INDONESIA DALAM DESA INKLUSI

Judul : Indonesia dalam Desa Inklusi
Tahun terbit : Juni 2015 (Cetakan Pertama)
Tim penulis : Ishak Salim, M. Syafi’ie, Nunung Elisabeth
Kontributor : Andi Robandy, Brita Putriutami, Haris Munandar, Imatussulifah, Irman Ariadi, Ismail, M. Joni Yulianto, Muh. Syamsudin, Ninik Nurcahyo, Nur Widya Hening Handayani, Ramadhani Rahmi, Rohmanu Solikin, Tri Murnitati
Editor : Ishak Salim
Penerbit : SIGAB (Sarana Integrasi dan Advokasi Difabel)
Tebal buku : 196 halaman
“Desa Inklusi untuk Indonesia Inklusi”

Pada awal 1980-an, isu difabilitas mulai mendapatkan perhatian dunia. Sejak disahkannya regulasi tentang program internasional bagi difabel oleh Majelis Umum PBB, dibuatlah Dekade Difabel se-Dunia untuk memastikan bahwa pembahasan isu-isu difabilitas lebih matang lagi. Di penghujung dekade tersebut, diputuskanlah tanggal 3 Desember sebagai Hari Difabel Internasional. Perhatian dunia yang besar akan isu-isu ini melahirkan konvensi hak-hak difabel atau disebut Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) pada tahun 2006 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia sebagai UU No.9 tahun 2011.
Buku ini merupakan sebuah catatan yang mendokumentasikan perencanaan, pelaksanaan, dan hasil yang dicapai dalam Temu Inklusi 2014 yang dilaksanakan di Desa Sendangtirto, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertemuan ini mengambil momen Hari Difabel Internasional dan mengangkat tema “Menggalang Apresiasi, Menggagas Inovasi, Membangun Misi.” SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel) yang merupakan penggagas acara ini merangkul organisasi-organisasi difabel untuk bersama-sama mewujudkan pertemuan yang sebenarnya hanya memiliki waktu 2 bulan. Waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan sebuah acara besar, tetapi kerjasama kolektif di mana setiap individu dan lembaga saling topang menopang membuat itu semua dapat direalisasikan.

1. Gagasan Desa Inklusi dan Temu Inklusi
Berdasarkan kesadaran bahwa mayoritas difabel tinggal di desa, upaya-upaya untuk mengatasi hambatan yang dialami difabel harus dimulai dari tataran desa. Menggunakan momen disahkannya UU No. 6 tahun 2014 tentang penguatan desa, gagasan dan persektif difabilitas pun dapat dikaitkan untuk membangun kemandirian desa. Dari situ muncullah gagasan untuk merealisasikan Desa Inklusi.
2 bulan menjelang peringatan Hari Difabel Internasional, sebuah perayaan yang berbeda pun digagas dan diberi tajuk “Temu Inklusi 2014: Menggalang Apresiasi, Menggagas Inovasi, Membangun Misi.” Perayaan kali ini dipusatkan di desa di mana masyarakat desa dapat ikut melebur di dalam pelaksaannya sehingga muncul kesadaran publik mengenai isu-isu difabilitas terutama di tingkat desa. Peserta-peserta yang berasal dari 12 propinsi hadir dan tinggal di rumah warga desa sehingga akan ada interaksi yang diharapkan mendobrak stigma masyarakat terhadap difabel. Fasilitas-fasilitas publik di desa juga dipersiapkan dan dibangun untuk memberikan akses kepada difabel selama acara berlangsung.
Logo yang digunakan oleh Temu Inklusi 2014 memiliki makna yang dalam dan terjabarkan dalam tiga poin penting yaitu inklusi, aksesibilitas, dan pertemuan. Inklusi dimaksudkan sebagai keberagaman masyarakat termasuk kelompok difabel untuk saling bertemu, berpartisipasi, dan mencapai tujuan sendiri maupun bersama. Pelangi melambangkan keberagaman. Keberagaman ini juga digambarkan dengan siluet ibu dan anak (sebagai masyarakat sipil) yang menaiki tangga dan seorang difabel pengguna kursi roda (sebagai masyarakat difabel) yang menaiki rampa. Tangga dan rampa digunakan untuk mewakili aksesibilitas di mana keduanya sebagai representasi dari media untuk mengurangi hambatan yang dialami oleh difabel. Rumah merepresentasikan tempat pertemuan yang dituju oleh masyarakat sipil dan masyarakat difabel di mana kedua kelompok ini dapat saling bertukar pikiran dan berpartisipasi untuk kemajuan bersama.
Sesuai dengan tema tersebut, pihak penyelenggara memang tidak menitikberatkan pada permasalahan-permasalahan terkait isu difabilitas. Acara ini berfokus pada 3 hal, yaitu: upaya-upaya yang telah dilaksanakan sehingga dapat diapresiasi bersama, inovasi-inovasi yang bisa dilakukan, serta misi-misi strategis yang dapat dibangun dan dilaksanakan bersama.

2. Praktik Disabilisme dalam Berbagai Tema
Disabelisme merupakan pemahaman seseorang atau sekelompok orang dalam skala masyarakat maupun negara yang mengabaikan keberadaan dan keterlibatan orang lain hanya karena orang tersebut memiliki struktur dan fungsi tubuh dan mental yang berbeda. Praktik disabelisme ini dapat terjadi dalam segala sektor, misalnya sektor pendidikan, hukum, politik, dan ekonomi.Orang-orang yang memiliki pengaruh di dalam sektor-sektor ini memiliki keyakinan-keyakinan dan nilai-nila yang dianut yang kemudian mempengaruhi cara mereka berpikir. Cara berpikir tersebut melahirkan produk pikiran yang diskriminatif terhadap difabel pada sistem politik, sistem pemilu, sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem pendidikan.
Workshop paralel dengan kedelapan tema ini memperbincangkan mengenai pengalaman atau pengetahuan untuk memaparkan bagaimana gerakan difabilitas Indonesia melawan praktik-praktik tersebut dan mengubahnya menjadi keyakinan yang berbeda yaitu “equality”. Keyakinan “equality” ini merupakan kesetaraan pemahaman bahwa ada kemampuan dari setiap orang dan setiap kemampuan itu seharusnya menjadi dasar kesetaraan pelibatan warga dalam bermasyakarat, berbangsa dan bernegara.
Di dalam penyelenggaraan workshop paralel, tercetuslah serangkaian rekomendasi berdasarkan 8 tema di bawah ini:

1) Desa Inklusi dan Urgensi Sistem Informasi Desa
Pemikiran yang mendasari gagasan mengenai Desa Inklusi adalah:
a. Desa mengakomodasi perbedaan warga, baik berdasarkan difabilitas maupun isu lain yang tidak langsung berkaitan dengan difabilitas;
b. Desa inklusi merupakan jembatan menuju masyarakat desa yang sejahtera dengan adanya proses interaksi terus-menerus antara ‘warga difabel dan waga lainnya’ dalam mendapatkan layanan dan pemenuhan hak-hak dasar sebagai warga negara ;
c. Warga desa memiliki akses memasuki seluruh proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat desa;
d. Desa memiliki pangkalan data difabilitas yang berbasis empirik mencakup data jenis atau kategori disabilitas, jenis hambatan dan kebutuhan untuk beraktifitas, Faktor Lingkungan Internal (usia, jenis kelamin, dll), dan eksternal (infrastruktur, regulasi, dst);
e. Penyusunan instrumen, pendataan, dan analisis data dilakukan bersama-sama dengan pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan organisasi difabel di desa.
f. Terdapat wadah organisasi bagi difabel, baik dalam bentuk organisasi difabel maupun forum warga;
g. Ada Perspektif Difabel yang menjadi Arus Pemikiran Utama di desa yang dapat dituangkan ke dalam Peraturan Desa tentang Perlindungan Hak-hak difabilitas
h. Ada Peraturan Desa Disabilitas yang diterapkan dengan melengkapi sejumlah peraturan atas keputusan kepala desa untuk mengatasi sarana dan prasarana publik yang tidak aksesibel, kemudian melibatkan warga difabel ke dalam sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan desa sampai pada monitoring dan evaluasi pembangunan desa;

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam membangun desa inklusi terangkum sebagai berikut:
1. Menentukan desa yang akan menjadi pilot;
2. Mendirikan ‘Organisasi Warga Inklusi Skala Desa’;
3. Membangun kapasitas Anggota dan Organisasi Warga Desa Inklusi untuk mempersiapkan proses mendorong terwujudnya desa inklusi;
4. Melakukan pendataan awal, pendataan lanjutan, dan pendataan berkala untuk mengidentifikasi dan menilai permasalahan-permasalahan yang dihadapi warga difabel di desa;
5. Melakukan pengkajian untuk mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi difabel di desa, kemudian melakukan sosialisasi hasilnya kepada pemerintah desa dan BPD, keluarga-keluarga difabel, dan masyarakat pada umumnya.
6. Membangun kerjasama dengan Pemerintah Desa dan mendorong desa menyusun dan mengesahkan Peraturan Desa tentang perlindungan hak-hak Difabilitas yang menjadi difabel terlibat di dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran dan pembangunan desa dan menerapkan Standar Pelayanan Dasar difabel;
7. Membentuk Forum Warga Inklusi untuk mendorong proses penyelesaian permasalahan difabel dan memperluas area forum menjadi lintas desa;
8. Desa-desa inklusi mendorong lahirnya Peraturan Daerah tentang Perlindungan atas Hak-hak difabel.

2) Aksesibilitas
Poin-poin yang menjadi pokok pembahasan workshop bertemakan aksesibilitas adalah sebagai berikut:
1. Implementasi Permen PU No.30/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan belum maksimal.
2. Fasilitas umum termasuk tempat ibadah masih jarang memiliki ramp. Jemaah berkursi roda belum memiliki tempat khusus, misalnya ruang tanpa karpet. Fasilitas lift juga tidak ramah untuk difabel ruwi.
3. Kurangnya keterlibatan media dan pihak swasta dalam kampanye isu-isu difabilitas terutama mengenai aksesibilitas untuk umum.
4. Kurangnya kesadaraan pengambilan kebijakan dan perencanaan pembangunan terutama mengenai aksesibilitas untuk umum, serta minimnya anggaran untuk aksesibilitas.
5. Minimnya keterlibatan difabel dalam MUSRENBANG.
6. Minimnya layanan penerjemah di ruang-ruang publik dan tidak adanya subtitle di media elektronik bagi salah satu jenis difabilitas.
7. Bahasa isyarat yang belum sepenuhnya diterapkan dalam dunia pendidikan

Rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh peserta-peserta workshop aksesibilitas:
1. Standarisasi infrastruktur; 15 aspek persyaratan teknis (ukuran dasar ruang, jalur pedestrian, jalur pemandu, area parkir, pintu, ramp, tangga, lift, kamar kecil, pancuran, wastafel, telepon umum, ATM, perlengkapan, perabot, rambu-rambu.
2. Advokasi kepada pihak-pihak terkait, yaitu media, DPO, dan LSM untuk melakuka kampanye dan mengontrol fasilitas umum yang belum akses. Termasuk juga melibatkan difabel dalam ruang-ruang rubrik di media cetak dan memastika keterlibatan pada MUSRENBANG/ Sosialisasi dan peningkatan kesadaran melalu public campain dan pendidikan.
3. Menggandeng pihak swasta dalam hal mengakses CSR dari pihak swasta untuk kepentingan anggaran bagi pemenuhan hak-hak difabel dan advokasi anggaran ke Pemerintah untuk pemenuhan anggaran aksesibilitas.
4. Advokasi ke Pemerintah dan swasta (media) untuk memaksimalkan tenaga penerjemah di ruang publik dan adanya subtitle di media elektronik.
5. Melakukan advokasi ke pihak terkait untuk menciptakan tanda atau kode yang bisa dimanfaatkan difabel ruwi ketika mengakses lift.

3) Jurnalisme Inklusi
Peran media sesungguhnya sangat krusial dalam penyebaran informasi mengenai isu difabilitas. Meskipun demikian, liputan media massa mengenai isu difabilitas dinilai kurang memuaskan oleh para junalis, difabel, dan aktifitas NGO yang bergerak dalam isu difabilitas. Selain minimnya jumlah berita yang mengangkat isu difabilitas, perspektif yang digunakan pun menggunakan perspektif yang belum pas dan terkadang masih salah dalam teknik penulisan dan melanggar kode etik jurnalistik. Hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi antara jurnalis dan kelompok difabel.
Beberapa poin yang menjadi pokok rekomendasi pada workshop jurnalisme inklusi adalah:
1. Mendorong Dewan Pers dan KPI untuk memberikan perhatian pada berita-berita berkaitan isu-isu difabilitas dan membuat buku panduan kode etik dan pelatihan khusus bagi jurnalis mengenai peliputan isu-isu difabilitas. Pembuatan buku panduan ini perlu dibuat dengan melibatkan kelompok difabel dan NGO.
2. Para jurnalis harus paham dan menjalankan kode etik jurnalistik dan mau menghormati difabel baik saat berkomunikasi di lapangan maupun penyajian beritanya. Jurnalis juga harus selalu berpikiran terbuka, obyektif, dan mau menggali informasi yang dalam serta belajar soal keberagaman karakteristik difabel.
3. Dalam peliputan wawancara dengan Tuli, sebaiknya mengajak interpreter.
4. Media massa dan jurnalis seharusnya mempunyai perspektif keberpihakan terhadap isu difabilitas. Media massa juga memberikan kolom khusus mengenai isu difabilitas. Setiap perusahaan media juga harus memberikan pemahaman dasar soal isu difabel mulai dari level reporter dan pemimpin redaksi
5. Pentingnya menjalin komunikasi yang lebih erat antara pihak jurnalistik, difabel, dan organisasi difabel.
6. Kelompok difabel dan NGO perlu mendapatkan training jurnalisme sehingga dapat membuat press release yang baik dan mampu menyodorkan isu menarik bagi para jurnalis.
7. Kelompok difabel dan NGO menulis surat pembaca sebagai teguran bagi jurnalis yang kurang pas dalam menuliskan berita terkait isu difabilitas.

4) Pendidikan Inklusi
Pendidikan Inklusi merupakan salah satu tema workshop pada Temu Inklusi 2014 yang membahas mengenai permasalahan dalam penerapan inklusi di dalam pendidikan. Permasalahan dan rekomendasi peserta workshop dijabarkan sebagai berikut:
1. Guru, masyarakat, dan pembangku kebijakan pendidikan masih memiliki stigma bahwa difabel hanya memiliki kemampuan terbatas, kemamapuan yang lebih rendah dari kelompok masyarakat lainnya. Untuk mengatasi permasalahan umum ini, perlu diadakannya pelatihan penyadaran kepada pihak-pihak terkait mengenai kemampuan dari setiap ABK yang bisa dikembangkan.
2. Pemangku kepentingan (guru, kepala sekolah, masyarakat, orang tua difabel, dan pembuat kebijakan) kurang memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai pendidikan inklusi, sehingga perlu adanya sosialisasi pendidikan inklusi kepada pemangku kepentingan.
3. Regulasi yang belum mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi, misalnya UU No.20 Tahun 2003, Permendiknas No.70 Tahun 2009) sehingga diperlukan reformasi regulasi pendidikan inklusif. Selain reformasi regulasi, perlu adanya mainstreaming isu difabilitas dari tinggkat pusat hingga tingkat desa.
4. Pelanggaran terhadap hak pendidikan, misalnya penolakan atau dikeluarkan dari sekolah, masih tetap terjadi sehingga perlu adanya sanksi yang tegas. Penerapan sanksi ini harus dijabarkan dalam regulasi.
5. Para pelaksana pendidikan masih menyarankan difabel untuk bersekolah di SLB, terutama bagi difabel yang inteligensianya dianggap tidak memenuhi. Semua pihak terkait perlu merevitalisasi SLB menjadi pusat transisi, pusat sumber sebagai pendamping sekolah inklusi, kompensatoris anak, dan vocational.
6. Aksesibilitas sarana dan prasarana sekolah belum ditunjang, misalnya: pintu masuk belum ada huruf braille, masih bertangga, kamar mandi tidak akses untuk kursi roda, tidak adanya rekaman audio visual saat PBM untuk netra, tidak ada interpreter untuk rungu, tidak ada ruang kelas yang inklusif, dan perpustakaan tidak akses (tidak ada komputer bicara maupun terjemahan teks ke komputer).
7. Guru GPK di sekolah masih kurang tersedia sehingga perlu adanya training untuk GPK dan jumlah GPK harus proporsional dari jumlah siswa difabel. Guru BK juga perlu bersinergi dengan GPK dan perlu adanya jobdesk dan indikator pembelajaran.
8. Difabel mengalami kesulitan dalam komunikasi oral dan guru kurang bisa memahami teknik berkomunikasi. Untuk mendukung proses belajar bagi siswa difabel, sekolah perlu difasilitasi dengan tersedianya juru bahasa, pelatihan teknik komunikasi dan bahasa isyarat untuk guru, media pembelajaran yang mudah diikuti difabel, teman sebaya yang bisa membantu, dan notulensi hasil PBM.
9. Kurikulum dan metode pengajaran yang tidak bersumber kepada pengalaman subjek belajar sehingga tidak dapat mengakomodasi ABK. Dalam hal ini, sekolah harus berani menerapkan kurikulum dan metode yang dirancang sesuai dengan pengalaman dan penelitian kebutuhan khusus siswa.
10. Teman-teman sebaya di sekolah kurang memiliki kepedulian sehingga perlu dilakukan pembentukam komunitas sekolah agar menerima siswa difabel.
11. Difabel mengalami kesulitan untuk melanjutkan studi dan pada saat setelah menyelesaikan studi sehingga diperlukan kebijakan untuk memastikan tindak lanjut alumni difabel dan penempatan kerja.
12. Syarat masuk PTN yang diskriminatif sehingga perlu adanya regulasi yang dapat mengatur syarat-syarat yang inklusif dan responsif terhadap difabel.
13. Home Schooling belum dilihat sebagai jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan pendidikan difabel sehingga perlu adanya dukungan regulasi untuk penyetaraan Home Schooling dengan pendidikan formal.

5) Ketenagakerjaan
Workshop bertemakan ketenagakerjaan dalam isu difabilitas ini bertujuan untuk menjabarkan penyebab difabel kurang informasi mengenai rekruitmen pekerjaan, kalah bersaing dengan non-difabel, solusi untuk menciptakan lingkungan berkerja yang inklusi bagi difabel. Hasil yang menjadi harapan dalam workshop ini adalah terbentuknya rekomendasi untuk mendorong pasar kerja inklusi.
Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas bagian ketiga mengenai perkerjaan menyatakan bahwa “Setiap Difabel mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan/atau melakukan pekerjaan yang layak. Butir-butir di dalam Perda ini selanjutnya memaparkan mengenai kewajiban Pemerintah untuk memberikan pelatihan, menyediakan informasi mengenai potensi Difabel, mengembangkan tenaga kerja Difabel, memperluas kesempatan kerja, dan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Difabel.
Pasar kerja yang inklusif memberikan kesempatan sama rata kepada semua orang untuk berpartisipasi penuh dan aktif di dalam interaksi antara angkatan kerja dan kesempatan kerja. Kondisi ini merupakan pemahaman bahwa terdapat kelompok orang yang memiliki tantangan berbeda di dalam dunia kerja dan perlu adanya tindakan-tindakan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Pasar kerja inklusif memiliki beberapa faktor penghambat: faktor kontekstual (situasi ekonomi dan pasar kerja), faktor pekerjaan (organisasi dan lingkungan kerja, rekruitmen, perkembangan teknologi, dan proses pelatihan kerja, dan faktor individual (aspek-aspek keterampilan: kualifikasi pendidikan, motivasi, bahasa, status kesehatan, dan durasi periode tidak bekerja).
Hasil dari assessmen kapasitas dan kebutuhan individual dinilai esensial sebagai dasar untuk membentuk sistem pendidikan dan pelatihan yang dapat secara efektif mengembangkan kualitas SDM. Selain itu, dalam perekrutan angkatan kerja, sistem rekruitmen harus lebih berkeadilan, registrasi status kerja secara on-line, dan ada dorongan agar difabel proaktif.

6) Difabel Berhadapan dengan Hukum
Perspektif difabel harus dimasukkan ke dalam ranah hukum sehingga difabel yang berhadapan dengan hukum (baik sebagai korban, saksi, tersangka, atau pelaku) mendapatkan pemenuhan dan perlindungan akan hak-haknya selama menjalani proses hukum. Permasalahan di dalam ranah hukum ini salah satunya mencakup fisik dan nonfisik, seperti bagaimana difabel dapat memperoleh informasi, layanan/administrasi peradilan dan transportasi yang aksesibel. Pada salah satu jenis difabel, ketersediaan penerjemah bahasa isyarat sangat dibutuhkan. Hakim, pengacara, dan lembaga-lembaga pendamping selama proses hukum juga harus memiliki perspektif difabel.

 

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU
Buku yang ditulis oleh tim penulis Temu Inklusi 2014 ini berhasil mendeskripsikan suasana dan momen-momen dalam perencanaan dan pelaksanaan Temu Inklusi 2014. Gaya bahasa santai namun naratif dan deskriptif mampu membuat pembaca terpikat dan merasakan suasana bagaimana gagasan-gagasan tentang desa inklusi muncul. Pembaca juga mendapatkan gambaran mengenai langkah-langkah perencanaan dan usaha-usaha dalam penyelenggaraan acara ini. Rasa haru, bangga, dan semangat kekeluargaan dalam mengkampanyekan dan memperjuangkan masyarakat inklusif yang dimulai dari tataran desa tergambarkan dalam bagian-bagian buku ini. Lembaga-lembaga dan individu-individu yang bekerja sama dengan SIGAB dalam penyelenggaraan juga diperkenalkan dan dijelaskan, sehingga pembaca dapat memperoleh pengetahuan mengenai lembaga-lembaga tersebut.
Meskipun gaya bahasa dan pemilihan kata yang digunakan dalam buku ini mempermudah pembaca untuk membacanya, penjabaran mengenai hasil-hasil workshop dan gagasan yang dihasilkan dalam Temu Inklusi 2014 kurang maksimal. Hasil-hasil workshop dan gagasan-gagasannya dijabarkan ke dalam poin-poin saja di dalam buku, padahal seharusnya dapat dijelaskan lebih mendalam menjadi bentuk esai sehingga pembaca dapat memperoleh pengetahuan luas dan mendalam mengenai isu-isu Difabel dan Desa Inklusi. Apabila buku ini dilengkapi oleh esai-esai yang merangkum dan menjabarkan hasil workshop sesuai dengan tema-tema tertentu, tema “Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014” akan lebih sesuai dengan harapan-harapan pembacanya.