KESEHATAN REPRODUKSI DAN PEREMPUAN DENGAN DISABILITAS BARU

Latar belakang : masalah individu serta sosial yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas baru
Kehidupan perempuan dengan kecacatan yang baru diterima setelah mereka dewasa, pernah menikmati hidup secara mandiri tanpa pertolongan, bantuan, dan bebas beraktifitas secara sosial ataupun ekonomi sangat berat. Terlebih lagi pada perempuan yang merupakan tulang punggung keluarga, hidup dengan disabilitas, menggunakan alat bantu seperti kursi roda, kehilangan mata pencaharian, kehidupan sosial bahkan keluarganya.
Penerimanaan diri secara positif terhadap kecacatan menjadi persoalan pertama yang harus diselesaikan sebelum melangkah pada persoalan yang lain yaitu pengembalian aktivitas sosial dan pengembalian perekonomian / penghidupannya.
Proses penerimaan diri secara positif bagi perempuan dengan disabilitas baru dimulai dari bagaimana pemahaman kondisi mereka yang “baru” secara utuh, secara fisik ataupun non fisik. Secara fisik adalah mereka menyadari apa yang berubah pada diri mereka seperti kehilangan anggota badan (kaki, tangan, sebagian atau seluruhnya), atau tidak berfungsinya sebagian dari anggota gerak walaupun masih ada (misalkan kelumpuhan bagian pinggang kebawah) seperti paraplegia ataupun parapharase. Apa yang masih mampu dilakukan dan apa yang sudah tidak mampu dilakukan dengan mandiri pada kondisinya yang baru. Pemahaman secara rasional apa yang sebenarnya telah terjadi dan kedepan dengan kondisinya tersebut, karena sebagian besar dari mereka masih mempunyai harapan besar bahwa mereka hanya sakit dan akan sembuh suatu saat.

Pemahaman atas fungsi alat reproduksi dan seksualitas pada perempuan dengan disabilitas baru.
Pada kenyataannya sebagian besar perempuan dengan disabilitas baru beranggapan bahwa setelah mereka menjadi lumpuh (paraplegia, parapharase) maka mereka tidak lagi dapat melakukan aktifitas seksual atau berhubungan suami istri dan menganggap alat reproduksi seperti rahim sudah tidak berfungsi. Demikian juga pasangannya ataupun keluarga mempunyai anggapan yang sama. Sehingga anggapan ataupun stigma bahwa perempuan dengan disabilitas terutama yang mengalami kelumpuhan sudah tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang perempuan dan seorang istri yang harus melayani suami dan keluarganya.
Kondisi ini dan stigma ini pada kenyataanya menjadi sumber kekerasan yang terjadi pada perempuan yang mengalami disabilitas baru, setelah mereka pernah menjalani peran sebagai perempuan, istri dan ibu yang “sempurna” dalam keluarga. Hal tersebut terlihat sangat jelas pada proses penelitian dan pendampingan kami pada 60 perempuan dengan disabilitas baru di kabupaten Bantul, provinsi DIY yang sebagian besar merupakan korban bencana gempa bumi pada tahun 2009.
Hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa dari 60 responden, ada 7 perempuan yang belum menikah dan 53 orang perempuan yang dalam pernikahan ataupun pernah menikah.
Dari 7 orang responden yang belum menikah ada 6 orang yang ditinggalkan pacarnya setelah mereka menjadi cacat, hanya 1 orang yang masih tetap berhubungan dengan pacarnya dan pada akhirnya menikah pada tahun 2011. Hal tersebut karena persoalan bahwa mereka dianggap tidak menarik lagi setelah menjadi cacat, dan ditakutkan tidak dapat menjalankan fungsinya secara sempurna dalam melayani suami dan anaknya apabila menikah nanti.
Pada 53 responden yang sudah menikah, ada kondisi yang cukup menarik bahwa sebagian dari mereka ditinggalkan oleh suami ataupun dikembalikan pada keluarganya tanpa kejelasan status (diceraikan atau masih menjadi istri). Suaminya mempunyai pasangan lain ataupun bahkan kemudian menikah lagi. Temuan yang menarik terjadi pada saat diberikan pertanyaan mengenai hubungan seksual sebelum dan setelah menjadi cacat, bahwa sebagian besar mereka mengatakan sudah tidak melakukan hubungan suami istri secara intensif seperti sebelum menjadi cacat, hal tersebut disebabkan karena suami tidak tega, merasa jijik, ataupun mereka takut akan sakit setelah melakukan hubungan / merasa tidak nyaman. Bahkan ada perasaan frustasi kalau melakukan hubungan padahal tidak bisa mempunyai anak lagi (terjadi pada responden yang masih sangat menginginkan anak, terlebih pada mereka yang anaknya meninggal karena gempa). Proses tersebut terus bertumpuk, yang menyebabkan hubungan internal suami istri memburuk dan berakhir pada kekerasan (seksual, fisik, psikis ataupun ekonomi) dengan penelantaran, ataupun bahkan ekspolitasi pasangan karena masih mendapatkan bantuan dari keluarga, pemerintah ataupun pihak lain pasca menjadi cacat.
Kondisi tidak dapat dilepaskan dari persoalan seksualitas dan reproduksi pada perempuan dengan disabilitas disamping persoalan sosial yang belum mampu menerima perempuan dengan disabilitas secara positif.


Melihat beberapa persoalan dalam kegagalan pemberdayaan terhadap orang dengan disabilitas baru yang selama ini dilakukan yang selalu terbentur pada minimnya partisipasi individu dan keluarga, dimana hal tersebut berawal dari penerimanaan diri secara positif dari diri dan keluarganya, hal tersebut karena belum mengenal tubuhnya, kecacatan, dan potensi diri yang masih ada setelah menjadi cacat (orang dengan disabilitas). Potensi diri untuk melakukan aktivitas pribadi secara mandiri, pemahaman tentang kesehatan reproduksi, bereproduksi, melakukan hubungan seksual, melakukan interaksi social, bahkan melakukan aktivitas mendapatkan penghasilan. Kondisi ini terjadi juga terhadap perempuan dengan disabilitas yang baru.
Sehingga pengenalan diri dan pemahaman tentang kondisi nya secara jujur, kecacatan dan potensi yang masih dimiliki menjadi sangat penting. Dalam hal ini Kesehatan Reproduksi menjadi issue yang sangat penting untuk dipahami oleh perempuan dengan disabilitas baru.

Temuan Kasus kesehatan reproduksi dalam proses pendampingan terhadap perempuan disabilitas baru
Proses sharing pengetahuan, dan pemahaman mengenai disabilitas dan kesehatan reproduksi dilakukan Lembaga SAPDA dengan beberapa langkah, metode dan media dimana hal tersebut terpadu dalam proses pendampingan intensive terhadap kelompok ataupun individu perempuan dengan disabilitas baru khususnya di 2 kecamatan di Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Jetis dan kecamatan Bambanglipuro, Provinsi DIY.
Langkah pertama adalah melakukan pemahaman mengenai gender dan disabilitas, dimana dampingan mendapat informasi dan pengetahuan mengenai “siapa mereka dan persoalannya, siapa disekitar mereka, apa yang menjadi haknya sebagai perempuan dan perempuan dengan disabilitas.
Setelah mendapatkan pengetahuan maka pemahaman dan penyadaran secara individu dilakukan dengan pendekatan intensif oleh pendamping yang sebagian besar perempuan dan merupakan orang dengan disabilitas.
Proses pendampingan dilakukan juga untuk menemukan persoalan pribadi yang tidak dapat diungkapkan kepada orang lain ataupun secara umum, termasuk masalah hubungan suami istri yang bermasalah karena kurangnya informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seringkali menjadi penyebab KDRT.
Sebagai contoh adalah ditemukannya kasus pendarahan yang sudah tidak berhenti lebih dari 3 bulan pada seorang perempuan parapharase (patah tulang belakang tetapi masih bisa berjalan menggunakan walker). Dia tidak mengetahui kalau hal tersebut merupakan persoalan serius, hanya mengeluh bahwa ia sering merasa lemah dan lesu karena menstruasi, belum pernah dibawa ke puskesmas ataupun kerumah sakit karena suami ataupun anaknya tidak mau mengantar. Sehingga pendamping mengantarkan ke puskesmas dan rumah sakit terdekat dengan pembiayaan dari Jamkesos provinsi DIY kelompok SAPDA. Dari pendampingan ke pusat pelayanan kesehatan bahwa ibu tersebut diminta untuk beristirahat dan mendapat pengobatan jalan dari RS. Pada kenyataannya ibu tersebut tetap tidak bisa beristirahat karena dipaksa suaminya untuk tetap bekerja mencari nafkah (berjualan makanan matang, seperti gado-gado) dan tetap melayani suaminya. Karena ada ancaman bahwa kalau tidak melakukan hal tersebut maka suaminya akan meninggalkan dirinya.
Contoh lain, bahwa sepasang suami istri yang istrinya paraplegia dan anaknya meninggal karena gempa sempat renggang hubungannya, bahkan keluarga suami menginginkan perceraian atau pengembalian istri kepada keluarganya sehingga suami dapat menikah dan mendapat keturunan lagi. Setelah pendapat informasi berupa pelatihan kesehatan reproduksi dan pendampingan (langsung dan menggunakan bulletin) bahwa perempuan paraplegia (patah tulang belakang dan menimbulkan kelumpuhan total dari pinggang kebawah), masih bisa melakukan hubungan seksual dan alat reproduksi masih berfungsi dengan baik sehingga masih ada peluang untuk mempunyai anak lagi. Proses berikutnya adalah memberi dukungan kepada suami untuk percaya kepada informasi yang diberikan dengan sharing dan berkomunikasi dengan beberapa pihak untuk berkonsultasi bagaimana melakukan hubungan suami istri yang aman dan nyaman bagi kedua belah pihak. Proses tersebut berhasil dengan baik, sehingga setelah menjalani 6 bulan pendampingan, istri tersebut telah hamil, dan melahirkan seorang bayi perempuan dengan operasi Caesar.
Kurangnya informasi Kesehatan Reproduksi pada perempuan pada umumnya, dan khususnya pada perempuan dengan disabilitas baru terlihat dengan jelas pada sesi – sesi pelatihan dan diskusi, diantaranya adalah tentang alat-alat reproduksi dan fungsinya, persoalan menstruasi (siklus menstruasi, masa subur), alat-alat KB dan persoalan kesehatan reproduksi (dalam masa kehamilan, pasca melahirkan, menopause) serta kendala kehamilan pada seorang wanita yang mengalami disabilitas.
Beberapa kasus yang terangkat dalam sesi pelatihan dan diskusi diantaranya adalah seorang ibu yang telah mengalami masa menopause (usia hampir 50 tahun), pada saat gempa mengalami patah tulang (menggunakan 2 kruk), ibu tersebut sudah menggunakan alat kontrasepsi yaitu IUD selama lebih dari 10 tahun dan tidak tahu kapan harus melepas. Setelah menerima informasi tersebut, maka menceritakan bahwa ia ketakutan untuk melepas IUD karena tidak mau hamil lagi karena masih aktif melakukan hubungan dengan suaminya, dan tidak mengetahui kalau sudah tidak menstruasi selama 5 tahun (menopause) tidak akan mengalami kehamilan. Ibu ini juga tidak mengetahui bahaya alat kontrasepsi yang merupakan benda asing yang dimasukkan kedalam tubuh perempuan mempunyai tingkat risiko tinggi apalagi sudah lewat dari masa berlakunya. Setelah melakukan diskusi dan berkonsultasi dengan pendamping, dan konsultan kesehatan SAPDA mengenai risiko, pemahaman tentang menopause dan pembiayaan kesehatan untuk melepas IUD di RS, maka ibu tersebut pada akhirnya datang kepuskesmas dan akhirnya dirujuk ke RS untuk melepaskan IUD yang sudah lewat lebih dari 2 tahun masa berlakunya (ibu tersebut lupa kapan memasangnya).
Kasus yang menarik lainnya yang juga menjadi bahan diskusi dalam masa pelatihan / diskusi kelompok adalah kasus keguguran yang banyak terjadi pada perempuan dengan kecacatan polio, patah kaki menggunakan alat bantu ataupun tidak menggunakan alat bantu mobilitas. Kasus lainnya adalah beberapa perempuan dengan disabilitas fisik seperti polio kesulitan untuk hamil, dan ada yang mempunyai anak dengan disabilitas juga. Hal tersebut menjadi perhatian perempuan dengan disabilitas baru karena kejadian tersebut dapat menimpa mereka juga.
Dalam rangkaian diskusi tersebut persoalan seperti diatas dibahas secara mendetail, termasuk hambatan yang dialami oleh perempuan dengan disabilitas dalam proses menuju kehamilan, bukan karena kecacatannya sehingga perempuan dengan disabilitas menjadi sulit hamil. Kesulitan kehamilan harus dideteksi dari pasangan suami istri dengan detail di RS, atau dokter kandungan sehingga ditemukan penyebabnya apakah karena salah satu orang mengalami masalah kesuburan (kualitas / kuantitas sperma atau kualitas indung telur yang dihasilkan perempuan), bentuk rahim dan tuba falopi sebagai penangkap sperma (ada kelainan ataukah normal) dan apakah mempunyai penyakit seperti kista atau hal lain yang menyebabkan sulit untuk hamil dan mempunyai anak. Banyak faktor sebagai penyebab yang harus diketahui dan dipahami oleh pasangan suami istri, sehingga saat seorang perempuan dengan disabilitas tidak mempunyai anak bukan hanya perempuan yang menjadi penyebab dan selama ini selalu disalahkan oleh pasangan dan keluarga.
Persoalan keguguran yang sering terjadi pada perempuan dengan disabilitas (polio) pun harus dilihat secara menyeluruh apakah karena kondisi rahim (bentuk dan kekuatan rahim), apakah kehamilannya betul sempurna ataukah hanya hamil anggur, disamping kondisi kesehatan perempuan dengan disabilitas yang sedang hamil biasanya menurun tajam (terlebih yang tidak menjaga asupan gizi), hal lain yang mungkin dan sangat rasional terjadi adalah karena ketidak seimbangan saat berjalan maka akan sering jatuh ataupun mengalami benturan. Hal ini sangat sering terjadi dari awal kehamilan sampai akhir, pada perempuan dengan disabilitas yang tidak menggunakan alat bantu risiko tersebut lebih besar. Sehingga pemeriksaan rutin dan konsulitasi kepada dokter specialis kandungan menjadi hal yang sangat penting pada saat kehamilan terjadi.

Perempuan dengan disabilitas yang mempunyai stigma akan melahirkan anak cacat dijawab dengan pemetaan tentang kecacatan yang secara genetic menurun dan yang tidak menurun. Bahwa cacat bawaan seperti amputee alami, retardasi mental, dan kebutaan ada peluang secara genetic menurun, hal itupun harus dilihat secara dari keluarga yang mengalami disabilitas. Pernikahan sedarah (incest), atau keluarga yang terlampau dekat mempunyai peluang lebih besar bahwa anak menjadi cacat. Usia ibu yang sudah melebihi 40 tahun pada saat mengalami kehamilan akan mempunyai potensi melahirkan anak cacat karena kualitas sel telur yang dihasilkan sudah menurun.
Kecacatan seperti polio, amputasi, parapharase, ataupun paraplegia tidak menular ataupun menurun, sehingga kecacatan pada anak yang dilahirkan bisa saja terjadi karena persoalan ketidak cocokan darah ibu dan anak (terjadi dalam kasus bilirubin) yaitu seorang ibu yang mempunyai golongan darah O mempunyai suami yang mempunyai golongan darah A atau AB, janin yang mempunyai golongan darah A atau AB kemungkinan akan keracunan darah ibu yang menyebabkan kasus kuning pada bayi (bilirubin yang berlebihan) dan apabila tidak mendapatkan penanganan yang bagus maka akan menyebabkan kerusakan sel otak dan kecacatan permanen pada bayi. Hal yang lain terjadi adalah proses kehamilan yang tidak dijaga dengan baik termasuk pemeriksaan rutin kepada pusat pelayanan kesehatan (dokter) yang memahami kondisi kecacatan pasien sehingga penanganan kasus khusus pun dapat dilakukan sedini mungkin (seperti kasus seorang calon ibu yang mempunyai badan pendek sehingga ruang untuk bayi dalam rahim sangat terbatas pada usia kehamilan tertentu harus bedrest dan tidak boleh turun dari tempat tidur; kasus seorang ibu yang mengalami kerapuhan tulang dalam kehamilannya harus diawasi oleh dokter karena anak mempunyai peluang besar untuk mengalami kerapuhan tulang juga, sehingga harus ditangani dengan obat ataupun kalsium dosis tinggi ; kasus lainnya adalah bahwa seorang yang mengalami polio (salah satu ataupun kedua kaki) maka akan mempunyai tulang panggul yang miring sehingga harus dilakukan pengecekan pada usia kehamilan tertentu apakah bayi dapat lahir secara alami ataupun harus dioperasi cesar).
Persoalan kesehatan reproduksi diatas ditemukan dan dibahas dalam kelompok dan kemudian banyak ditindaklanjuti konsultasi lanjutan dengan konsultan kesehatan SAPDA ataupun dokter yang direkomendasikan dapat memberikan informasi yang jelas serta pelayanan yang memadai.
Kasus menarik lain yang terjadi adalah bahwa informasi dan pelayanan kontrasepsi yang kurang memadai kepada perempuan dengan disabilitas, bahwa sebagian dari mereka yang menganggap bahwa perempuan paraplegia tidak mampu lagi mempunyai keturunan, dalam hal ini dengan anggapan bahwa alat reproduksi mereka sudah rusak maka seringkali melakukan hubungan seksual dengan (bebas) tanpa menggunakan alat kontrasepsi sehingga kehamilan yang tidak diinginkan terjadi, sehingga banyak masalah yang kemudian ditimbulkan (ekonomi ataupun social). Disisi lain terjadi beberapa kasus dimana seorang perempuan dengan disabilitas baru yang mengalami disabilitas pada saat proses kehamilan, dan mengalami sterilisasi dari dokter dan keluarga tanpa berkomunikasi lebih dahulu dengan yang bersangkutan (dengan pertimbangan dari pihak keluarga diantaranya kalau akan ada anak lagi maka akan lebih memberatkan secara ekonomi , dari proses kehamilan persalinan sampai pembiayaan anak yang cukup besar).

PERAN DAN FUNGSI PENDAMPING DALAM PROSES PENDAMPINGAN KESEHATAN REPRODUKSI
Dalam proses penemuan kasus – kasus kesehatan reproduksi diatas pada perempuan dengan disabilitas baru membutuhkan keseriusan dan kesabaran dalam proses pendampingan. Penerimaan terhadap pendamping dan kepercayaan terhadap uluran tangan tersebut merupakan dasar upaya pendampingan yang dapat dilakukan, dengan persoalan yang bagi sebagian orang merupakan hal yang sangat pribadi dan tabu untuk diketahui orang lain atau dibicarakan secara terbuka.
Sehingga pendekatan personal dampingan, yang kemudian mengajak mereka untuk bersedia berpartisipasi dalam pelatihan – pelatihan kemudian membentuk kelompok yang mengadakan pertemuan rutin dengan diskusi-diskusi diantaranya adalah sharing pengalaman ataupun pembahasan beberapa persoalan (peer group Counselling) merupakan bentuk pendampingan kelompok ataupun individu.
Hal lain yang dilakukan adalah pendampingan kesehatan pada dampingan untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang memadai dan konsultasi lebih lanjut kepada dokter specialis, termasuk akses pembiayaan kesehatan dari pemerintah yang dapat menjamin pelayanan kesehatan. Pendampingan ini merupakan mata rantai yang tidak lepas dari informasi dan pemahaman atas kesehatan reproduksi yang sudah diberikan.
Pendampingan lain yang juga dilakukan adalah komunikasi dan pemberian pemahaman kepada keluarga atas kondisi kecacatan dari dampingan, kemandirian yang dibutuhkan serta persoalan kesehatan reproduksi serta potensi yang ada pada diri perempuan dengan disabilitas tersebut. Karena pihak keluarga merupakan pihak yang terpenting untuk tetap mendampingi individu perempuan dengan disabilitas untuk mandiri dan dapat mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
Pemberian informasi dan peningkatan pemahaman pada perempuan dengan disabilitas dilakukan dengan pelatihan, diskusi kelompok ataupun peer group counselling dan diskusi personal pada saat pendamping datang dengan membawa bulletin atau materi kepada perempuan dengan disabilitas yang tidak memungkinkan untuk hadir kepada pertemuan kelompok karena hambatan mobilitas ataupun kesehatannya.

Berdasarkan pengalaman lembaga SAPDA yang telah melakukan pendampingan pada perempuan dengan disabilitas khususnya perempuan dengan disabilitas baru selama 5 tahun terakhir, persoalan kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian serius. Program kesehatan reproduksi dengan metode penyampaian dan proses ataupun tahapan yang tepat / pas dengan keadaan menjadi sangat penting dalam pendampingan sehingga mendapat output yang optimal. Pemberian informasi yang jelas dari awal dengan jujur dan melihat kondisi / situasi individu ataupun keluarga serta kebijakan pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan menjadi kunci pendampingan yang merupakan bagian advokasi hak kesehatan reproduksi pada perempuan dengan disabilitas.