Bagi perempuan disabilitas, kesetaraan adalah perjuangan panjang yang saat ini belum sepenuhnya tercapai. Perempuan disabilitas tidak hanya menghadapi berbagai masalah ketimpangan dalam kondisi masyarakat patriarki, tetapi juga harus berjuang agar suara mereka didengar dalam gerakan perempuan secara umum. Dalam hal ini, stigma masih kuat melekat terhadap perempuan penyandang disabilitas, di mana masyarakat dengan pandangan ableism kerap memandang mereka sebagai sosok lemah, tergantung, dan tidak memiliki peran yang berarti dalam masyarakat.
Kondisi ini juga diperparah dengan adanya hambatan struktural dan kultural, hambatan tersebut menghalangi perempuan disabilitas dalam menikmati hak-hak dasarnya. Perempuan disabilitas mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, aksesibilitas dan akomodasi yang sesuai, kesempatan kerja dengan upah yang setara, serta hak-hak sebagai perempuan dan warga negara menjadi tantangan utama yang dihadapi. Kerentanan ini pun semakin kompleks ketika dipengaruhi oleh ragam disabilitas yang dimiliki, tempat tinggal, serta bagaimana keluarga dan masyarakat mempersepsikan mereka.
Seperti ungkapan bahwa “Selama masih ada diskriminasi, di sanalah perjuangan gerakan perempuan hadir,” gerakan perempuan disabilitas sejatinya telah memiliki esensi perjuangan perempuan yang khas, yang berkembang melalui proses dan perjuangan tanpa selalu disadari sebelumnya.
Sebagai upaya nyata dalam meningkatkan kapasitas perempuan disabilitas muda, Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) dengan dukungan Womens Fund Asia (WFA) mengadakan Sekolah Perempuan Disabilitas bagi perempuan disabilitas berusia 18-40 tahun. Program ini telah dilaksanakan selama Desember 2024 hingga Februari 2025 secara daring dengan melibatkan 20 perempuan penyandang disabilitas di Indonesia dengan berbagai ragam disabilitas.
Salah satu peserta dari Sekolah Perempuan Disabilitas ini adalah Y, penyandang disabilitas sensorik penglihatan yang berasal dari Ambon. Sebagai perempuan disabilitas muda, Y menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, dan ruang-ruang partisipasi di daerahnya. Minimnya dukungan dari lingkungan sekitar serta terbatasnya akses terhadap informasi membuatnya sering merasa terpinggirkan.
Melalui Sekolah Perempuan Disabilitas, Y mendapatkan kesempatan untuk memperluas wawasannya mengenai hak-hak penyandang disabilitas, khususnya dalam perspektif feminisme disabilitas. Program ini membantunya memahami bahwa perempuan disabilitas memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam masyarakat dan memperjuangkan kesetaraan.
“Kesempatan belajar yang jarang diberikan ruang benar-benar sangat berharga. Saya merasa sangat beruntung dan tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Harapan terbesar saya adalah bisa berbagi pengetahuan dan semangat dengan sesama perempuan dengan disabilitas” tutur Y.
Y dan 19 peserta lainnya telah menyelesaikan tahapan pertama dari tiga tahapan Sekolah Perempuan Disabilitas. Pada tahapan pertama ini, materi dan kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membuat perempuan penyandang disabilitas mengenali diri sebagai bagian dari dunia dan sebagai langkah awal dalam membentuk perempuan penyandang disabilitas yang berdaya. Dalam tahap ini, mereka mendapatkan pemaparan dari sebelas pemateri yang menyampaikan 12 bahan ajar terkait hak-hak perempuan disabilitas, dan mengenal diri sebagai perempuan penyandang disabilitas, serta berbagai isu lain seperti otonomi tubuh, seksualitas, spiritualisme perempuan, refleksi feminis, aktualisasi sektor publik, dan turut pula dikenalkan tools seperti Five Level Barier maupun analisis gender dan disabilitas dengan pendekatan Akses-Kontrol-Partisipasi-Manfaat (AKPM).
Sebelas mentor dalam tahapan kelas Sekolah Perempuan Disabilitas adalah perempuan penyandang disabilitas yang berpengalaman dalam gerakan perempuan disabilitas serta berbagai isu perempuan dan gender, serta telah berdaya. Mereka tidak hanya berperan sebagai pemateri, tetapi juga sebagai sumber inspirasi karena telah berhasil mendobrak stigma dan mengatasi tantangan dalam mengaktualisasikan diri sebagai perempuan penyandang disabilitas.
Selain itu, sesi evaluasi pembelajaran juga dilakukan sebagai ruang refleksi bagi peserta untuk mengevaluasi pemahaman mereka serta memberikan umpan balik mengenai proses yang telah berjalan.
Sebagai bagian dari tahapan lanjutan, peserta kemudian menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) yang akan mereka eksekusi di komunitas masing-masing. Dari 20 RTL dan refleksi yang dikumpulkan, sebanyak 14 peserta menunjukkan ketertarikan untuk mengangkat isu kesehatan reproduksi dan seksualitas sebagai isu yang sangat penting diangkat dalam gerakan perempuan penyandang disabilitas. Hal ini menunjukkan bahwa aspek ini masih menjadi kebutuhan mendesak bagi perempuan disabilitas, baik dalam hal pemahaman maupun advokasi di lingkup komunitas mereka.
Sebagai kelanjutan dari upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, Sekolah Perempuan Disabilitas akan memasuki tahap kedua dengan fokus pendalaman pada isu Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas. Tahap ini dirancang untuk menjawab kebutuhan peserta yang sebelumnya telah mengidentifikasi isu tersebut sebagai salah satu tantangan utama dalam advokasi perempuan penyandang disabilitas. Dengan memperdalam pemahaman mengenai hak kesehatan reproduksi serta isu-isu terkait seksualitas, diharapkan perempuan disabilitas muda dapat semakin berdaya dalam memperjuangkan hak-haknya, baik untuk diri sendiri maupun komunitasnya.
Harapannya, selain menjadi wadah peningkatan kapasitas, Sekolah Perempuan Disabilitas ini juga diharapkan dapat menginspirasi lebih banyak komunitas dan organisasi untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi perempuan disabilitas muda dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Dengan semakin banyaknya perempuan disabilitas yang memiliki keterampilan advokasi dan kepemimpinan, diharapkan diskriminasi yang selama ini membatasi peran mereka dapat semakin berkurang. Lebih jauh, program ini juga dapat menjadi model bagi inisiatif serupa di berbagai daerah, sehingga gerakan perempuan disabilitas semakin kuat, terorganisir, dan berkelanjutan.
Untuk info selengkapnya hubungi tim SAPDA:
- Rama Agung (Women Disability Crisis Centre SAPDA): ramaagungnr@gmail.com
- Media SAPDA : 0813-2739-5399