Akses Informasi HKSR bagi Remaja Kulon Progo Masih Terbatas

Direktur SAPDA Nurul Saadah Memberikan Pemaparan Tentang HKSR kepada Remaja dan Remaja Disabilitas di Kulon Progo

Remaja dan remaja penyandang disabilitas di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta membutuhkan akses lebih terhadap informasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Pemerintah daerah pun diharapkan membuka lebih banyak akses pengetahuan HKSR bagi kelompok remaja.

Demikian temuan diskusi kelompok terarah Kebutuhan atas Layanan Informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif yang diselenggarakan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada Senin (31/52) dan Kamis (3/6) lalu di kafe Pitulas, Kulon Progo.

Diskusi berhasil mengungkap bahwa sebagian besar remaja di Kulonprogo masih mengandalkan sekolah sebagai sumber utama pemahaman kespro. Ini salah satunya diakui oleh Olva Galuh Tirta, dari komunitas remaja HKSR Kulon Progo. Ia mengakui pengetahuannya seputar HKSR selama ini diperoleh dari sekolah.

“Pertama dapat informasi seperti ini pas SD sudah pernah dipelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Kurang lebih membahas tentang sistem reproduksi. Yang terjadi, karena masih anak-anak dan bawah umur, kami masih jijik atau malu-malu. Kok rasanya asing banget,” katanya.

Olva bercerita, ketika mulai masuk ke dalam fase pubertas dan pertama kali mengalami mimpi basah, ia juga memahaminya lewat ingatan pemahaman HKSR yang sudah pernah diperoleh di sekolah. “Tidak cari informasi (lebih lanjut), karena sudah pernah belajar soal itu. Jadi ya sudah, tahu dari buku (pelajaran),” ujarnya.

Cerita serupa juga dituangkan oleh Supriyono, dari Organisasi Pemuda Semangat Inspirasi (OPSI). Ia selama ini memahami isu HKSR hanya berbekal pengetahuan yang ia dapatkan pertama kalinya saat duduk di bangku SMP. “Waktu itu jelas bingung, ada gambar yang belum pernah dilihat. Sulit mencerna. Tapi setelah itu jadi tahu banyak,” katanya.

Di samping sekolah, sebagian remaja dan remaja penyandang disabilitas di Kulon Progo juga memperoleh pemahaman HKSR dari keluarga. Ini salah satunya diungkapkan oleh Aqidatul Avi Fantika, penyandang disabilitas tuli dari komunitas Tuli Binangun. Ia mencontohkan, saat pertama kali menstruasi, Avi memperoleh informasi penanganan dari ibunya.

“Pertama kali menstruasi perasaanya ketakutan, kemudian ada rasa jijik juga. Ada rasa takut, pusing, dan sakit dipungung.  Saya tanya ibu, ‘Kenapa seperti ini?’ Ibu bilang, aku sudah haid. Ibu mengajarkan bagaimana membersihkan pakaiannya,” ujar Avi melalui perantara Juru Bahasa Isyarat (JBI), Randi.

Cerita serupa yang diungkapkan oleh Anggi Listiyanti, dari Forum Anak Kulon Progo (FAKP). Kendati sudah memahami konsep dasar menstruasi dari sekolah, Anggi mengaku masih harus mengumpulkan informasi dari keluarga, seperti cara membersihkan, cara memasang pembalut, upaya yang bisa dilakukan agar tidak terkena penyakit.

“Rasa takut saya pun lebih ke menstruasi jangka pendek. Masa pendek mens awal (idealnya) 7 hari, tapi saya 5 hari. Tanya ke mama kenapa? Katanya gak apa-apa, karena pertama kali. Sebelum menstruasi, orang tua sudah mengenalkan. Sudah pernah dipelajari di SD juga soal menstruasi. Saya sudah paham, tapi setengahnya dipahamkan orangtua,” tambahnya.

Kemudian, sumber lain adalah internet. Ini diungkapkan oleh Tomi Irawan, dari Gerakan Swadaya Masyarakat (GSM) Kulon Progo. Karena tidak mendapatkan pemahaman dari sekolah, Tomi mengaku mengandalkan kanal video YouTube. “Saya tidak sekolah lagi, jadi bergurunya dengan YouTube,” katanya.

Kesenjangan Informasi

Temuan-temuan tersebut, menurut fasilitator dari SAPDA, Yudi, menunjukan adanya kesenjangan informasi. “Ada problem kesenjangan atau gap. Informasi HKSR dari program pemerintah belum tersampaikan ke komunitas (remaja). Mereka masih dapat informasi dari orangtua, media online, atau teman-temannya. Di Kulon Progo sudah ada pilot project, tapi belum sehebat itu,” kata Yudi.

Karena itu, menurutnya program layanan informasi HKSR di Kulon Progo seharusnya berjalan lebih konkrit. “Pendekatannya perlu berbasis hak, yaitu hak kespro warga negara. Apalagi untuk teman-teman penyandang disabilitas. Di Kulon Progo sudah ada perda (peraturan daerah) sebagai dasar hukum untuk membangun HKSR inklusif,” ujar Yudi.

Melengkapi Yudi, Rina Agustin dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kulon Progo bercerita sebelumnya pemerintah telah menanamkan isu KHSR sebagai kurikulum sekolah. Namun, kala itu, kebijakan dikembalikan kepada setiap sekolah. Akibatnya penyebaran isu HKSR di sekolah menjadi kurang merata.

“Ada yang kepala sekolahnya menerima, tapi guru-gurunya tidak. Ada yang guru-gurunya menerima, tapi kepala sekolahnya tidak. Tahun 2019, isu itu hilang. DIY sudah dianggap berhasil. Dana yang masuk semakin menurun. Program relatif tidak berjalan dan tidak menjadi prioritas,” ujar Rina.

Sejumlah komunitas remaja di Kulon Progo pun mengungkapkan harapannya kepada pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan kebutuhan HKSR bagi remaja dan remaja penyandang disabilitas. Harapan salah satunya datang dari GSM yang diwakili Tomi Irawan.

“Harapannya untuk pemerintah, lebih digencarkan lagi soal (sosialisasi) kesehatan reproduksi terutama di usia remaja di Karangtaruna, dusun atau desa. Perlu dilakukan pelatihan atau diskusi ringan, biar teman-teman remaja ada tempatnya untuk menceritakan tentang kespro. Ada wadahnya,” kata Tomi.

Harapan serupa juga datang dari Forum Remaja Kulon Progo yang diwakili oleh Siti Zubaidah. Ia ingin kelompok remaja dan pemerintah daerah bisa bekerjasama langsung dalam mengadvokasi isu HKSR di Kulon Progo. “Terkait pembuatan kebijakan misalnya, remaja harus dilibatkan. Supaya tahu pemerintah punya kebijakan untuk remaja,” katanya.

Diskusi Kebutuhan atas Layanan Informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif merupakan bagian dari upaya SAPDA untuk mengadvokasi adanya layanan informasi inklusif bagi remaja dan remaja penyandang disabilitas di Kulonprogo di bawah pendanaan Disability Rights Fund (DRF). Diskusi menghasilkan Rencana Aksi Daerah (RAD) yang akan diserahkan kepada pemerintah Kabupaten Kulon Progo.

“Kita rencanakan audiensi dan publikasi ke pemerintah ke Bupati untuk memastikan rencana kedepan bisa berjalan. Jadi, bukan hanya (menghasilkan) dokumen, tapi kita memiliki rencana untuk mendukung layanan informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas remaja yang inklusif di Kulon Progo,” kata Direktur SAPDA Nurul Saadah.

Pembaca dapat mengakses dokumen Rencana Aksi Daerah melalui tautan di bawah ini:

Rencana Aksi Daerah Pemenuhan Kebutuhan Atas Layanan dan Informasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Inklusif bagi Remaja dan Remaja Penyandang Disabilitas di Kulon Progo