Dari beberapa kegiatan eksternal SAPDA, salah satunya adalah dengan menghadiri beberapa undangan yang berkaitan dengan isu lembaga yang diselenggarakan oleh BPPM DIY di hotel Rose In Ringroad Selatan Yogyakarta, 25 Juli 2017. Peserta yang hadir 36, meliputi anggota Gugus Tugas TPPO DIY, yang terdiri dari OPD dan NGO yang memberikan penanganan pada isu tersebut. Narasumber pertama Waty Marliawati S.H, M.Kes Kabid Pemenuhan Hak Perempuan (PHP) BPPM DIY menyampaikan Kebijakan Pemda DIY dalam Penanganan Kasus TPPO.
Narasumber pertama Waty Marliawati S.H, M.Kes Kabid Pemenuhan Hak Perempuan (PHP) BPPM DIY dalam materinya menyampaikan Kebijakan Pemda DIY dalam Penanganan Kasus TPPO. Berikut adalah materi yang disampaikan oleh Waty Marliwati:
TPPO saat merupakan sindikat kejahatan yang terorganisir, modusnya bukan hanya lewat TKI dan TKW tetapi sekarang korbannya juga anak-anak. Misalnya dengan kedok/modus dikirim sebagai duta seni, duta olahraga akan tetapi di tempat tujuan mereka dijual. Jaringan TPPO melebihi jaringan narkoba yang sudah lama ada, salah satu bentuknya adalah TPPO berkedok PJTKI, biasanya dengan modus pemalsuan dokumen, penyekapan di balai-balai pelatihan dan penampungan TKW sebelum dikirim ke luar negeri. Tes kesehatan hanya sebuah formalitas dan agen-agen PJTKI tidak berijin. TPPO bukan hanya dialami oleh TKI yang keluar negeri, tetapi di daerah-daerah juga banyak terjadi, misalnya berkedok klinik bersalin melakukan penjualan bayi. Dengan berkembangnya tekhnologi TPPO berkedok prostitusi sekarang sudah menggunakan media sosial (WhatsApp, Facebook, SMS) dan korbannya anak masih usia sekolah, seperti contoh kasus di Bantul, DIY. Pelaku adalah kakak kelas/senior-nya yang menawarkan adik kelasnya kepada Om-om, menawarkan dengan meng-upload foto adik kelasnya, apabila ada yang minat korban akan diberitahu di mana lokasi pertemuan/penjemputan. Kasus TPPO di lapangan banyak terjadi tetapi masih banyak yang tidak mau melaporkan. Tahun 2016 di DIY hanya ada 2 kasus yang dilaporkan. Untuk memaksimalkan perlindungan terhadap korban TPPO, BPPM DIY membentuk Tim Gugus Tugas yang berperan:
1. Tidak hanya sebagai lembaga koordinatif tapi juga berwenang melakukan tindakan Pencegahan dan Pelayanan terhadap korban TPPO.
2. Melakukan koordinasi dan kerjasama Regional/Internasional.
3. Melakukan Capacity Building terhadap para pelaksana.
4. Melakukan sosialisasi terhadap masyarakat
5. Mengevaluasi pelaksanaan tugas dan mencari solusinya.
Setelah menyampaikan materi, ada berbagai tanggapan dari peserta yang menyampaikan bahwa tidak merasa menjadi anggota gugus tugas karena tidak ada pemberitahuan kalau tercantum dalam gugus tugas TPPO, dokumen SK juga tidak diberikan sehingga tidak tahu apa tugas yang harus dilaksanakan sebagai anggota.
Narasumber kedua Kompol Khatarina Ekorini Indriati, S.S. Kasubbagminops Bagbinopsnal Dit ResKrim Um Polda DIY menyampaikan Proses Penanganan TPPO yang sudah dilakukan oleh kepolisian. Pengungkapan kasus TPPO didasarkan pada:
1. Laporan korban
2. Laporan keluarga korban
3. Laporan lembaga swadaya masyarakat
4. Berita di televisi dan media cetak
5. Laporan dari KBRI maupun laporan dari instansi terkait yang tergabung dalam gugus tugas pencegahan dan penanganan TPPO.
Semua hal tersebut ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan setelah memenuhi unsur penyidik melaksanakan penyelidikan selanjutnya masuk proses peradilan. Mekanisme pengiriman TKI ke luar negeri berdasar kasus yang sudah ditangani Polri bisa digambarkan:
Ada juga yang tidak lewat agen/PJTKI tetapi langsung secara pribadi ke majikan yang dituju, biasanya dilakukan TKI lama (eks) yang sudah pernah menjadi TKI. Kerjasama dalam penanganan Korban TPPO dengan PPT, RS, P2TP2A, UPPA (Korban/pelaku anak), Shelter (LSM, Dinsos). Instansi lain yang dilibatkan adalah Kemensos, Bapas, Diknas, KBRI, DinNakertrans, KPPPA, PJTKI. Untuk proses hukum melibatkan Kejaksaan dan Pengadilan. Karena Polda DIY petugas terbatas maka sangat memerlukan informasi dari gugus tugas TPPO dan masyarakat luas apabila menemukan kasus TPPO di lingkungannya. Peran multi pihak sangat diperlukan, antara lain Pencegahan dengan penyuluhan/sosialisasi, penanganan dari pihak APH, Rehabilitasi dengan melibatkan masyarakat. Contoh-contoh yang termasuk TPPO:
1. Kasus Jerat Hutang, sering terjadi TKI diberi pinjaman untuk bisa berangkat ke negara tujuan, besok dibayar setelah mendapat gaji dari majikan. Atau seorang agen PJTKI liar menjerat korban dengan memberi pinjaman untuk kebutuhan hidup, jangka waktu yang sudah ditentukan tidak bisa membayar, korban tersebut dipaksa kerja jadi TKI tapi gaji tidak pernah diberikan dengan alasan untuk melunasi hutangnya.
2. TKW karena tidak paham bahasa asing sehingga salah memaknai perintah majikan
3. Bicara sampai menunjuk kamar dan dikira menyapu/membereskan kamar kurang bersih sehingga korban ke kamar tanpa paksaan, ternyata maksud majikan untuk minta dilayani hasrat seksual dan membela diri pembantu sudah menyetujui karena masuk kamar dengan sukarela.
4. Pembantu dipekerjakan di 2 rumah, anaknya dan mertuanya yang jaraknya lumayan jauh, pagi sampai siang bersih-bersih rumah, mencuci dan mengasuh anak, sore sampai malam setelah majikan datang pindah bersih-bersih dan mengurus mertuanya, dan pembantu hanya menerima gaji di 1 tempat. (kejahatan terselubung)
5. Eksploitasi tenaga kerja/jam kerja tidak terbatas (pembantu rumahtangga kerja 24 jam, meminta pegawai melakukan pekerjaan diluar jam kerja tanpa ada tambahan uang)
6. KTD karena menjadi korban Persukaan bukan Perkosaan, korban terpaksa melacurkan diri karena dipaksa (punya hutang).
7. Panti pijat, Cafe, Salon
8. Memasang foto gadis-gadis cantik sering masih bawah umur (pelajar/mahasiswi) untuk dijual (prostitusi terselubung), bila yang bersangkutan sedang mengalami menstruasi, foto diberi tanda silang (x). Pernah seorang mahasiswi di Jogja kena razia (Mei 2017) dan mendapat penyuluhan, menceritakan 1x main dapat Rp. 1 juta, kalau sehari bisa 5x lumayan bisa untuk hidup seminggu dan beli barang-barang mahal. Budaya takut dengan Tuhan dan ketahanan mental yang kurang baik, membuat mereka mau melakukan tanpa pikir panjang akan resikonya (HIV, AIDS, IMS). Korban/saksi TPPO dalam persidangan boleh tidak hadir apabila takut ketemu dengan pelaku, dengan cara membuat Berita Acara Sumpah (kesaksian/pernyataan direkam, selain tertulis) untuk perlindungan hukum bagi korban/saksi. Bisa dijadikan alat bukti Boarding pesawat saat berangkat/pulang, sperma di TKP/pakaian korban. Pasal-pasal yang dikenakan dalam kejahatan TPPO harus telak agar tidak terulang, misal prostitusi, penjualan bayi, penipuan tenaga kerja. Reviktimisasi ada di pasal 18 UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, mengatur pengecualian terhadap korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku TPPO tidak dipidana. Yang dimaksud dengan “dipaksa” adalah suatu keadaan dimana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri. Pasal 26 UU No.21 tahun 2007 Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan kejahatan TPPO. Pelaku TPPO dalam proses hukum ada ketentuan membayar Restitusi, adalah Pembayaran ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Denda dalam proses hukum pidana masuk kas Negara, kalau Restitusi uang digunakan untuk proses pemulihan korban (pelatihan ketrampilan, permodalan). Restitusi disusun sejak proses BAP dari bukti-bukti pembayaran yang sudah dilakukan/dibayar korban, nominal Restitusi akan ditetapkan oleh hakim dalam persidangan.
Narasumber ketiga Dr. Andung Pribadi M.kes. kepala Disnakertrans DIY menyampaikan mengenai Upaya Pencegahan TPPO pada Penempatan TKI di luar negeri.
Alasan tertarik kerja di luar negeri para TKI karena gaji yang tinggi dan kesempatan kerja masih luas (sektor pekerja rendahan/buruh/pembantu). Selain itu juga disebabkan faktor ekonomi, kemiskinan, ketidak-adilan Gender juga merupakan penyebab utama pergi ke luar negeri, banyak yang menjadi TKI adalah perempuan.
Kantong-kantong TKI di wilayah DIY ada di Kab. Bantul, Gunung Kidul dan Kulon Progo dengan latar belakang pendidikan SMA/SMK. Negara tujuan terbanyak Malaysia menyusul Taiwan, Singapura dan Arab.
Langkah yang sudah ditempuh Nakertrans DIY untuk memberi perlindungan hukum bagi TKI/PJTKI dengan membetuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) berkedudukan di Purwomartani Kalasan Sleman (di DIY saat ini ada 23 PJTKI). Akan tetapi kerjanya belum bisa maksimal karena untuk dinas imigrasi alat-alat mahal kalau harus menyediakan di layanan terpadu satu atap, kepolisian juga belum bisa untuk mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Biaya yang dikeluarkan calon TKI (2017) adalah biaya pesawat (tarif sesuai daerah tujuan masing-masing), biaya uji kompetensi Rp. 250 ribu, Uji kesehatan/check up Rp. 800 ribu dan mengurus visa Rp. 750 ribu. (Tari)