap bisa diterapkan untuk mendidik.
b. Naryo menyatakan setuju tentang pendidikan tidak hanya dari guru sekolah, karena sekolah hanya beberapa jam saja. Orangtua bertanggungjawab juga. Tidak boleh “pasrah bongkokan” saja. Sekolah dan rumah, Guru dan orangtua saling bekerjasama. Bagaimana agar cara yang diajarkan di sekolah bisa berkesinambungan di rumah. Juga menerapkan hukuman yang mendidik.
c. Winarsih menyatakan bahwa karena keistimewaan remaja disabilitas harus tetap sayang menyayangi meskipun agak keras dalam mendidiknya. Anak saya dulu tidak bisa bicara. Oleh bapaknya dicekik/diurut dengan keras sampai menangis. Selama beberapa tahun. Usaha tersebut membuahkan hasil. Anak sekarang mulai bisa bicara.
d. Rusmiati menyatakan untuk mencegah kekerasan seksual harus secara team work. Ada yang perlu kekerasan, ada yang perlu kelembuatan dan ada yang perlu keduanya. Ketika datang ke sekolah, orangtua bukan hanya datang tapi untuk mengetahui perkembangan anak. Kemungkinannya adalah guru sabarnya lebih dari orangtua.
e. Nana mengatakan bahwa usia remaja dimulai dari SD bukan SMA. SD kelas lima sudah labil. Fitrahnya, kalau dipegang dan dicium oleh lawan jenis itu senang. Apalagi ditambahi tayangan TV dan internet. Orangtua harus membuka komunikasi dengan anak. Agar anak terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi.
Perlu pendampingan dalam pengenalan istilah dan bahasa tentang apapun. Bahasapun tidak boleh hanya satu tentang satu hal. Missal tentang penis.
Untuk saat ini, guru mungkin mendidik dengan hukuman tetapi daalam pikiran orangtua dianggap lain, lalu dilaporkan, disebarin ke medsos lalu berkasus.
f. Maya mengatakan bahwa saat ini sex education adalah darurat segalanya, darurat moral, pemakaian narkoba dan lingkungan. Setuju jika ada kegiatan yang membuka dan mengetuk hati pemerintah khususnya. Sangat keras ke anak karena anak sangat ngeyelan. Terutama untuk tayangan TV. Untuk sinetron yang tidak ada nilai edukasi, HP juga tidak dikasih.
Menurut Maya, pendampingan terhadap grahita adalah pendampingan seumur hidup. Untuk sex edukasi setuju harus diberikan dari awal.
g. Presti mengatakan bahwa ketika mensetrap anak didik grahita maka besoknya tidak masuk sekolah. Bahkan kadang ketika diberitahu dengan cara halus, malah dilaporkan ke orang tua dengan berlebihan
h. Abas mengatakan harus ada sinergitas antara orangtua dan guru, sehingga ada penangannan yang intensif pada remaja disabilitas. Jika ada masalah bisa dikomunikasikan sehingga terbangun pemahaman yang sama.
i. Tanggapan narasumber adalah ketika anak melakukan kesalahan, sebaiknya tidak menegur di depan umum/orang lain sehingga anak tidak malu. Perlu mengumpulkan orangtua, anak dan keluarga dekat dan guru dengan melakukan kegiatan bersama (family gathering). Orangtua harus pro aktif (Bu Yayuk).
Yang paling tahu anak kita adalah kita sendiri. Pendekatan ke anak harus dilakukan. Orangtua harus pandai bersandiwara. Jika ada kekerasan maka perlu penanganan intensif, bukan disetrap dan dipulangkan (Bu Hani)
c. Pembelajaran
Dalam pencegahan kekerasan terhadap remaja disabilitas perlu sinergitas. Saling komunikasi antara orangtua dan guru. Saling komunikasi antara remaja disabilitas dengan guru dan antara remaja disabilitas dengan orangtuanya. Selain itu, masyarakat juga perlu pembelajaran.

d. Rekomendasi
1. Perlu penyuluhan dan diskusi tentang kekerasan lebih lanjut ke sekolah dan orang tua agar orangtua dan guru yang belum ikut mengetahuinya.
2. Orangtua dan guru harus memberikan pengetahuan tentang kekerasaan pada anak
3. Harus ada sinergitas yang berkesinambungan dalam memberikan pemahaman tentang kekerasan
4. Adanya family gathering dengan pesertanya adalah remaja disabilitas, orangtua, anggota keluarga lainnya (adik, kakak, kakek, nenek dst) sehingga mereka bisa saling menjaga dan mengetahui tentang pengasuhan yang benar remaja disabilitas seperti tentang kesehatan reproduksi, kekerasan dan pola asuh dan lain-lain.