Belajar soal Hak Anak Disabilitas dari Film “Tegar”

Tangkapan layar dari salah satu adegan film Tegar menampilkan Tegar sedang digendong oleh Kakek

“Satria Tegar Kayana, prajurit yang tidak akan pernah menyerah.” Kalimat yang diucapkan sang Kakek kepada Tegar menyiratkan harapan, doa dan motivasi, sekaligus pengingat untuk kita semua bahwa kita tidak boleh mudah menyerah. Perjuangan harus selalu berlanjut, semangat tak boleh pudar untuk mewujudkan mimpi. Film ini mengajarkan tidak selamanya sudut pandang yang kita miliki, kehidupan yang kita jalani dan pengalaman yang kita punya akan berlaku sama bagi orang lain. Apa yang menurut kita baik, belum tentu dilihat atau dirasakan demikian oleh orang lain. Sesuatu yang bagi kita mudah dan sederhana, bisa jadi sulit dan rumit untuk orang lain.

Tegar mengajarkan kita bahwa seorang anak, apalagi anak dengan kebutuhan khusus, tidak menuntut banyak dari lingkungan sekitarnya. Ia tidak butuh harta, fasilitas maupun kemewahan dari orang lain. Keinginan mereka sering kali sangat sederhana. Tegar misalnya, ia hanya ingin bermain sambil merasakan kegembiraan, keceriaan dan kesenangan berkumpul dengan teman-temannya.

Mama Tegar sebenarnya juga menginginkan yang terbaik untuk Tegar. Ia ingin melindungi Tegar dari bahaya dan memastikan Tegar mendapatkan semua bantuan yang dapat memudahkannya. Sang ibu juga tidak ingin Tegar diejek oleh teman-temannya, karena menurutnya Tegar “berbeda”. Karena alasan itulah, Mama Tegar tidak pernah mengizinkan Tegar bermain di luar. Tetapi, apakah itu yang diinginkan Tegar? Tegar hanya ingin ia diijinkan bermain, bersekolah dan melakukan hal yang sama dengan teman-teman sebayanya.

Orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk anaknya; memberikan perlindungan serta rasa aman dan nyaman. Namun sering kali apa yang diinginkan keluarga justru menjadi penghambat bagi  anak untuk mewujudkan segala mimpi dan keinginannya.

“Saat seorang anak dikucilkan karena kesalahan yang tidak pernah ia lakukan, maka kesalahan terbesar adalah pada orang dewasa disekelilingnya” tegas Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani saat mengomentari film ini. Sangat sulit untuk melihat bahwa situasi anak disabilitas tak terlepas dari kesalahan yang orang-orang sekitarnya lakukan.

Itulah kondisi yang harus dihadapi Tegar. Hal yang bisa ditunjukan Tegar hanyalah semangat juang dan ketegaran. Bagaimanapun, Tegar tetap mengekspresikan keinginan kuat untuk keluar bermain bersama teman-temannya, mencoba semua hal yang belum pernah ia lakukan, melihat dunia luar tanpa dihalangi, serta bertemu dengan orang-orang baru.

“Anak disabilitas perlu untuk melihat dunia luar. Ketika Tegar keluar dari rumah pun, ia mendapatkan banyak referensi atas dirinya, cara memandang hidup, cara bertahan hidup dan berinteraksi dengan banyak orang,” ujar Irma, staff GEDSI SAPDA ketika mengungkapkan pandangannya setelah menyaksikan film Tegar.

“Kalau Tegar bisa, kenapa kita ga bisa?” ujar Kowi, salah satu staff internal SAPDA yang juga merupakan penyandang disabilitas. Ia mengaku mengambil nilai yang sangat penting bahwa kita semua harus bisa seperti Tegar, tidak mudah menyerah menggapai apapun yang menjadi keinginan kita.

“Seorang anak disabilitas harus sekolah untuk menggapai mimpi. Dukungan keluarga menjadi kunci keberhasilan,” kata Program Manager SAPDA, Miko menegaskan bahwa anak disabilitas, apapun kondisinya, berhak untuk mengejar cita-citanya dan mendapatkan akses pendidikan sebagai bentuk pemenuhan atas hak-haknya.

Ketidaksiapan Orang Tua

Ada pun untuk saya pribadi, film ini mengajarkan saya banyak hal; tidak hanya soal pentingnya sikap pantang menyerah meraih mimpi. Film Tegar juga mengingatkan kita semua bahwa orang tua yang memiliki anak disabilitas sangat membutuhkan informasi tentang membangun kesiapan dan memastikan pola pengasuhan yang tepat.

Situasi tersebut banyak SAPDA temukan dalam berbagai kegiatan dan program, termasuk melalui kerja-kerja konseling. Riris, konselor psikologis SAPDA yang telah banyak memberikan konseling kepada orang tua dengan anak disabilitas, sudah sering menemui beragam kegagapan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya.

“Cerita dalam film Tegar menyadarkan saya dan membuat saya berefleksi bahwa situasi yang dihadapi keluarga dengan anak disabilitas memang benar-benar terjadi dalam realita hidup. Film ini menunjukan penerimaan orang tua yang sulit dan dukungan sosial yang masih minim memberikan dampak besar kepada anak disabilitas. Semoga film memberikan inspirasi yang sama bagi orang-orang di luar sana.”

Ketidaksiapan orang tua dalam mengasuh anak disabilitas tidak terlepas dari dinamika emosi yang di dalam diri mereka. Orang tua yang berhasil mengelola emosi yang muncul saat mengetahui bahwa anak mereka menyandang kondisi disabilitas, mungkin akan memiliki penerimaan yang lebih baik. Namun bagaimana dengan orang tua yang sama sekali tidak siap? Mereka dipenuhi dengan ketakutan akan lingkungan sekitar yang tidak mendukung, bullying dari teman-teman sebaya anaknya, serta kebingungan dalam memahami kebutuhan-kebutuhan anak disabilitas.

Hambatan seperti itu pun sama sekali tidak ditentukan oleh status sosial. Film Tegar menunjukan bahwa keluarga kaya dengan segala kecukupan pun masih tidak siap memiliki anak disabilitas. Lantas bagaimana nasib anak disabilitas yang lahir di dalam keluarga dengan kekurangan ekonomi?

Bagi saya, mewujudkan kebahagiaan dan keberhasilan anak bisa dimulai dengan belajar menjadi orang tua yang positif dan memaafkan diri sendiri, sehingga anak juga akan berpikir dan berperilaku positif. Ketika menonton film ini, hal yang muncul di kepala saya adalah: “Kenapa sih si ibu tidak bertanya dulu ke Tegar tentang keinginannya? Kenapa menyerahkan Tegar ke ARTnya? Kenapa juga tidak belajar dari Kakek Tegar tentang cara menghadapi Tegar? Hidup anak adalah milik anak itu sendiri. Anaklah yang punya kuasa sepenuhnya atas apa yang akan ingin ia lakukan dengan hidupnya.”

“Kamu mengorbankan Tegar karena luka hatimu.” Kalimat Kakek Tegar ke Mama Tegar itu juga serasa menghantam pikiran saya. Tanpa disadari atau tidak, kita gemar menggunakan pikiran dan perasaan kita sendiri untuk melihat dan memaknai apa yang terbaik bagi orang lain. Mengapa kita tidak bertanya dan berdialog untuk mempertemukan kebutuhan dan keinginan semua pihak?

Film Tegar juga megajarkan bahwa setiap individu memang terlahir unik, merdeka dan memiliki kemampuannya masing-masing. Pertemanan Tegar dengan teman-temannya di sekolah turut menunjukan kepada kita bahwa hubungan persahabatan akan lebih indah bila orang-orang di dalamnya mau saling menerima perbedaan.

Pembelajaran lainnya yang tak kalah penting dari film ini adalah bahwa di setiap beratnya langkah hidup, pasti ada banyak keajaiban yang akan Tuhan berikan. Mari berterimakasih atas diri ini, tubuh ini dan jiwa ini karena sudah bekerja keras untuk mewujudkan kebahagiaan versi kita masing-masing.

Film Tegar besutan sutradara Anggi Friska sudah bisa disaksikan mulai 24 November 2022. Film produksi Aksa Bumi Langit ini menjadi karya sinematik yang bagus untuk memiliki kelanjutan sekuelnya.