AKSES KEADILAN DALAM PERSPEKTIF KONVENSI HAK-HAK DIFABEL

Organisasi Harapan Nusantara (OHANA) dengan dukungan Disability Rights Fund mengadakan seminar ini yang didukung oleh Disability Rights Fund. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kritis tentang akses keadilan yang berperspektif hak-hak difabel; Mendorong advokasi hak-hak difabel dalam akses keadilan dalam terwujudnya sistem peradilan yang inklusif dan Mendapatkan solusi dan strategi advokasi yang efektif dalam mendorong terwujudnya kesetaraan hak-hak difabel dalam akses keadilan. Acara ini dilaksanakan hari Rabu, 11 Maret 2015 di Hotel Cakra Kusuma Yogyakarta. peserta yang hadir dari berbagai lembaga dan dinas pemerintah seperti Kepolisian, Pengadilan Negeri, Kejaksaan, LSM, Organisasi disabilitas, LBH, Dinas social, Dinas pendidikan, Forum aliansi Legislatif Perempuan dan paralegal.
Sebagai organisasi yang concern dengan isu kekerasan terhadap perempuan disabilitas, SAPDA sebagai mitra OHANA ikut berpartisipasi dalam acara ini. Menurut paparan narasumber, Ratna Dewi Sulistyaningsih (Paralegal Disabilitas) mengatakan bahwa Menjadi paralegal disabilitas korban kekerasan sering diragukan oleh Masyarakat dan APH, mereka sebagian besar belum tahu FUNGSI dan PERAN Paralegal. Dan itu menjadi salah satu hambatan kasus kekerasan pada disabilitas tidak sampai Proses Hukum, APH kurang sensitif disabilitas, Lingkup kerja yang dilakukan adalah menyiapkan korban PRA PENGADILAN. Selain itu hambatan yang dialami korban adalah Korban / keluarga menutup kasus tidak mau lanjut, dianggap Aib dan malu. Tapi sering juga karena ada intimidasi dari pelaku sudah melapor akhirnya dicabut, Ada hambatan komunikasi untuk disabilitas Rungu-wicara dan Disabilitas baru/kecelakaan sering ditinggalkan suaminya, perlu dijelaskan mereka punya Hak dalam bantuan hukum.

 


Dalam mengakses hukum bagi teman-teman disabilitas, ada beberapa tantangan, diantaranya:
– Isi kebijakan belum ramah bagi difabel
– APH, sarana dan prasarana belum berspektif difabel
– Hukum dan masyarakat yang belum mendukung perjuangan keadilan bagi difabel
Perlu diperjuangkan, apalagi bantuan dana masih pakai indikator MISKIN bukan difabel.- Dari pemerintah dana untuk bantuan hukum sudah ada tapi masih umum, bagaimana dengan yang khusus disabilitas?
– Komite Disabilitas yang sudah terbentuk masuk Lembaga AT-HOCK, kemungkinan bisa hilang/kedudukan kurang kuat
– Penguatan Mekanisme Pelaporan dan Pengaduan
– Pembenahan kebijakan-kebijakan terhadap difabel
– Melihat kembali Peraturan kode etik APH, Kejaksaan dalam melayani Difabel
– Gerakan pelatihan dimasyarakat untuk Paralegal bagi difabel
Dalam sesi diskusi, mbak Ipung dari SIGAB memaparkan beberapa faktor penghambat penanganan kasus kekerasan pada perempuan disabilitas adalah rasa malu, trauma, takut, ingin melupakan, tidak paham kekerasan dan kespro, pelaku orang dekat/punya hubungan keluarga.

Ini menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan hukum disabilitas korban kekerasan, seperti Usia kalender tidak sama dengan usia mental (usia mental disabilitas Grahita tidak melewati usia 10 tahun), SOP penanganan korban disabilitas, Kebijakan dan Anggaran untuk Saksi ahli, Visum/DNA, Penterjemah, Peran LBH dan Organisasi difabel, Litigasi dan Non Litigasi, Jaringan (Rumah sakit, LBH, Panti, APH).

Ada beberapa catatan dari dilaksanakannya acara ini, yaitu :
1. Dinsos Bantul : Ada Perbub mengenai Difabel dan Lansia, di Bandung ada perguruan tinggi (STIK Bandung) yang jurusan pendidikan khusus membahas Disabilitas.
2. Info dari Komnas Perempuan ada dana sebesar 40 juta untuk test DNA tapi untuk mengakses prosedur sulit dan waktu juga terbatas, di Jawa tengah RS yang bisa melakukan test DNA baru RS di Semarang.
dari Gunung Kidul ada 10 orang, Sleman /PPCS ada 5 orang. Selesai pelatihan mereka membentuk persatuan Paralegal sebagai koordinator Ratna, yang saat ini juga masih ikut pelatihan di LBH Jogya, masih 3x pertemuan.

3. Peserta ada beberapa orang alumni pelatihan Paralegal dari OHANA di SOLO (peserta semua difabel)

Pelatihan Paralegal yang diadakan oleh LBH Jogya peserta umum (difabel dan non difabel), dari perempuan petani, peternak, aktifis perempuan. (Rini)