Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Pelatihan Kepemimpinan Feminis Disabilitas yang Kritis bagi Perempuan Disabilitas dan Penyusunan Rencana Perubahan Menggunakan Theory of Change (ToC)” pada 11 hingga 14 November 2025.
Pelatihan ini diselenggarakan sebagai bentuk respons terhadap berbagai tantangan kompleks yang masih dihadapi perempuan penyandang disabilitas, mulai dari diskriminasi berbasis gender, norma sosial patriarkis, hingga minimnya ruang partisipasi dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Direktur SAPDA, Nurul Sa’adah Andriani, dalam sambutannya menyebutkan, “Kegiatan ini adalah bagian dari proses SAPDA mendorong pengembangan organisasi disabilitas dan menjadikan perempuan muda disabilitas sebagai pemimpin yang mampu memimpin gerakan di level nasional dan internasional. SAPDA akan menjadi teman dalam proses pengembangan perempuan disabilitas muda dengan memberikan ruang untuk terlibat dan belajar secara langsung dari komunitas yang beragam.”
Selama empat hari, peserta dari empat kabupaten–Majalengka, Malang, Sukoharjo, dan Yogyakarta–mendapatkan berbagai materi pelatihan yang mendorong penguatan kapasitas perempuan disabilitas agar mampu menjadi aktor perubahan sosial yang berperspektif kritis, inklusif, dan feminis.
Pelatihan dimulai dari sesi reflektif mengenai feminisme sebagai gagasan dasar untuk memahami relasi kuasa dan pengalaman perempuan disabilitas, disambung materi penting lainnya seperti Gender Disability Analysis Pathway (GDAP), kepemimpinan perempuan, serta stakeholders mapping dan policy mapping, untuk membantu mereka memahami aktor-aktor kunci dan kerangka kebijakan yang relevan dengan isu yang mereka perjuangkan.
Yang menarik, Theory of Change (ToC) digunakan sebagai kerangka isu dalam pelatihan ini. ToC merupakan sebuah pendekatan strategis yang membantu peserta memetakan hubungan antara tindakan, sasaran, dan hasil perubahan sosial yang diharapkan. Dengan menggunakan kerangka ini, peserta didorong untuk mampu menyusun gerakan yang dapat memperjuangkan kesetaraan, inklusivitas, dan hak-hak perempuan disabilitas di berbagai ruang sosial.
Adapun tindak lanjut dari pelatihan ini adalah peserta menyusun peta jalan perubahan berdasarkan analisis dan diskusi sebelumnya. Secara berkelompok, mereka merumuskan langkah-langkah strategis yang dapat diimplementasikan di komunitas masing-masing, hingga menyusun rencana pemagangan sebagai bagian dari penerapan hasil pelatihan secara langsung di lapangan.
“Ruang yang sedang kita bangun ini harapannya dapat menjadi laboratorium untuk belajar dan melihat dunia di luar isu disabilitas agar pemahaman, pengetahuan, dan relasi dapat semakin kaya,” kuat Nurul.
Harapannya, pelatihan ini dapat mendorong lahirnya perempuan disabilitas yang berjiwa pemimpin, sekaligus memiliki kemampuan kritis dan dapat merancang strategi perubahan yang berkelanjutan.






