DPO Lead Research: Sebuah Terobosan dalam Memastikan Kepemimpinan dan Akomodasi yang Layak Terfasilitasi dalam Platform Riset melalui Program Afirmasi antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Australia bersama SAPDA

Peserta Disability Lead Research atau Kelas Intensif Offline sedang berfoto bersama menggunakan kaos berwarna biru

Yogyakarta, 26 Januari 2025

Dalam beberapa tahun terakhir, riset mengenai disabilitas di Indonesia mulai mendapatkan perhatian lebih, baik dalam bidang sosial, hukum, kedokteran, psikologi, maupun infrastruktur. Beberapa riset bahkan secara eksplisit mencantumkan disabilitas sebagai salah satu fokus utama atau mencakup perspektif disabilitas dalam analisisnya. Namun, meskipun perkembangan ini cukup menggembirakan, sebagian besar riset tersebut masih dipimpin oleh akademisi atau institusi yang bukan penyandang disabilitas atau tidak memiliki keterkaitan langsung dengan organisasi atau komunitas disabilitas. Dalam konteks ini, organisasi disabilitas dan penyandang disabilitas seringkali hanya berperan sebagai objek penelitian, baik sebagai narasumber maupun responden, atau sebagai enumerator yang berfungsi untuk memfasilitasi proses pengumpulan data. 

Hal ini menimbulkan dilema serius, karena dapat mempengaruhi perencanaan, pelaksanaan, serta implementasi kebijakan yang dihasilkan dari riset tersebut, yang pada akhirnya mungkin kurang relevan atau tidak sepenuhnya bermanfaat bagi penyandang disabilitas. Padahal, Keterlibatan penyandang disabilitas dalam riset memiliki peran sentral dalam memastikan inklusivitas dan representasi yang adil. Partisipasi penyandang disabilitas tidak hanya meningkatkan validitas hasil riset, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dengan memberikan wawasan yang mendalam tentang tantangan dan potensi yang mungkin terabaikan oleh penelitian yang kurang inklusif.

Selain itu, tantangan lainnya adalah terbatasnya kapasitas organisasi disabilitas atau individu penyandang disabilitas untuk menjadi peneliti yang mampu merancang riset yang sesuai dengan tujuan program tanpa mengabaikan prinsip akomodasi yang layak dan partisipasi yang bermakna bagi mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk memposisikan penyandang disabilitas sebagai subyek dan pelaksana penelitian, bukan hanya sebagai objek yang diteliti dalam penelitian.

Hal tersebut yang menjadi latar belakang dari pelaksanaan Program DPO Lead Research yang merupakan program afirmasi yang direncanakan oleh pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia Department of Foreign Affairs and Trade melalui program KONEKSI yang diimplementasikan oleh SAPDA dengan dukungan substantif dari CBM Global for Inclusion. Aktivitas utama dari program afirmasi ini adalah pelatihan bagi periset disabilitas yang berbasis organisasi atau komunitas disabilitas di Indonesia yang mewakili dari seluruh wilayah di Indonesia dengan keragaman disabilitas.

Chintia Asimilia, Senior Program Manager untuk Knowledge to Policy di Kedutaan Besar Australia di Indonesia (DFAT), menyebutkan bahwa “Sekolah riset ini juga mendukung terbangunnya jejaring peneliti penyandang disabilitas untuk dapat bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman dalam melakukan penelitian dengan, dan untuk penyandang disabilitas. Teman-teman yang tergabung dalam jaringan peneliti disabilitas KONEKSI ini memiliki peran yang sangat penting untuk mendorong penelitian-penelitian yang responsif terhadap isu disabilitas, serta memastikan hasil riset tersebut berkontribusi pada rencana pembangunan Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan.”

Program ini dimulai pada bulan Januari 2024, dengan SAPDA sebagai pelaksana utama. Program ini merupakan bagian dari upaya meningkatkan kapasitas para periset penyandang disabilitas, yang diharapkan dapat memimpin menjadi lead riset untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Program ini dilaksanakan secara daring dan luring untuk efektivitas proses penyampaian pengetahuan yang didukung dengan pemenuhan akomodasi yang layak. 

Nurul Sa’adah Andriani, Direktur SAPDA mendorong adanya prinsip penyelanggaraan Kelas Intensif Sekolah Riset Penyandang Disabjlitas, “Bahwa di dalam setiap proses ada prinsip non SARA, kemudian juga tidak ada tindak pelecehan dan kekerasan di situ, harus saling menghormati dan mendukung perkembangan setiap orang, karena setiap orang itu berbeda, beragam latar belakang, keberagaman disabilitas, keberagaman model komunikasi, keberagaman cara untuk memahami dan berdiskusi. Itu harus kemudian saling mendukung, kita untuk kemudian mendapatkan tujuan bahwa penyandang disabilitas bisa menjadi lead riset.”

Pada tahap 1 rangkaian pelatihan ini, peserta difasilitasi dengan pertemuan tatap muka (offline) setelah sebelumnya mendapatkan sesi online untuk mempelajari tentang: perencanaan riset advokasi berperspektif GEDSI, memahami berbagai interseksionalitas isu GEDSI, etika dan kode etik riset, akomodasi yang layak serta mendapatkan informasi awal tentang metodologi riset.

Pelatihan ini diikuti oleh 21 peserta yang terpilih melalui hasil seleksi dari 191 pendaftar yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Terdapat beberapa zona yang memudahkan pengorganisasian, yaitu Zona Timur, Zona Tengah, Zona Barat, serta Zona Nasional. Tak hanya itu, peserta berasal dari berbagai latar belakang disabilitas, termasuk disabilitas fisik, sensorik pengelihatan, sensorik pendengaran, psikososial, serta penyandang disabilitas yang memiliki disabilitas ganda. Keberagaman jenis disabilitas ini mencerminkan inklusivitas program yang dirancang untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan.

Salah satu peserta program pelatihan ini adalah seorang perempuan deaf-blind (Buta Tuli), sebuah kondisi yang masih belum banyak dikenal. Meskipun menghadapi tantangan komunikasi, peserta ini sangat termotivasi untuk memajukan gerakan advokasi Deaf-Blind di Indonesia, dengan menilai riset sebagai aspek penting dalam proses advokasi, selain metode lainnya. Selama mengikuti sekolah riset, dia didampingi oleh dua orang typist yang membantu mengatasi hambatan komunikasi yang ada.

Harapannya, setelah mengikuti pelatihan Sekolah Riset Penyandang Disabilitas tahap 1 sesi offline, peserta dapat memahami paradigma riset, logika riset, metodologi riset, etika dan kode etik riset, ethical clearence, dan pemenuhan Akomodasi yang Layak (AYL) dalam riset dengan perspektif GEDSI. Selain itu, peserta dapat menyusun proposal riset advokasi dengan perspektif GEDSI sesuai dengan minat isu masing-masing peserta.

Narahubung:

  1. Irmaningsih Pudyastuti (Women Disability Crisis Center SAPDA): 0857-2580-4595
  2. Media SAPDA: 0813-2739-5399

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *