Masyarakat hukum adat memiliki kehidupan komunal, di mana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada individu. Ikatan ini didasari oleh faktor teritorial dan genealogis, yang dalam beberapa kasus melindungi perempuan difabel, seperti di Tampaksiring, Bali dan Sembalun. Namun, ikatan komunal yang terlalu kuat sering kali mengabaikan hak perempuan difabel. Mereka bisa disamakan, dieksklusi, atau dikurung dalam peran domestik. Rasa malu dan jarak sosial juga melemahkan partisipasi mereka dalam komunitas. Hukum adat sering terjebak dalam tradisi patriarki, memperlemah akses perempuan difabel dalam relasi sosial.
Buku berjudul Difabel (Perempuan) dalam Masyarakat Adat mencoba untuk mengulik dinamika masyarakat patrilineal seperti Bali dan NTT. Buku ini adalah laporan hasil penelitian lapangan untuk melihat peran dan posisi penyandang disabilitas (penyandang disabilitas yang kemudian dalam
riset ini secara konsisten disebut sebagai difabel), perempuan dan adat di beberapa kelompok masyarakat yang homogen. Penelitian ini merupakan awal dari langkah SAPDA untuk mendorong masuknya isu difabel dalam masyarakat adat sebagai sebuah bagian dari cross cutting issue, yang akan membawa
pemahaman bersama atas kekhususan dan inklusi dalam masyarakat
Berdasarkan pembahasan di dalam buku ini juga diformulasikan beberapa rekomendasi terhadap perlindungan hak-hak perempuan difabel pada masyarakat hukum adat.
Selamat membaca!