Puluhan kader inklusi dari 4 Kemantren di Kota Yogyakarta mengikuti training of trainer perlindungan khusus anak penyandang disabilitas tahap 2 yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada Rabu (2/6). Para kader pun diharapkan mampu memberikan pendampingan kepada keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas.
Konselor Psikologi Rumah Cakap Bermartabat (RCB) Putrawansyah, salah satu narasumber, mengatakan kader inklusi punya peran strategis dalam meningkatkan penerimaan keluarga dengan anak penyandang disabilitas. Ini bisa dilakukan melalui pendekatan persuasif, yakni diutamakan membangun komunikasi alih-alih mengedepankan koleksi informasi.
“Mengoleksi datanya di belakang saja. Pertama disampaikan komunikasi persuasif pada ibu dan ayah. Hal ini ada untuk membangun report. Apapun yang kita minta, setelah report terbangun, akan muncul sendirinya. Jadi yang pertama komunikasi persuasif, membangun report, baru mengumpulkan informasi, kronologis, dan riwayat,” jelas Putra.
Ada pun jika telah terjadi kekerasan, menurut Putra, para kader inklusi perlu mengakomodir pelepasan stress untuk memulihkan kondisi mental anak penyandang disabilitas. “Karena dengan stabilitas mental, pemilihan rasional dari korban makin mumpuni. Sebagai teman dengar dari orang yang mengalami kekerasan, dengarkan apa yang dia inginkan,” katanya.
Ketika hendak mengambil jalur hukum, Putrawansyah mengatakan penting untuk menyimpan bukti-bukti yang jelas. “Sebisa mungkin bekas luka atau potret kejadian lainnya bisa disimpan oleh keluarga terdekat, sebagai bahan merujuk ke kepolisian,” ujarnya.
Narasumber lain, yakni Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Yogyakarta Edy Muhammad mengajak para kader inklusi memberikan pendampingan lebih kepada keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas.
“Pemerintah Kota pun sedang berproses, di mana yang kita hadapi ini sebetulnya lebih pada konteks keluarganya. Karena (kondisi keluarga) nanti berdampak pada si anak juga dalam dia bersosial. Kami makanya selalu kami meminta dan mengajak, ayo kita kuati dalam rangka membangun Jogja sebagai kota inklusif,” jelas Edy.
Edy melanjutkan, para kader inklusi perlu memastikan keluarga tidak sekedar menjalani fungsi ekonomi dan agama, tetapi juga fungsi kasih sayang kepada anak penyandang disabilitasnya. “Nah, apa yang diinisiasi oleh SAPDA dengan ToT hari ini, harapannya yang muncul perwakilan orang yang bisa mensosialisasikan hal ini,” tegasnya.
Edy pun tidak menampik bahwa masih banyak keluarga yang memiliki penerimaan yang kurang terhadap anak penyandang disabilitas. “Contoh, orangtua masih menyembunyikan anak karena anaknya difabel, jadi tidak terinformasikan. Kami rasakan, karena ada deviasi (data yang) luar biasa antara yang dihitung oleh lembaga dengan RT RW,” kata Edy.
Edy melanjutkan, kondisi tersebut membuat anak penyandang disabilitas semakin rentan menerima kekerasan dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. “Anak-anak yang terlibat kekerasan ternyata penyebabnya adalah brokenhome, narkoba. Kemudian di sekolah kebetulan belum ramah anak (disabilitas), akhirnya dia mencari aktualisasi diri,” jelasnya.
Kegiatan ini merupakan tahap kedua dari rangkaian ToT kader inklusi upaya perlindungan khusus anak penyandang disabilitas Kota Yogyakarta. Sebelumnya, para kader inklusi telah memperoleh informasi tentang konsep-konsep dasar tentang isu anak penyandang disabilitas, pola asuh, kerentanan yang mengancamnya, dan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam upaya pemenuhan hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas.
Dan kini, para kader inklusi mendapatkan bekal lebih lanjut tentang cara menjangkau dan memberikan pendampingan kepada anak penyandang disabilitas, dan apa yang bisa dilakukan ketika menemukan keluarga yang menyembunyikan kondisi disabilitas anaknya. Para kader berasal dari Kemantren Kotagede, Kemantren Wirobrajan, Kemantren Kraton, dan Kemantren Jetis.
Para kader inklusi juga diajak untuk melakujan simulasi menggunakan studi kasus. Mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok, dimana setiap kelompok diberikan tugas untuk memecahkan masalah yang berbeda-beda terkait anak penyandang disabilitas. Kegiatan ini terlaksana dengan pendanaan dari Disability Rights Fund (DRF).