Penyandang disabilitas, sebagai kelompok yang terpinggirkan, seringkali belum sepenuhnya terakses oleh layanan kesehatan seksual dan reproduksi (kespro). Padahal, penyandang disabilitas, dengan segala hambatannya dalam berinteraksi dengan lingkungan, rentan menyalahgunakan organ reproduksinya dan menjadi korban kekerasan seksual.
Minimnya layanan kespro inklusif bagi penyandang disabilitas menjadi masalah yang dihadapi para remaja di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Temuan ini diungkap oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) melalui diskusi kelompok terarah Kebutuhan atas Layanan Informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif yang diselenggarakan di Kafe Pitulas, Kulon Progo pada Senin (31/5) dan Kamis (3/6) lalu.
Aqidatul Avi dari komunitas Tuli Binangun, yang sekaligus merupakan salah satu peserta diskusi, mengatakan bahwa sebagian besar layanan kespro di Pusat Layanan Kesehatan (Puskesmas) Kulon Progo masih belum mampu diakses dengan nyaman oleh teman-teman dengan hambatan pendengaran.
“Bagi disabilitas tuli, akses informasi yang bisa dapatkan itu dari visual bukan suara. Sedangkan sekarang masih banyak (Puskesmas) yang memakai panggilan suara. Untuk teman-teman tuli, di puskesmas harus ada tanda untuk giliran yang mudah dipahami. Atau ada orang lain yang memandu untuk masuk,” kata Aqidatul.
Peserta lainnya, yaitu Oksi Kurniawan dari komunitas Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) Inklusif Kulon Progo berharap Puskesmas dan pemerintah daerah melibatkan lebih banyak kelompok remaja dalam melakukan sosialisasi seputar kespro.
“Di Puskesmas harus lebih banyak poster dan alat peraga (tentang kespro). Harapan saya, isu ini bisa lebih dibincangkan lagi dan bisa menjangkau kelompok-kelompok remaja di desa, dan dusun. Karena tidak semua bisa dapat informasi soal HKSR,” kata Oksi.
Melengkapi Oksi, Tomi Irawan dari Gerakan Swadaya Masyarakat berharap pemerintah daerah memperhatikan kebutuhan layanan kespro bagi teman-teman remaja penyandang disabilitas. Menurutnya, penyandang disabilitas perlu diberikan ruangnya sendiri untuk membicarakan isu kespro.
“Agar difabel ada ruang untuk diskusi dan sharing. Belum ada organisasi yang melibatkan teman-teman difabel remaja. Difabel juga perlu menyuarakan unek-unek mereka. Jika ada wadahnya, akan lebih pede juga. Mereka bisa lebih luas lagi belajar,” kata Tomi.
Tomi juga berharap ada layanan kespro dari Puskesmas yang menjangkau secara langsung komunitas remaja di tingkat desa atau dusun. “Saat ini remaja atau pemuda lebih suka kalau didatangi. Untuk Puskesmas, layanan ini belum ada,” ujarnya.
Sementara itu Wahyu dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kulon Progo mengatakan sosialisasi kespro dari pemerintah juga perlu menjangkau para orang tua. Menurutnya, remaja dan remaja penyandang disabilitas mengakses pengetahuan tentang kespro pertama kali dari keluarga.
“Sekolah beri informasi (tentang kespro) hanya teori, tapi secara di lingkungan orangtua juga harus ada. Jika (remaja) sudah dapat akses (informasi kespro) dari sekolah, tapi orangtuanya tidak dapat informasi yang baik, malah jelek jadinya. Kalau remaja doang tapi orang tuanya tidak disentuh ya sama saja,” kata Wahyu.
Selain itu, Wahyu juga berharap penyebaran pengetahuan tentang kespro secara digital perlu lebih banyak dilakukan. “Penyebaran data info yang penting (tentang kespro) secara digital belum ada. Di televisi, kalau dilihat beberapa tahun sejauh ini isinya penanganan demam berdarah dan stunting,” tambahnya.
Kendala Pemerintah
Di sisi lain, situasi pandemi COVID-19 membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo semakin sulit mewujudkan layanan kespro inklusif bagi penyandang disabilitas. Kondisi ini diungkapkan oleh Diah dari Dinas Kesehatan Kulon Progo. “Pas pandemi, semua (anggaran) sudah kesedot untuk penanganan dampak COVID-19,” kata Diah.
Kesulitan yang dimaksud salah satunya berkaitan dengan penyediaan media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kespro untuk penyandang disabilitas. “Fasilitas seperti ramp, handrail sudah disediakan. Tapi KIE terutama braile belum disediakan. Untuk difabel rungu, petugasnya belum bisa bahasa isyarat,” ungkap Diah.
Dalam memberikan pelayanan pun, pihaknya masih mengandalkan Pos Pembinaan Umum (Posbindu) yang menyasar penyandang disabilitas segala usia. Layanan yang diberikan juga universal dan tidak terspesifikasi kespro. “Semua jenis layanan (diberikan), tidak untuk kesehatan reproduksi saja,” terang Diah.
Selain itu, Dinas kesehatan juga belum menyediakan data, utamanya perihal jumlah penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual. “Terkait data, kita bisa saling kolaborasi data dengan Forum Penanganan Korban Kekerasan. Korban kekerasan seksual banyak yang difabel, karena difabel kelompok rentan. Kita lebih (banyak melakukan) kurasi dan rehabilitasi. Promosi kami baru (lakukan) di di SLB (Sekolah Luar Biasa),” kata Diah.
Diskusi Kebutuhan atas Layanan Informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif merupakan bagian dari upaya SAPDA untuk mengadvokasi adanya layanan informasi inklusif bagi remaja dan remaja penyandang disabilitas di Kulonprogo di bawah pendanaan Disability Rights Fund (DRF). Diskusi menghasilkan Rencana Aksi Daerah (RAD) yang akan diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Kulon Progo.
“Kita rencanakan audiensi dan publikasi ke pemerintah ke Bupati untuk memastikan rencana kedepan bisa berjalan. Jadi, bukan hanya (menghasilkan) dokumen, tapi kita memiliki rencana untuk mendukung layanan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja yang inklusif di Kulon Progo,” kata Direktur SAPDA Nurul Saadah.
Pembaca dapat mengakses dokumen Rencana Aksi Daerah melalui tautan di bawah ini: