Yogyakarta, 29 Oktober 2024
Menurut CATAHU SAPDA Tahun 2022, kekerasan berbasis gender dan disabilitas
(KBGD) masih menemui berbagai kendala, baik secara teknis maupun non-teknis dalam
upaya memenuhi akomodasi yang layak (AYL). Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi
yang Layak untuk penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan mendefinisikan AYL
sebagai modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan diperlukan untuk menjamin penikmatan
atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk disabilitas
berdasarkan kesetaraan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2023 SAPDA melakukan riset Sistem
Rujukan dengan Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas pada
Penanganan Kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBGD) di tiga wilayah, yaitu Kabupaten
Garut, Kabupaten Jombang, dan Kabupaten Bantul. Riset ini didiseminasikan pada 29
Oktober 2024 kepada instansi pemerintah, organisasi yang bergerak dalam isu disabilitas,
lembaga penegak hukum, dan lembaga layanan penanganan kekerasan. Riset ini didukung
oleh Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2.
Direktur SAPDA, Nurul Sa’adah Andriani berharap, “Semoga proses yang kita lakukan
ini bisa mengubah situasi nasional yang saat ini belum sepenuhnya berpihak pada teman-
teman perempuan disabilitas. Kita harus berproses membersamai pemerintah untuk
melakukan pembenahan. Harapannya, penanganan dan pelayanan terhadap perempuan
dan anak disabilitas yang mengalami kekerasan betul-betul bisa memenuhi kebutuhan
khusus dalam akomodasi yang layak pada setiap tahapannya, sampai pulih.”
Hasil riset mencatat tiga temuan utama. Pertama, penerimaan kasus KGBD
lebih banyak dilaporkan oleh keluarga korban, relawan sosial di sekitar tempat tinggal
korban, dan guru. Belum ditemukan proses lapor mandiri yang dilakukan oleh penyandang
disabilitas. Hal ini karena adanya tekanan dari pelaku dan ketakutan keluarga korban untuk
melapor, perlunya dukungan agar relawan sosial memahami alur penanganan kasus,
kurangnya perspektif yang berpihak pada penyandang disabilitas, dan tantangan penyedia
layanan dalam proses visum, serta hambatan dalam proses komunikasi yang menyebabkan
proses identifikasi kurang maksimal.
Kedua, masih banyak tantangan koordinasi dan dokumentasi data untuk menjamin
kerahasiaan, serta catatan kebutuhan korban. Tiga kasus yang menjadi focus riset
menunjukkan bahwa organisasi penyandang disabilitas belum dilibatkan dalam penanganan.
Ketersediaan rumah aman dan dukungan pembiayaan terkait AYL pada korban masih
menjadi tantangan dalam proses pendampingan.
Ketiga, proses terminasi dilakukan berdasarkan rekomendasi dari psikolog dengan
melihat kondisi trauma psikologis yang dialami dan dilakukan menggunakan metode yang
dapat diterima sesuai kemampuan. Namun, keluarga korban sering kali tidak kooperatif
dalam pendampingan dan pemulihan dampak kekerasan, tergantung kepada pengada
layanan, serta belum terbayarnya restitusi oleh pelaku. Keluarga korban yang mengalami
hambatan sosial ekonomi menyebabkan proses pemulihan belum maksimal.
SAPDA telah merangkum seluruh informasi penting dari hasil riset ke dalam sebuah
laporan dan policy brief. Kedua tulisan tersebut telah menjadi bahan masukan terhadap
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang
saat ini mengembangkan kebijakan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak
yang inklusif.
Melalui diseminasi riset ini SAPDA ingin berbagai pihak yang terlibat dalam
penanganan kasus KBGD mengetahui catatan penting dari temuan riset dan mengajak
instansi pemerintah, organisasi disabilitas, lembaga penegak hukum, serta lembaga dan
layanan penanganan kekerasan, untuk membangun agenda bersama demi memenuhi hak
korban KGBD. Dengan terbangunnya sinergi yang kuat antar pemangku kepentingan,
diharapkan dapat tercipta sebuah sistem rujukan dengan pemenuhan akomodasi yang layak
dalam menangani KGBD.
Deputi Perlindungan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Republik Indonesia, Nahar, menambahkan “Kita harus benar-benar
memperkuat kerja sama, sehingga dapat membantu kelompok yang menjadi subyek korban
menurut Undang-Undang TPKS. Harapannya, mereka memiliki akses dan berbagai
kemudahan untuk mendapatkan layanan melalui mekanisme penyelenggaraan terpadu,
baik di pusat maupun di daerah, khususnya melalui UPTD PPA.”
Media Kit berisi laporan riset, policy brief, Terms of Reference, poster, dokumentasi, dan
materi narasumber dapat diakses melalui:
https://s.id/MediaKitDiseminasi291024
Narahubung:
- Irmaningsih Pudyastuti (Women Disability Crisis Center SAPDA): 0857-2580-4595
- Media SAPDA: 0813-2739-5399