PERAN MULTIPIHAK DALAM UPAYA PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR DAN KHUSUS BAGI PENYANDANG DISABILITAS

Upaya pemenuhan kebutuhan dasar & khusus penyandang disabilitas sebagai warga Negara untuk dapat hidup sebagai manusia yang setara dan mempunyai hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya terus dilakukan baik ditingkat lokal dalam hal ini adalah kabupaten/kota, provinsi dan tingkat pusat oleh berbagai pihak yaitu organisasi penyandang disabilitas (DPO), NGO, akademisi dan pemerintah.

Idealnya semua pihak dapat melakukan kerjasama dengan memfungsikan diri sebagai pilar-pilar untuk menegakkan hak penyandang disabilitas. Pemerintah baik lokal ataupun pusat, DPO (Difabel people organization), NGO, akademisi yang mendapat dukungan penuh dari individu penyandang disabilitas, keluarga serta masyarakat akan menjadi sangat kuat dalam memainkan peran tersebut.

Persoalannya kembali lagi adalah gerakan pemenuhan hak dasar dan khusus penyandang disabilitas tidaklah ideal, karena kondisi yang menjadi prasyarat keidealan itu sendiri belum terpenuhi.
Prasyarat pertama, adalah 4 pihak sebagai pilar pokok gerakan pemenuhan hak dasar dan khusus penyandang disabilitas melakukan fungsinya secara optimal, tetapi realitanya adalah bahwa
– DPO atau organisasi kecacatan yang mempunyai massa penyandang disabilitas sebagai anggota ditingkat lokal lebih berperan sebagai paguyuban, ajang berkumpul dan bersilaturahmi ataupun komunikasi interaksi anggotanya. Sebagian besar DPO atau organisasi penyandang disabilitas belum menjalankan peran mereka secara politis dalam mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas secara konkrit dan tertata. Dengan perencanaan kebutuhan, serta menjalankan langkah-langkah strategis melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah ataupun perubahan sikap pada masyarakat. Hal tersebut karena sebagian besar dari DPO memang belum mempunyai kapasitas baik secara personal, akses atas informasi atau ruang selain formalitas dari pemerintah pusat ataupun daerah. Formalitas penghargaan ataupun pemberian ruang partisipasi pada DPO ditingkat local baik yang mereka secara mandiri terbentuk ataupun bentukan dari pusat seringkali menjadi pisau bermata 2 bagi gerakan kecacatan karena dianggap sudah melakukan partisipasi dan sudah ada pelibatan tetapi tidak optimal. Memang ada beberapa DPO ditingkat kabupaten/kota yang mereka sudah menjalankan peran advokasi kebijakan ataupun perubahan sikap masyarakat, tetapi pada kenyataannya masih sangat kuat terlihat bahwa yang bekerja bersifat personal/individual pemimpinnya, mungkin berhasil tetapi berbahaya dan tidak menjamin keberlanjutan dari advokasi tersebut kedepan.
– NGO yang mempunyai kerja-kerja di bidang kecacatan ditingkat pusat ataupun daerah, seringkali mempunyai hambatan dibeberapa hal. Hambatan yang pertama adalah bahwa system klaim atas komunitas dan issue masih ada, bahkan seringkali harus saling bertarung untuk mempertahankan klaim tersebut termasuk diantaranya adalah pertarungan NGO kecacatan yang ada di pusat dan daerah, dimana mereka yang ada di pusat lebih mempunyai kapasitas daripada yang didaerah . Hal tersebut memang tidak terlepas dari kebutuhan NGO dengan issue kecacatan sendiri untuk bertahan hidup dan eksis dihadapan banyak pihak termasuk pemerintah dan pemberi dana. Hambatan kedua adalah pendanaan yang terbatas baik dari dalam ataupun luar negeri, sehingga masih banyak NGO kecacatan yang bekerja per proyek dan tidak berkelanjutan. Hambatan ketiga adalah kaderisasi dari aktivis NGO kecacatan yang tidak berjalan cukup baik ataupun pergantian top leader belum dijalankan. Hal tersebut terlihat bahwa dibeberapa NGO kecacatan seorang direktur masih memimpin walaupun sudah 20 tahun, atau bahkan pada saat seorang pemimpin tersebut harus bekerja dibanyak sektor lain. Sehingga terkesan NGO kecacatan seringkali tidak dijalankan dengan professional, atau bahkan menjadi mati suri yang hidup hanya pada waktu dibutuhkan atau ada proyek yang lewat. Hambatan keempat, bahwa dalam kerja-kerjanya masih banyak NGO kecacatan yang tidak siap dengan konsekuensi ataupun dampak dari kerjanya terhadap pihak lain dan dampak kerja NGO lain terhadap komunitasnya karena memang terkadang kurang komunikasi antar mereka. Hambatan kelima, adalah NGO yang bekerja pada issue kecacatan bekerja secara eksklusif belum terbuka untuk mempelajari issu yang lain untuk memperluas mainstreaming kecacatan di sektor yang berbeda.
– Akademisi yang memperjuangkan issue kecacatan serta pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pusat studi, pusat kajian ataupun lembaga penelitian. Seringkali memposisikan mereka sebagai pengamat, melakukan pengkritisan, melakukan penelitian dengan obyek kecacatan dengan tidak memberikan ruang yang cukup bagi penyandang disabilitas ini sendiri.
Padahal menjadi sangat penting untuk memposisikan atau mengoptimalkan peran seorang intelektual penyandang disabilitas untuk melakukan komunikasi dan melakukan tawar menawar kebijakan di kampus atau universitas serta pembuat kebijakan yang menjadikan akademisi ataupun universitas sebagai acuan.

– Pemerintah daerah ataupun pusat, dalam hal ini selalu dikritisi oleh banyak pihak tidak memberikan ruang partisipasi yang cukup kepada penyandang disabilitas dalam pembuatan kebijakan. Produk perundangan atau kebijakan yang dikeluarkan atau dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan ataupun tidak ada penjaminan penegakan hukum yang konkrit seperti UU No 4 tahun 1997. Hal lain yang dilakukan adalah bahwa urusan penyandang disabilitas adalah selalu dianggap merupakan urusan dinas sosial atau kementerian sosial, sehingga setiap ada persoalan atau masalah akan direkomendasikan kepada mereka. Padahal seperti warga Negara yang lain ada banyak tuntutan kebutuhan dari penyandang disabilitas tidak bisa hanya diselesaikan oleh kementerian sosial atau dinas sosial saja seperti urusan pendidikan, kesehatan ataupun fasilitas umum. Disamping itu sorotan yang sangat kuat adalah memasukkan penyandang disabilitas dalam kelompok PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial) sehingga intervensi yang dilakukan pun lebih bersifat karitatif bukan strategis seperti pemenuhan pendidikan ataupun kesehatan, dan ruang yang cukup untuk pengembangan ekonomi.
Beberapa daerah termasuk provinsi DIY beserta kabupaten/kota nya cukup maju dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas yang terbukti dengan peraturan daerah, kebijakan program ataupun anggaran yang ada. Tetapi akan sangat berbeda pada saat melihat kabupaten/kota serta provinsi lain walaupun ada di Pulau Jawa yang dekat dengan pemerintah pusat, sehingga akan rasional apabila di daerah lain mungkin tidak lebih baik. Kalau melihat atau mengkritisi hal tersebut, maka yang menjadi persoalan adalah pemahaman atas kecacatan sendiri belum sepenuhnya ada pada pembuat kebijakan baik pusat ataupun daerah. Kemudian tidak cukup banyak NGO ataupun DPO yang aktif dan sabar mengawal mereka sampai dengan proses penganggaran daerah bahkan monitoring evaluasi dengan mandiri tanpa mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah daerah.

Prasyarat kedua, bahwa keempat pilar tersebut dalam bersinergi ataupun bekerjasama saling mendukung dalam menjalankan fungsinya dan untuk mencapai tujuan bersama, realitanya adalah bahwa keempat pilar tersebut belum bisa bersinergi secara optimal. Terlihat bahwa ada pihak yang merasa lebih dibandingkan dengan pihak lain ataupun tidak setara sehingga menjadi resisten pada saat diberikan masukan. Ataupun menjadi rendah diri untuk memberikan masukan. Persoalan itu masih terjadi di berapa daerah sehingga menjadi hambatan dalam menjalankan kerjasama dengan baik, sehingga yang menjadi korban adalah penyandang disabilitas, dimana mereka dibingungkan oleh kesimpangsiuran paradigma walaupun semua bertujuan melakukan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hal yang lebih parah adalah adanya kelompok yang mendukung pihak tertentu dan akan membenci pihak lain sehingga mematahkan usaha/aktivitas yang dilakukan walaupun tujuannya sama. Dampaknya program-program untuk penyandang disabilitas menjadi terhambat atau hasilnya tidak optimal.

Hal tersebut sebetulnya sudah disadari oleh para pihak, sehingga dilakukan perubahan cara pandang sampai dengan melakukan synergy untuk mencapai suatu tujuan bersama, seperti upaya kolaborasi ditingkat nasional untuk ratifikasi UN CRPD (Konvensi hak penyandang disabilitas). NGO ditingkat pusat dan daerah, akademisi, pemerintah dan organisasi massa penyandang disabilitas (pusat ataupun lokal) bekerjasama selama beberapa tahun terakhir dengan aktivitas bersama ataupun aktivitas sesuai peran masing-masing. Akhirnya sejak tahun 2007 ditandatangani oleh perwakilan Indonesia. Tahun 2011 sudah diratifikasi dengan UU No. 19 tahun 2011 tentang pengesahan Konvensi Penyandang Disabilitas.

Ditingkat lokal, synergy gerakan pun dilakukan dalam penyusunan Raperda Penyandang Disabilitas di provinsi DIY, dimana semenjak tahun 2011 ini proses bersama lintas sector dari 4 pilar tersebut bersama merumuskan Raperda yang dapat menampung idealism dari para pihak tersebut dengan tujuan pemenuhan hak dasar dan khusus dari penyandang disabilitas dengan mengacu pada Konvensi Internasional hak penyandang disabilitas sebelum akhirnya diratifikasi pada bulan Oktober 2011.

Prasyarat ketiga, adanya dukungan penuh dari individu penyandang disabilitas yang diperjuangkan, keluarga sebagai tumpuan dan masyarakat untuk membumikan gerakan atau perjuangan sehingga tepat sasaran dan tidak jauh dari harapan riil penyandang disabilitas untuk kehidupannya.

Individu penyandang disabilitas ataupun keluarga seringkali tidak melakukan peran aktif dalam gerakan kecacatan. Tidak cukup pemahaman karena minimnya akses informasi, hambatan individu karena persoalan pendidikan ataupun mobilitas, sampai dengan sikap pragmatis dari sebagian besar anggota komunitas penyandang disabilitas serta keluarganya karena selama ini memang mereka belum terbiasa berpartisipasi ataupun hanya menjadi sasaran dari program. Sehingga hal ini memang harus dilihat sebagai suatu dosa bersama dari para pihak yang menyatakan melakukan pemberdayaan penyandang disabilitas. Ataupun refleksi bahwa ada yang masih tertinggal cukup jauh saat gerakan ditingkat nasional ataupun lokal berkibar dengan ratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas serta peraturan-peraturan daerah tentang penyandang disabilitas. Dengan demikian maka kedepan akan dilakukan upaya lebih keras memberikan bekal kepada individu penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam gerakan dan mendorong kebijakan ataupun program ditingkat lokal ataupun nasional.

Demikian juga masyarakat sebagai bagian terbesar dari sasaran gerakan seharusnya didorong dengan aktivitas ataupun pelibatan yang lebih massif, sehingga gerakan kecacatan bukan merupakan gerakan yang ekslusive tetapi menjadi inklusif. Dengan harapan bahwa kecacatan akan selalu menjadi bagian yang dipikirkan oleh masyarakat dalam pembuatan keputusan formal ataupun informal dalam pembuatan fasilitas publik dsb.

Dengan melakukan refleksi atas gerakan kecacatan pada tahun 2011, kemudian secara konsisten melakukan perubahan ke arah yang lebih baik serta inklusif, dengan adanya issue bersama yaitu pemenuhan hak penyandang disabillitas didasari UU no. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan hak penyandang disabilitas, maka ada harapan bahwa kedepan akan menjadi lebih baik.