MANA HAK KU?

Ketika kita berbicara tentang difabel atau yang selama ini dikenal masyarakat sebagai Penyandang Cacat atau penyandang disabilitas sebagai sebuah istilah yang disepakati bersama pada tahun 2010, seolah tak akan pernah akan habis. Begitu banyak persoalan serta ada perasaan miris dalam hati pada saat melihat, mendengar atau memikirkan diskriminasi ganda atau bahkan triple diskriminasi di negara berkembang seperti Indonesia.
Ada pertanyaan mendasar kenapa hal ini bisa terjadi. Ada banyak jawaban yang dapat diberikan untuk hal tersebut.
Pertama, persoalan mainset atau pemikiran dasar dari masyarakat yang mengedepankan perasaan “kasihan” kepada penyandang disabilitas, bukan rasa kesetaraan yang muncul. Sehingga tidak aneh pada saat dukungan kepada penyandang disabilitas dari tingkat keluarga, masyarakat, dan pemerintah adalah program karitatif bukan pemberdayaan seperti pemberian kesempatan kerja dan kesempatan sekolah yang setara.
Kedua, belum ada pengarusutamaan issue disabilitas (kecacatan) pada program-program pemerintah dari pemerintah pusat sampai ke daerah, dengan dukungan sumberdaya ataupun penganggaran program. Sehingga walaupun ada program-program tentang disabilitas disuarakan dan dikampanyekan tetapi implementasi dilapangan masih sangat kurang.


Sebagai sebuah contoh konkrit, negara yang telah menyatakan bebas polio ini tetapi belum melakukan aktifitas promosi kesehatan yang mencukupi salah satunya deteksi dini kecacatan kepada anak secara optimal di daerah dengan kenyataan adanya kasus anak menjadi cacat karena beberapa sebab yang belum diketahui dan belum ada intervensi pendidikan kepada orang tua ataupun kader bagaimana meminimalisir kecacatan yang sudah terjadi, atau meminimalisir terjadinya kasus. Misalnya di Sukoharjo yang sebuah kabupaten yang bersebelahan dengan DIY, masih ada kasus kekurangan gizi pada anak sebagai salah satu pemicu kecacatan, berdasar data pemantauan lapangan oleh organisasi Difabel di Sukoharjo yaitu SEHATI setidaknya ada 1 anak yang mengalami kekurangan gizi di setiap posyandu. Ironis pada saat mendengar program PMT (pemberian makanan tambahan ) di Sukoharjo hanya ada alokasi 8 anak per kecamatan, sehingga berapa anak kekurangan gizi per kecamatan kalau ada sekitar 20 posyandu di setiap desa/ kelurahan. Dengan dampak yang terjadi kemudian dapat dihitung berapa anak yang mempunyai potensi menjadi cacat di setiap dusun, desa, kecamatan atau kabupaten.
Kondisi di Sukoharjo dapat menjadi sebuah kondisi yang hampir dapat dipastikan terjadi terjadi di daerah lain apabila belum ada pengarusutamaan deteksi dini kecacatan dan penanganannya pada program-program promosi kesehatan.
Ketiga, belum ada pengakuan secara penuh bahwa penyandang disabilitas adalah warga negara Indonesia yang mempunyai hak serta kewajiban yang sama, sehingga negara mempunyai kewajiban melakukan pemenuhan hak tersebut secara setara.
Hal ini terlihat dari kesulitan difabel mendapatkan akses atas Kartu Tanda penduduk (KTP) karena mengalami hambatan mobilitas serta komunikasi, atau informasi dari pemerintah yang tidak sampai kepada mereka. Dengan realitas bahwa masih cukup banyak keluarga yang menyembunyikan anak cacat atau anggota keluarga cacat, maka menjadi sangat rasional jika komunitas penyandang disabilitas tidak dapat menjangkau akses kesehatan ataupun pendidikan yang memadai. Sehingga terlalu jauh apabila membayangkan atau memimpikan bahwa penyandang disabilitas akan dapat menjadi warga negara untuk mendapatkan prioritas pemenuhan hak sebagai upaya affirmative negara kepada kelompok berkebutuhan khusus.
Walaupun menurut WHO jumlah penyandang disabilitas di suatu negara adalah sebesar 10 % dari jumlah penduduk, dan akan menjadi 13-15% di daerah yang rawan bencana seperti Indonesia. Tetapi menjadi ironis bahwa pemerintah tidak membuat program yang mampu meminimalisir persoalan sosial terkait masalah kecacatan yang memperlihatkan keberpihakan negara kepada penyandang disabilitas dengan wujud konkrit. Meskipun sudah ada beberapa perundang-undangan tentang difabel seperti UUD No 4 tahun 1997, Pepres No 43 tahun 1998 tentang penyandang Cacat ( difabel ), UU No. 39 tahun 1999 ttg HAM, UU No. 11 tahun 2009 ttg PMKS ( Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial ) dan beberapa Keputusan Menteri terkait seperti Kepmen PU No. 30 tahun 2008 tentang aksesibilitas tetapi belum terimplementasi dengan baik.
Sebagai sebuah bukti nyata bahwa peraturan perundangan dari tingkat pusat sampai daerah belum terimplemenasi dengan baik adalah bahwa sampai tahun 2011, yang berarti 14 tahun sejak adaya UUNo. 4 tahun 1997, tetapi belum nampak perubahan kondisi penyandang disabilitas, dengan masih rendahnya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan ekonomi yang disebabkan hambatan untuk mendapatkan akses terhadap layanan publik seperti puskesmas, ataupun rumah sakit. Persoalan nya ada di 2 level yaitu pembiayaan yang tidak terjangkau dan pelayanan yang tidak aksesibel. Contoh kasus yang menimpa penyandang disaibilitas perempuan yang suaminya hanya bekerja sebagai tukang becak dengan pendapatan kurang dari Rp. 500.000,- / bulan yang mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengalami patah tulang dan sudah dioperasi dengan biaya sendiri karena tidak memiliki Jamkesmas maupun Jamkesda, ketika akan melakukan terapy ke RSUD juga ditolak meskipun sudah mengantongi SKTM ( Surat Keterangan Tanda Miskin ) dari kelurahan dengan alasan hal itu tidak dicover oleh Jamkesda.
Terkait pendidikan yang layak bagi penyandang disabilitas dan hak bagi semua anak termasuk anak cacat untuk sekolah dan program pendidikan inklusi ternyata masih cukup banyak kasus yang terjadi. Kebijakan pendidikan pemerintah sulit diakses dengan pemisahan anak cacat dari sekolah regular karena harus di SLB ( Sekolah Luar Biasa ) dengan pembiayaan yang lebih besar dan jarak yang cukup jauh. Walaupun audah ada kebijakan sekolah inklusi tetapi masih sangat sulit diakses oleh anak penyandang disabilitas (anak berkebutuhan khusus), disamping adanya kesiapan sekolah dari fasilitas fisik dan layanan termasuk guru, kurikulum dan sarana prasarana belajar mengajar.
Salah satu contoh konkrit dari persoalan pendidikan difabel, adalah seorang ibu orang tua tunggal yang tinggal di Karangwuni kec. Polokarto Kab. Sukoharjo dengan anak CP ( Celebral Palcy ) yang saat ini berusia 12 tahun yang harus di antar jemput ketika sekolah ke YPAC Solo yang jaraknya dari rumah 30 km yang harus di tempuh dengan motor sambil menggendong anaknya yang dia ikat di pinggangnya agar tidak jatuh. Selama ini biaya sekolah harus dibiaya sendiri hanya denga membuka warung yang buka setengah hari karena harus mengantar sekolah anaknya itu. Terkadang dia terpaksa tidak mengantarkan anaknya sekolah agar bisa berjulan satu hari penuh.

Contoh lain seorang anak CP yang berusia 10 tahun di desa Nguter Sukoharjo tidak mempunyai kesempatan Sekolah karena kesibukan orangtuanya mencari nafkah sehingga tidak sempat mengantarkan anaknya sekolah walaupun secara ekonomi cukup.
Persoalan kesehatan, pendidikan dan ekonomi ibarat lingkaran setan yang sangat sulit diputuskan, penyandang disabilitas identik dengan kemiskinan ataupun membawa merupakan penyandang masalah kesejahteraan sosial. Sehingga program yang ada lebih bersifat pemberdayaan ekonomi yang pendek, tidak berkelanjutan dan belum ada monitoring evaluasi atas efektifitas program. Sehingga program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi menjadi tidak optimal bahkan sering tidak tepat sasaran.
Program ketenagakerjaan bagi penyandang cacat yang diamanatkan oleh UUNo. 4 tahun 1997, ternyata belum terimplementasi dengan baik. Terbukti sampai saat ini quota 1 dari100 orang tenaga kerja di Perusahaan harus penyandang disabilitas belum terpenuhi, pemerintah terkesan tidak tegas dalam persoalan ini. Terlebih lagi kuota dalam penerimaan PNS di belum diterapkan oleh pemerintah daerah atau pusat.
Sebagai Negara mempunyai kewajiban untuk pemenuhan hak –hak asasi warga negaranya tanpa kecuali termasuk penyandang disabilitas, juga mendorong masyarakat terlibat dalam pemenuhan hak – hak nya sehingga keberadaan seorang difabel tidak terdiskriminasikan oleh stigma maupun Struktur social masyarakat di lingkungannya. Kewajiban pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus penyandang disabilitas seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dengan kebijakan yang berpihak dan terimplementasi dalam program kepada penyandang disabilitas yang memenuhi kebutuhan tersebut. Sebagai sebuah acuan ataupun dasar hukum pada saat ini dapat digunakan UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan konvensi Internasional Hak penyandang cacat yang memberikan detail acuan kebijakan dan program secara detail. Sehingga ada jawaban yang pasti beserta indikatornya pada saat penyandang disabilitas bertanya mana hakku, kapan akan diberikan dan bagaimana caranya????