MENYIBAK SENSITIVITAS GENDER DALAM KELUARGA DIFABEL

Penulis : Drs. Argyo Demartoto, M. Si
Tahun terbit : 2005
Penerbit : Sebelas Maret University Press
ISBN : 979-498-250-4

 

Resensi Buku oleh : Ika Arinia

 

Buku ini berbicara mengenai permasalahan minoritas seperti isu kelompok marginal, kesetaraan dan kepekaan gender yang terjadi pada kelompok perempuan difabel. Kelompok perempuan difabel dipilih sebagai objek penelitian karena penulis meyakini bahwa baik itu isu kecacatan maupun gender sama – sama ‘dibentuk’ atau ‘dikonstruksikan’ oleh masyarakat. Artinya, dibalik kenyataan – kenyataan biologis seperti berbedanya fungsi tubuh seseorang atau jenis kelamin yang dimiliki oleh seseorang, ada atribusi sosial yang dilekatkan oleh masyarakat terkait dengan apa yang mereka lihat, rasakan dan alami sesuai dengan pengalaman hidupnya. Posisi perempuan difabel pun menjadi lebih berbahaya karena stereotype-ing yang mereka alami lebih kuat jika dibandingkan dengan stereotype yang dialamatkan pada kelompok perempuan pada umumnya. Stereotype ini terkait dengan ketergantungan mereka pada lingkungan sekitar, kepasifan dan kelemahan yang melekat pada tubuh mereka. Stereotype pada perempuan difabel muncul disebabkan karena 3 alasan. Pertama, triple diskriminasi yang mereka alami. Stigma hadir karena mereka ‘berjenis kelamin perempuan’ dan juga karena ‘menyandang kecacatan’, selain itu sebagian dari mereka juga lahir dalam kondisinya yang ‘miskin’, baik itu miskin secara ekonomi, sosial, politik, dll. Alasan kedua, adanya feminitas. Dimana stereotype bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah melahirkan perlakuan – perlakuan bias gender. Ketiga, perempuan difabel cenderung memiliki self confidence yang rendah akibatnya mereka kurang bisa menghargai diri mereka dan kemampuan yang mereka punya.
Menguatnya proses stereotype-ing yang dilakukan pada difabel salah satunya disebabkan karena bargaining position difabel yang tidak kuat. Hal ini semakin diperparah dengan jumlah difabel yang memang sangat sedikit yaitu 10 juta jiwa. Disisi lain keberadaan regulasi pada kenyataannya tidak mampu mengcover apa yang menjadi kebutuhan dari difabel. Regulasi yang hadir seperti Deklarasi Hak – Hak Penyandang Cacat yang disahkan PBB pada 9 Desember 1975 maupun UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat hanya diwujudkan sebagai lip service atau perpanjangan tangan penguasa semata. Karena pada dasarnya hak difabel seperti hak memperoleh pendidikan, kesempatan kerja, pengembangan ekonomi, penggunaan fasilitas umum, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi, perlindungan hukum, peran politik, jaminan sosial, jaminan kesehatan tidak dapat diperoleh sebagaimana mestinya. Pemerintah yang seharusnya menjadi pihak aktif yang mengakomodasi kebutuhan difabel pada kenyataannya justru tidak produktif karena difabel dianggap sebagai pihak yang tidak dapat memberikan konstribusi dalam proses pembangunan.


Tidak cukup diabaikan oleh negara, difabel ini juga diabaikan oleh lingkup lingkungan yang paling kecil yaitu keluarga. Keluarga yang seharusnya mampu melindungi dan memberikan kasih sayang yang cukup, nyatanya justru melakukan pembiaran pada anggota keluarga yang seorang difabel. Beberapa keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel sering lebih memilih untuk menyembunyikan mereka akibat rasa malu. Tak jarang pula mereka mengalami diskriminasi baik dalam hak prioritas pembangunan sumber daya, pendidikan bahkan perhatian psikologis. Selain itu, difabel juga akan sangat rentan berbagai macam praktek kekerasan. Mulai dari kekerasan fisik seperti pemasungan, penyembunyian, pemukulan, dan pemerkosaan hingga kekerasan non fisik seperti pelecehan terhadap difabel yang berupa emotional harassment, yang berimplikasi baik secara emosional maupun sosial.
Dalam lingkup keluarga ini pula lah sering muncul permasalahan terkait dengan gender. Hal ini terjadi pada pasangan yang keduanya difabel ataupun salah satunya merupakan difabel. Konflik biasanya muncul akibat ketidaksempurnaan suami maupun istri yang difabel. Suami yang difabel dianggap tidak mampu mencari nafkah bagi keluarga. Sedangkan istri yang difabel dianggap tidak akan bisa melayani suami dan mengurusi urusan rumah tangga. Ketidaksempurnaan seorang difabel, terutama difabel perempuan dianggap sebagai pemicu masalah di dalam keluarga difabel. Untuk menguraikan relasi gender di dalam keluarga difabel, buku ini terbagi ke dalam 2 unit analisa yaitu analisa gender pembagian kerja, serta akses dan kontrol pada sumber daya ekonomi. Selain itu penulis juga mengungkapkan mengenai faktor – faktor yang memang dirasa dominan dalam mempengaruhi unit analisa tersebut. Pembahasan dilakukan secara rinci pada keluarga dimana suami dan istri difabel, keluarga dimana suami difabel dan istri non difabel, serta keluarga dimana suami non difabel dan istri non difabel.

Relasi Gender dalam Pembagian Kerja
a. Keluarga Suami Difabel – Istri Difabel
Yang dimaksud dengan pembagian kerja di dalam keluarga difabel meliputi kegiatan produksi, reproduksi hingga kegiatan yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Banyak yang beranggapan bahwa keluarga difabel akan mengalami kesulitan terkait dengan pembagian kerja baik di dalam keluarga maupun ketika berinteraksi dengan masyarakat luas. Stereotype ini muncul akibat ideologi kenormalan yang selama ini berkembang di masyarakat dimana mereka yang dianggap memiliki ketidaksempurnaan akan terganggu pula kehidupannya. Hal ini dikarenakan suami istri difabel tidak akan mampu menjalankan perannya secara maksimal. Stigma – stigma tersebutlah yang melahirkan marginalisasi pada kelompok difabel.
Pada kenyataannya, penulis menemukan data di lapangan bahwa pembagian kerja dalam keluarga suami dan istri difabel cenderung dilakukan dengan lebih adil dan merata. Kegiatan produksi yang biasa dilakukan terkait dengan sektor informal seperti menjahit, memijat, bertani dan berwiraswasta. Kemampuan untuk mandiri dari lingkungan sekitar ditunjukan keluarga difabel dengan cara suami dan istri sama – sama bekerja untuk mencari nafkah walaupun penghasilan yang dihasilkan pas – pasan. Keluarga difabel ini berusaha menunjukkan bahwa mereka bisa mencukupi kebutuhan keluarganya tanpa mengharap bantuan dari organisasi sosial maupun pemerintah. Tidak hanya dibagian produksi, pembagian kerja pun dilakukan di bagian reproduksi. Walaupun begitu, dibeberapa keluarga difabel tetap saja terjadi bias gender dimana suami tidak mau ikut mengurusi urusan rumah tangga. Mereka masih beranggapan bahwa urusan rumah tangga seperti mengurusi anak merupakan tanggung jawab dari perempuan. Hal ini tentu saja menjadi beban ganda karena tidak jarang istri difabel juga harus ikut terlibat di dalam kegiatan produksi, namun dituntut tidak melupakan kegiatan reproduksi di rumah. Dalam kegiatan sosial bermasyarakat, ada dua respon yang ditemui pada keluarga difabel. Ada keluarga difabel yang mau secara terbuka bersosialisasi dengan masyarakat dengan membaur ke dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Namun ada juga difabel yang menutup diri dari lingkungan. Difabel tentu saja tidak serta merta dapat disalahkan atas hal ini, bisa saja masyarakat yang memang tidak bisa menerima mereka

b. Keluarga Suami Difabel – Istri non Difabel
Pada keluarga suami difabel, pembagian kerja yang dilakukan lebih rumit. Hal ini terkait dengan stereotype yang berkembang bahwa istri non difabel memiliki beban kerja yang lebih besar dalam pembagian kerja di keluarga. Suami yang seharusnya bertanggung jawab dalam kegiatan produksi, yaitu mencari uang dianggap tidak akan bisa melakukan kegiatan tersebut karena difabilitas yang dia miliki. Pelimpahan seluruh tanggung jawab pada istri pun dianggap sebagai sesuatu yang wajar, karena istri dianggap lebih mampu melakukan kegiatan produksi, reproduksi dan sosial kemasyarakatan karena kondisi tubuhnya yang normal.
Realitanya, penulis menemukan data selama penelitian bahwa pembagian kerja di keluarga suami difabel tetap dilakukan namun sudah terpengaruh dengan nilai – nilai dominasi laki – laki. Walaupun suami nya difabel tetapi dia merasa berkewajiban untuk mencari nafkah di luar rumah. Istri yang ingin terlibat dalam kegiatan produksi diperbolehkan oleh suami walaupun statusnya bukan pencari nafkah utama. Istri berkewajiban melakukan kegiatan – kegiatan reproduksi yaitu mengurusi pekerjaan rumah tangga. Bahkan dalam beberapa keluarga, suami difabel sama sekali tidak turun tangan membantu istri karena menganggap tugas suami dan tugas istri sudah terbagi dengan jelas. Dalam sosial kemasyarakatan pun suamilah yang lebih sering aktif membaur dengan masyarakat. Difabilitas yang dimiliki bukanlah penghalang suami untuk memberi andil dalam masyarakat. Tetapi masyarakatlah yang kemudian tidak mau menerima difabel. Masyarakat masih saja melakukan diskriminasi terkait dengan kondisi difabel terlepas apakah memang difabel tersebut benar – benar tidak mampu melakukan sesuatu ataukah justru dia bisa melakukan kegiatan tersebut dengan mandiri.

c. Keluarga Suami non Difabel – Istri Difabel
Pada keluarga dengan istri difabel, muncul anggapan bahwa tidak ditemui kendala dalam keluarga tersebut karena kegiatan produksi di luar rumah sudah dilakukan oleh suami. Sedangkan urusan di dalam rumah pun suami tetap akan ikut membantu karena istri tidak bisa melakukan semuanya akibat kondisi keterbatasan yang dimiliki.
Namun pada kenyataannya, urusan produksi di dalam keluarga suami non difabel dan istri difabel ini tidak hanya didominasi oleh laki – laki saja. Suami dan istri sama – sama berkerja walaupun pekerjaan yang mereka geluti di sektor informal saja. Tidak ada diskriminasi gender dalam pembagian kerja di bidang produksi ini. Suami dan istri difabel sama – sama memiliki kesadaran untuk meningkatkan penghasilan bagi keluarga. Diskriminasi gender justru terjadi pada pembagian kerja di sektor reproduksi. Istri diharuskan untuk menanggung beban tugas – tugas domestik tidak memperdulikan apakah dia merupakan seorang difabel atau bukan. Suami menggunakan kuasanya disini dengan cara melakukan pembagian peran sepihak. Suami yang sudah bekerja tidak akan mau untuk mengurusi pekerjaan domestik. Dalam sosial kemasyarakatan, ada kecenderungan suami malu untuk mengajak istri pergi bersama. Sehingga yang ditemui biasanya suami pergi sendiri atau istri pergi sendiri.
Akses dan Kontrol pada Sumber Daya Ekonomi
a. Keluarga Suami Difabel – Istri Difabel
Keluarga dengan suami difabel dan istri difabel menunjukkan bahwa ada keseimbangan akses dan kontrol pada sumber daya ekonomi. Hal ini dikarenakan mereka sama – sama menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan secara fisik terhadap sumber daya ekonomi dalam keluarga. Suami dan istri difabel sama – sama memiliki kesempatan dan wewenang untuk mengakses sumber daya ekonomi yang dimiliki keluarga baik berupa uang, tanah, sarana produksi, dll. Dalam pemanfaatan sumber daya, ada pembagian tugas yang jelas antara suami difabel dan istri difabel. Akses dan kontrol terhadap tanah/lahan, sarana produksi dan penggunaan tenaga kerja umumnya lebih banya dikuasai oleh suami. Akses dan kontrol istri lebih banyak dilakukan pada pendapatan, kebutuhan pokok, pendidikan anak, dll.
Walaupun suami dan istri memiliki akses yang sama tetapi ditemukan fakta bahwa pengambil keputusan utama tetaplah suami sebagai kepala keluarga. Yang berarti istri tidak bisa seenaknya membelanjakan uang seperti yang di inginkan karena bagaimanapun juga dia harus meminta ijin pada suami. Hal ini mengungkapkan bahwa walaupun akses dan kontrol yang setara antara suami dan istri tetapi perempuan tidak memiliki kewenangan di luar wilayah kontrol atas sumber daya ekonominya tersebut.

b. Keluarga Suami Difabel – Istri non Difabel
Ada anggapan bahwa akses dan kontrol pada keluarga suami difabel dan istri non difabel akan lebih banyak dikuasai oleh istri. Walaupun dia perempuan tetapi kondisinya non difabel memungkinkan dia memiliki kekuasaan lebih untuk mengontrol sumber daya ekonomi. Pada realitanya, akses dan kontrol pada sumber daya ekonomi tidak serta merta dikuasai istri non difabel. Akses dan kontrol sumberdaya ekonomi akan dikuasai oleh pihak pencari nafkah utama. Jadi, saat suami difabel memiliki posisi sebagai pencari nafkah utama maka dia memiliki kuasa lebih atas sumber daya ekonomi di keluarga. Baik sarana produksi, pemanfaatan sumber daya hingga pengambilan keputusan semuanya ada di tangan suami. Istri diberi kewenangan penuh pada tempat – tempat tertentu seperti pendidikan anak dan kebutuhan pokok rumah tangga, selebihnya istri harus tunduk pada otoritas suami. Hal ini menunjukkan lemahnya posisi istri di dalam keluarga walaupun suami difabel dan istri non difabel tetapi budaya patriarki yang kuat sekali lagi menempatkan istri ke dalam posisi subordinat yang mengakibatkan rendahnya aksesbilitas istri terhadap sumber daya ekonomi keluarga

c. Keluarga Suami non Difabel – Istri Difabel
Pada kondisi keluarga suami non difabel dan istri difabel, anggapan yang berkembang di masyarakat adalah suami memiliki akses dan kontrol penuh pada sumber daya ekonomi dan istri hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh suami. Data lapangan yang ditemukan oleh penulis menunjukkan bahwa ternyata suami dan istri memiliki posisi yang setara dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi. Istri memiliki akses dan kontrol pada sumber daya ekonomi keluarga, tanah, sarana produksi, dan tabungan. Sedangkan suami memiliki kontrol atas uang keluarga. Pada beberapa keluarga juga ditemukan bahwa akses suami lebih kecil jika dibandingkan dengan akses istri, walaupun memang suami tetap memiliki andil untuk mengontrol setiap pemanfaatan sumber daya ekonomi keluarga. Hal ini sekali lagi menunjukkan kuatnya budaya patriarki karena walaupun akses suami lebih kecil tetapi dia masih memiliki pengaruh yang dominan karena istri tetap harus berkonsultasi dan suamilah yang menjadi pengambil keputusan utama.

Di bagian akhir, penulis menyampaikan ada beberapa pokok kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang sudah dia lakukan. Pertama, pembagian kerja, akses dan kontrol dalam keluarga difabel secara umum belum dapat dilakukan secara seimbang antara suami dan istri. Perbedaan jenis kecacatan, kondisi ekonomi suami istri, budaya patriarki, pendidikan dan kelembagaan kerja menjadi faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut. Hal inilah yang kemudian memicu ketidakadilan gender karena dalam beberapa keluarga istri difabel harus menanggung pembagian kerja yang lebih berat tetapi akses dan kontrol atas sumber daya yang dia dapat sangat minim. Kedua, kecacatan dalam keluarga difabel pada dasarnya tidak mempengaruhi pembagian kerja, akses dan kontrol pada sumber daya ekonomi. Hal ini terlihat pada suami difabel akan tetap mendominasi istrinya walaupun istrinya bukan difabel. Ketiga, kuatnya budaya patriarki juga ditemui pada keluarga difabel. Posisi istri yang lemah dan suami yang mendominasi pengambilan keputusan keluarga merupakan hal yang akan sering ditemui. Pendidikan istri yang umumnya lebih rendah dari suami semakin memperkuat dominasi yang dilakukan suami pada istri.

 

Kelebihan dan Kelemahan Buku
Kelebihan buku ini adalah, penulis mampu menjelaskan secara komprehensif tentang cross cutting issues yaitu gender dan difabel. Selama ini pembahasan gender dan difabel lebih sering dilakukan terpisah, akibatnya masyarakat kebanyakan tidak aware bahwa tidaki hanya perempuan saja atau difabel saja yang rentan pada praktek diskriminasi tetapi perempuan difabel akan jauh lebih rentan karena dia mengalami beberapa lapis diskriminasi. Kerangka berfikir penulis pun runtut mulai dari menguraikan permasalahan apa yang sering ditemui perempuan difabel baik di level negara, masyarakat hingga keluarga lalu mencoba melihat bagaimana relasi gender itu bekerja di keluarga difabel, baik saat suami istri keduanya merupakan difabel atau hanya salah satunya yang difabel. Penulis juga mengungkapkan dampak – dampak yang muncul akibat diskriminasi gender tersebut. Kekurangan dari buku ini sendiri sebenarnya cukup minim seperti misal karena buku ini terbit pada tahun 2005 maka acuan regulasi yang dipakai pun belum update. Penulis juga belum menggunakan nilai – nilai yang termuat dalam ICRPD yang diratifikasi beberapa tahun setelah buku ini terbit. Kekurangan lain adalah penulis masih mencoba menyandingkan istilah difabel dan kecacatan yang dipakai terus menerus secara berdampingan. Padahal sebenarnya istilah kecacatan dan difabel memiliki jalur ideologis yang bebeda. Karena saat seseorang disebut cacat dan difabel maka sesungguhnya dia sedang diposisikan dalam 2 posisi berbeda. Terlepas dari itu, buku ini reccomended untuk dibaca secara rinci terutama mereka yang memang ingin melihat ketika permasalahan gender coba disilangkan dengan permasalahan difabel.