Pengadilan Negeri (PN) Karanganyar bersama Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dan komunitas Penyandang Disabilitas di Karanganyar menyelenggarakan roleplay uji coba aksesibilitas, Jumat (11/12). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut atas MoU kedua lembaga, sekaligus sebagai perayaan Hari Disabilitas Internasional.
Roleplay dipandu oleh Fatum Ade dan Rini Rindawati dari hola Woman Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA. Turut hadir sejumlah individu perwakilan setiap ragam disabilitas yang secara langsung mencoba dan menilai fasilitas seperti guiding block, handrail, dokumen braille, toilet, hingga Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
Hasil roleplay ujioba tersebut menyimpulkan bahwa PN Karanganyar sudah cukup aksesibel, utamanya bagi kelompok penyandang disabilitas fisik. Subadri yang merupakan pengguna kruk mengapresiasi upaya PN Karanganyar yang telah menyediakan tempat parkir dan ruang tunggu khusus disabilitas.
“Petugas dari PNnya sendiri saya kira juga sudah cukup baik, sudah cukup ramah. Sebelum (kunjungan) dari SAPDA dan organisasi (disabilitas), saya sudah sering ke PN juga. Waktu pelayanan kepada teman-teman memang sudah cukup baik,” kata Subadri.
Hal yang sama juga disampaikan Supriyono yang memiliki kondisi disabilitas pada sebagian anggota geraknya. “Apa yang kami lihat di PN tadi, sudah sangat membantu. Apabila ada perkara yang masuk ke pengadilan negeri Karanganyar, kami bisa terbantu dengan adanya fasilitas-fasilitas yang ada,” katanya.
Demikian juga Hardiyanto yang merupakan pengguna brace atau kaki besi. “Pada dasarnya, sudah bisa memenuhi kebutuhan disabiltas. Kalau khusus untuk fisik, itu sudah cukup. Baik yang kursi roda maupun yang pakai tongkat, itu sudah cukup baik,” katanya.
Namun, Hardiyanto menambahkan sejumlah catatan kecil, seperti perlu adanya karpet di depan toilet khusus disabilitas yang mampu menyerap air dari alat bantu. “Begitu kita keluar dari kamar mandi kan tongkat basah. Sehingga kita keluar dari ruangan itu, tongkat sudah kering. Jadi kita di keramik itu tidak licin lagi. Tidak membahayakan lagi,” tuturnya.
Fasilitas toilet juga disinggung oleh Zainal, yang adalah pengguna kursi roda. Menurutnya, toilet di PN Karanganyar perlu dibenahi agar kursi roda bisa berputar di dalamnya. “Untuk pengguna kursi roda, dari depan sampai ke ruang sidang sudah cukup akses. Loket, tidak masalah, walaupun harus menulis miring kanan,” tambahnya.
Selain itu, PN Karanganyar sudah cukup aksesibel pula bagi para penyandang disabilitas netra. Prapto yang adalah seorang netra full blind mengapresiasi adanya fasilitas guiding block di depan dan belakang gedung pengadilan. Hanya saja, ia mengaku masih kesulitan dalam memperoleh infomasi peradilan.
“Untuk membaca (informasi), butuh audio atau dijelaskan sama petugas. Kalau braille itu kadang-kadang kan harus membaca terlalu banyak, juga terlalu lama. Jadi mending pakai audio. Atau misalnya ada music box yang bisa menjelaskan petunjuk,” jelas Prapto.
Ada pun Hamdali yang merupakan seorang netra low vision menyarankan agar PN Karanganyar menambahkan petunjuk berupa tanda panah dan keterangan braille di sudut-sudut penting. Menurutnya, ini diperlukan mengingat banyak hand rail atau pegangan yang terputus oleh pintu.
“Dan tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia di pelayanan. Idealnya, jangan bermindset siapa yang butuh. Artinya siapa pun yang datang juga harus dilayani dengan ramah. Memang pure betul-betul pelayanan kepada orang-orang yang mencari keadilan, tidak terbatas disabilitas saja,” tambah Hamdali.
Persoalan sumber daya manusia pun juga disinggung oleh Abas, penyandang disabilitas tuli. Ia menerangkan bahwa belum ada sama sekali petugas di PN Karanganyar yang mengusasai bahasa isyarat. Maka dari itu, perlu ada tenaga Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang utamanya menjadi pendamping di persidangan.
“Untuk media informasinya, sudah ada bahasa isyarat sebetulnya, tapi belum ada close caption. Kalau bisa, sudah ada JBI ditambah close caption. Untuk masalah cara daftar, informasi lainnya, perlu lebih diperjelas lagi,” katanya melalui perantara JBI, Bias.
Roleplay aksesibilitas juga dibimbing langsung oleh Ketua PN Karanganyar Ayun Kristiyanto. Ia menjelaskan bahwa PN Karanganyar sejak awal sudah ditunjuk sebagai pilot project pengadilan yang ramah bagi kaum rentan. “Tidak hanya disabilitas, tetapi juga terhadap perempuan, anak, dan orang tua,” tuturnya.
Kepada SAPDA, Ayun mengaku bahwa dirinya tidak mempedulikan sedikitnya populasi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum di Karanganyar. “Bukan masalah banyak dan sedikit, tapi soal pemenuhan (kebutuhan khusus). Teman-teman penyandang disabilitas ini harus setara dengan yang tidak mempunyai kelemahan,” jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris PN Karanganyar Yustinus Agus menegaskan bahwa PN Karanganyar berupaya untuk tidak eksklusif dan bisa melayani kelompok manapun dengan baik. “Siapapun bisa, mau minta keterangan apa pun silahkan. PTSP yang dulu mungkin tidak bisa melayani dengan baik, sekarang sudah lebih terbuka,” katanya.
Ia pun berharap apa yang sudah dilakukan PN Karanganyar ditiru pula oleh instansi pemerintah lainnya. “Pemerintah kita harus lebih memberikan perhatian kepada kaum rentan, karena tidak banyak instansi yang memberikan fasilitas bagi mereka,” tutup Agus.
PN Karanganyar adalah salah satu dari 11 pengadilan yang dipilih Mahkamah Agung (MA) dan mendapatkan pendanaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas. SAPDA sendiri bertugas mendampingi lima pengadilan.
Hubungan kerjasama SAPDA dengan PN Karanganyar sudah terjalin sejak 24 Maret lalu. Sebelumnya, SAPDA juga telah memberikan sosialisasi pengadilan inklusif dan peningkatan kapasitas berinteraksi dengan penyandang disabilitas kepada jajaran hakim, panitera, dan pegawai PTSP di PN Karanganyar.