Kasus Sekolah di Kota Yogyakarta Tidak Mau Menerima Anak Berkebutuhan Khusus/Penyandang Disabilitas
Perlu kami beritahukan bahwa Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 21 Mei 2015, telah menerima kedatangan Ibu E (untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, nama lengkap dan alamat ada di Kantor Komite) yang telah menyampaikan keluhannya kepada kami sebagai berikut:
– bahwa Ibu E adalah orang tua dari R (usia 7 tahun). R saat ini menyelesaikan pendidikan di TK Luar Biasa dan bermaksud melanjutkan ke jenjang pendidikan SD (Sekolah Dasar). R mempunyai gangguan pendengaran (tuna rungu tidak total) dan menggunakan alat bantu dengar. R dapat berkomunikasi/ berbicara secara oral dengan orang lain.
– bahwa Ibu E memilih di SD umum/reguler untuk sekolah anaknya dan bukan di Sekolah Luar Biasa karena yakin anaknya dapat mengikuti proses pembelajaran di SD umum. Menurut Ibu E dengan bersekolah di SD umum anaknya sejak awal dapat berbaur dengan teman-temannya dari berbagai kalangan (umum) yang beragam yang akan membentuk keribadiannya kelak dalam berperan di masyarakat secara baik. Di samping itu, Ibu E juga berharap apabila bersekolah di SD umum anaknya dapat lebih mempunyai kesempatan mengembangkan diri secara maksimal baik jasmani, rohani, maupun intelektual.
– bahwa untuk kepentingan mencarikan sekolah bagi anaknya, Ibu E pada tanggal 29 April 2015 telah menelpon ke Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta (menghubungi nomor 544521) minta informasi mengenai SD Inklusi yang dekat rumah Ibu E. Oleh penerima telepon di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Ibu E diberi informasi sejumlah SD Inklusi di Kota Yogyakarta yang dekat dengan rumah Ibu E, diantaranya SD Blunyah Rejo 1 Yogyakarta dan SD Bangun Rejo 2 Yogyakarta.
– bahwa setelah mendapat informasi dari Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, Ibu E datang ke SD Blunyah Rejo 1. Kepada guru yang menemuinya, Ibu E menyampaikan maksud kedatangannya yakni akan mendaftarkan anaknya untuk bersekolah di SD Blunyah Rejo 1. Sebelumnya, Ibu E menanyakan apakah SD Blunyah Rejo 1 merupakan sekolah inklusi dan menginformasikan bahwa anaknya mempunyai gangguan pendengaran (tuna rungu tidak total) bersekolah di TK Luar Biasa. Kepada Ibu E, pihak sekolah mengakui sebagai sekolah inklusi tetapi belum mempunyai guru pendamping khusus (GPK) dan belum ada peserta didik berkebutuhan khusus. Selanjutnya pihak sekolah menyarankan Ibu E ke SD Bangun Rejo 2 karena sudah mempunyai peserta didik berkebutuhan khusus.
– bahwa atas saran dari pihak SD Blunyah Rejo 1, selanjutnya Ibu E datang ke SD Bangun Rejo 2. Di SD Bangun Rejo
2, Ibu E ditemui oleh dua orang guru di ruang guru sementara anaknya (R) dibawa oleh salah seorang guru ke ruangan lain tanpa menceritakan untuk kepentingan apa. Kepada dua orang guru yang menemuinya, Ibu E menyampaikan keinginannya untuk mendaftarkan anaknya sekolah di SD Bangun Rejo 2. Pihak sekolah menanyakan selama ini R sekolah di mana dan dijawab oleh Ibu E bahwa R sekolah di TK Luar Biasa. Pihak sekolah selanjutnya menyarankan agar Ibu E melanjutkan saja ke SD lain yang lebih memadai atau melanjutkan saja ke SD Luar Biasa. Pihak SD Bangun Rejo 2 juga memberi alasan lain, ketika R “ditest” (rupanya saat R diajak oleh guru ke ruangan lain untuk “ditest”) berhitung sederhana : 2 tambah 2 tidak bisa menjawab dan ditanya alamat rumah tidak menjawab.
– bahwa atas sikap pihak SD Blunyah Rejo 1 dan SD Bangun Rejo 2, kepada Komite Perlindungan dan pemenuhan Hak-hak penyandang Disabilitas, Ibu E tidak dapat menerima dan memahami alasan pihak sekolah yang tidak bisa menerima R sebagai calon peserta didik. Ibu E tetap berkeinginan anaknya dapat bersekolah di SD umum bukan di SD Luar Biasa.
– bahwa atas keluhan Ibu E, pada tanggal 25 Mei 2015, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta telah menugaskan kepada Asisten Komite, Puji Triwahyuni, untuk melakukan klarifikasi di SD Blunyah Rejo 1 dan SD Bangun Rejo 2. Di SD Blunyah Rejo 1, Asisten Komite bertemu dengan Kepala Sekolah dan mendapatkan penjelasan bahwa Ibu E memang pernah datang bermaksud mendaftarkan anaknya. Pihaknya tidak menolak tetapi menyarankan Ibu E ke SD Bangun Rejo 2 karena di SD Blunyah Rejo 1 belum ada guru pendamping khusus (GPK).
Adapun ketika Asisten Komite mengunjungi SD Bangun Rejo 2, pihak sekolah menyatakan bahwa SD Bangun Rejo 2 mau menerima peserta didik yang sesuai dengan kemampuan sekolah. Pihak sekolah menyarankan Ibu E mendaftarkan anaknya ke sekolah lain yang mempunyai peserta didik tuna rungu. Pihak sekolah menyatakan, karena ditunjuk sebagai sekolah inklusi mengakibatkan sekolah mempunyai banyak pekerjaan.
– bahwa pada tanggal 26 Mei 2015, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta mengadakan pertemuan dengan Ibu E dan anaknya (R). Dalam pertemuan tersebut Ibu E menegaskan bahwa anaknya dengan alat bantu dengar dan penedekatan yang baik dari orang lain dapat melakukan komunikasi dengan baik. Terhadap pernyataan pihak SD Bangun Rejo 2 yang mangatakan anaknya tidak bisa berhitung 2 tambah 2 maka di hadapan Komite Ibu E meminta anaknya menulis angka 1-10, menuliskan beberapa nama temannya, dan menjawab hitungan 2 + 2. Kenyataannya hal tersebut dapat dilakukan R dengan baik (foto tulisan tangan R, terlampir). Meskipun terhadap hal ini Komite telah mengatakan untuk masuk SD tidak boleh ada tes baca tulis. Hal tersebut bagi Ibu E setidaknya dapat menunjukkan apa yang disampaikan oleh pihak SD Bangun Rejo 2 mengenai kemampuan R tidak tepat.
– bahwa terhadap materi keluhan Ibu E, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta berpendapat bahwa hak atas pendidikan dan kesempatan mendapatkan pendidikan yang setara dan berkualitas adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yang tidak seorangpun dapat mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak tersebut.
– bahwa merujuk pada Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah disahkan oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta berpendapat bahwa penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya harus dilakukan secara inklusif oleh setiap penyelenggara pendidikan sehingga sudah menjadi tugas penyelenggara pendidikan untuk menerima anak dari berbagai macam latar belakang dan kondisi (berkebutuhan khusus/difabel/penyandang disabilitas).
– bahwa merujuk Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menegaskan “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagaman, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta berpendapat bahwa penyelenggara pendidikan tidak boleh membatasi kesempatan anak yang akan diterima sebagai peserta didik karena alasan kebutuhan khususnya/dfabilitas/disabilitas.
– bahwa merujuk Pasal 9 ayat (1) Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas yang berbunyi “Setiap penyelenggara pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang setara dan berkewajiban menerima peserta didik penyandang disabilitas”, yang diperkuat dengan Deklarasi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Pendidikan Inklusi, yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 12 Desember 2014, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta berpendapat bahwa penyelenggara Pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh menolak seorang anak menjadi peserta didik karena alasan ia seorang anak berkebutuhan khusus (difabel/ penyandang disabilitas).
– bahwa pernyataan penyelenggara pendidikan (sekolah) yang tidak menolak anak berkebutuhan khusus (difabel/ penyandang disabilitas) tetapi menyarankan ke sekolah lain, menurut pendapat Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bentuk penghalusan dari sikap penolakan, bentuk menghindar dari tanggung jawab, serta kewajiban yang dapat mengarah pada tindakan melanggar hak asasi penyandang disabilitas.
Sehubungan dengan hal-tersebut di atas, sesuai fungsi dan tugas Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 97-98 Peraturan Daerah DIY No 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas dan Peraturan Gubernur DIY No 31 tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, dengan ini kami mohon kepada Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk:
1. Memberikan penjelasan secara komprehensif dan melakukan upaya penyelesaian masalah yang dikeluhkan oleh Ibu E untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak atas pendidikan bagi anaknya.
2. Menyiapkan dan memastikan seluruh penyelenggara pendidikan di Kota Yogyakarta agar memenuhi ketentuan Pasal 9 Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012, terkait kegiatan penerimaan peserta didik baru.
Atas perhatian dan kerja samanya yang baik diucapkan terima kasih.
Hormat kami,
KOMITE PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK
PENYANDANG DISABILITAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,
SETIA ADI PURWANTA Ketua Nomor Kontak: 08121558159