Sekali lagi peranan perempuan tidak bisa diremehkan. Tidak hanya di tataran keluarga dimana perempuan tidak jarang menjadi tulang punggung keluarga tetapi juga posisi perempuan sebagai pahlawan devisa negara. Pahlawan devisa negara atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) rupanya memang benar – benar pantas disebut pahlawan devisa. Bagaimana tidak, mereka memberikan sumbangan 10% dari nilai APBN negara berada di nomor dua dibawah pendapatan dari sektor migas (finance.detik.com). Besarnya pemasukan negara yang didapat dari pengiriman TKI ke luar negeri ini rupanya tidak berbanding lurus dengan perlindungan yang diberikan negara terhadap TKI itu sendiri.
Perlindungan negara masih sangat minim pada TKI. Akibatnya sudah menjadi rahasia umum bahwa TKI mengalami tindakan kekerasan ketika bekerja di luar negeri. Kekerasan yang dialami TKI pun beragam mulai dari tindak kekerasan berupa pemukulan, penyiraman air keras, kekerasan psikis, hingga kekerasan verbal. Tindakan kekerasan yang dilakukan tidak jarang hingga membuat seorang TKI menjadi penyandang disabilitas. Begitupun yang terjadi pada salah satu TKI bernama Siti Amuni dari Jawa Barat (republika.co.id)
Siti Amuni berasal dari Kampung Babakan Plawad, Desa Karang Mulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang. Sebelumnya beliau ditempatkan untuk bekerja di wilayah Bahadur, Arab Saudi sebagai pembantu rumah tangga. Siti Amuni dipulangkan kembali ke tanah air setelah dinilai tidak akan bisa bekerja secara maksimal lagi akibat cacat yang dideritanya. Walaupun pernyataan tersebut tidak dapat diklarifikasi lebih lanjut oleh pemerintah setempat apakah memang cacatnya disebabkan setelah dia bekerja atau sebelum bekerja.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan salah satu wartawan republika.co.id kepada Siti Amuni, sejak bekerja selama lima bulan di Arab Saudi Siti Amuni selalu mengalami tindakan kekerasan. Penyebabnya pun sebenarnya remeh karena anak majikannya selalu menangis. Dan sebelum majikannya bertanya mengapa anaknya menangis Siti Amun sudah dipukuli terlebih dahulu. Penyiksaan tersebut berlangsung selama 3 tahun dan dia mengaku bahwa hampir di seluruh bagian tubuhnya terdapat luka bekas siksaan. Bahkan parahnya pada bagian kepalanya terdapat luka yang cukup besar bekas dipukul menggunakan benda tumpul. Jarinya juga tidak bisa bisa digerakkan karena sudah dipatahkan majikannya. Ironisnya selama 6 bulan terakhir dia bekerja, Siti Amuni tidak lagi mendapatkan gaji seperti yang ada di kontrak yaitu 800 real.
Cerita tersebut mampu memberikan gambaran bahwa seorang TKI yang sering di sebut – sebut sebagai pahlawan devisa dalam pekerjaannya akan sangat berpotensi terkena tindakan kekerasan. Akibat tindakan kekerasan tersebut pun TKI akan pulang ke Indonesia dengan kondisi menjadi penyandang disabilitas. Dan lemahnya perlindungan pada TKI ini pun sebenarnya merupakan tanggungjawab bersama dari berbagai macam aktor. Aktor pertama yang terdekat sudah tentu lembaga Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Berdasarkan UU no 39 tahun 2004, PJTKI memiliki fungsi untuk perekruitan tenaga kerja, pelatihan, penempatan termasuk juga pemberangkatan ke luar negeri. PJTKI ini kemudian akan bekerja sama dengan atase ketenagakerjaan RI di luar negeri. Fungsi pengawasan pun dilakukan berdua. Namun tidak jarang pemerintah dan PJTKI tidak mengetahui ada TKI yang mengalami kekerasan. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa. Yang pertama TKI tidak bisa melapor karena memang dia tidak bisa keluar dari lokasi tempat kerja. Jika keluar maka akan diancam dibunuh ataupun yang lainnya. Yang kedua adalah pemerintah tidak berperan aktif dalam melakukan pengawasan. Pemerintah hanya turun tangan jika memang ada kasus. Jika tidak ada kasus maka pemerintah tidak akan turun langsung meninjau kondisi TKI di lapangan.
Dari kasus TKI diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu ada mekanisme perlindungan dan pengawasan yang di desain oleh negara, PJTKI ataupun lembaga tertentu yang ditunjuk. Perlindungan dan pengawasan ini sangat perlu dilakukan terutama untuk tenaga kerja wanita indonesia yang rentan kekerasan. Di satu sisi mereka harus berjuang membanting tulang karena sebagai tulang punggung keluarga tetapi di satu sisi dia juga harus bertahan hidup di tengah gempuran kekerasan yang dia alami yang tidak jarang menyebabkan dia menjadi penyandang disabilitas. Ketika menjadi disabilitas maka dia akan depresi karena tidak mampu bekerja dan tidak jarang sampai mengakhiri hidupnya. Semoga menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar ke depannya kasus seperti ini tidak terulang lagi. (Ika)