Mitos Keturunan Membuat Anak Disabilitas Sering Disembunyikan

Konselor Psikolog RCB SAPDA sedang memaparkan materi tentang upaya yang bisa dilakukan jika ada keluarga yang menyembunyikan anak penyandang disabilitas.

Tidak adanya penerimaan menjadi salah satu masalah yang terjadi pada keluarga dengan anak penyandang disabilitas. Tertutupnya informasi tentang isu disabilitas membuat banyak keluarga sulit memahami kondisi kedisabilitasan anak. Kondisi ini seringkali berujung pada tindakan menyembunyikan dan membatasi interaksi anak dengan lingkungan luar.

Konselor Psikologi dari Rumah Cakap Bermartabat (RCB), Putrawansyah mengatakan tertutupnya informasi tentang isu disabilitas bagi keluarga umumnya disebabkan oleh pemikiran konservatif berkaitan dengan budaya atau norma tertentu.

“Budaya dan norma yang dianut, menutup bagaimana cara kita menanggapi hal yang sebenarnya sekarang sudah punya jawaban,” kata Putra saat menjadi narasumber dalam pelatihan kader inklusi Kota Yogyakarta yang diselenggarakan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) pada Rabu (2/6) lalu.

Putrawansyah memberikan contoh, mayoritas keluarga yang ia temui menganggap kondisi kedisabilitasan anak sebagai faktor keturunan. Seorang ibu yang melahirkan anak penyandang disabilitas rentan mendapatkan stigma pemberi keturunan yang buruk olah anggota keluarga yang lainnya.

“Padahal banyak hal yang bisa membawa kedisabilitasan, tidak hanya dari keturunan. Misalnya bagaimana ia mengikuti program ibu hamil, apa yang terjadi selama kehamilan, bisa jadi terpapar polusi, dan lain sebagainya,” jelas Putrawansyah.

Tidak adanya penerimaan keluarga terhadap anak penyandang disabilitas pada akhirnya berdampak pada pola pengasuhan yang salah. “Bagaimana seseorang menerima kondisi akan memberikan efek bagaimana menyikapi sebuah peristiwa. Mengapa ada orang yang kurang optimal dalam pengasuhan, karena penerimaan dia belum baik,” kata Putrwansyah.

Senada dengan Putrawansyah, Direktur SAPDA Nurul Saadah menilai bahwa mitos-mitos tentang disabilitas yang beredar di masyarakat menjadi tantangan dalam mendorong penerimaan keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas.

“Misalnya, mitos (bahwa kondisi disabilitas adalah persoalan) genetik, (bisa) menurun, padahal tidak semuanya. Yang (disebabkan) keturunan tidak sampai 1%, sisanya adalah situasi lain yang menyebabkan itu,” jelas Nurul yang hadir sebagai moderator.

Menurut Nurul, adanya mitos-mitos tersebut pun tidak hanya menurunkan penerimaan keluarga terhadap anak penyandang disabilitas, melainkan juga memberikan dampak tekanan kepada perempuan yang melahirkannya. Tekanan ini seringkali hadir dari keluarga yang umumnya menuntut anak lahir tanpa disabilitas.

“Saat kemudian anak itu lahir dengan disabilitas, ibu bisa dapat tekanan. ‘Kok kamu enggak hati-hati?’, ‘Kenapa membawa keturunan seperti itu?’ Pemahaman masyarkat belum clear, bayangannya anak disabilitas tidak punya masa depan, tidak bisa diharapkan, dianggap buruk atau membebani keluarga atau masyarakat,” kata Nurul.

Kerentanan yang lebih besar pun terjadi pada perempuan yang menghadapi tekanan langsung dari pasangan. Misalnya, laki-laki mengancam menceraikan karena perempuan telah melahirkan anak penyandang disabilitas. “Karena emosi, bisa jadi dia melakukan kekerasan fisik kepada anak,” kata Nurul.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Putrawansyah menilai, keberadaan orang-orang di lingkungan sekitar anak penyandang disabilitas memiliki peran penting dalam meningkatkan penerimaan keluarga. “Tugas kita pertama menyampaikan bahwa ketidaklengkapan kondisi fisik tertentu atau hambatan lainnya, tidak menurunkan arti sebagai manusia,” katanya kepada para kader inklusi.

Menurut Putrawansyah, dalam mendorong penerimaan keluarga yang memiliki anak penyandang disabilitas, penting untuk menerapkan pendekatan persuasif, yakni pendekatan yang mengedepankan terbangunnya komunikasi alih-alih koleksi informasi.

“Mengoleksi datanya di belakang saja. Pertama disampaikan komunikasi persuasif pada ibu dan ayah. Hal ini ada untuk membangun report. Apapun yang kita minta, setelah report terbangun, akan muncul sendirinya. Jadi yang pertama komunikasi persuasif, membangun raport, baru mengumpulkan informasi, kronologis, dan riwayat,” jelas Putrawansyah.

Ada pun jika telah terjadi kekerasan penting untuk mengakomodir pelepasan stress untuk memulihkan kondisi mental anak penyandang disabilitas. “Karena dengan stabilitas mental, pemilihan rasional dari korban makin mumpuni. Sebagai teman dengar dari orang yang mengalami kekerasan, dengarkan apa yang dia inginkan,” katanya.

Ketika hendak mengambil jalur hukum, Putrawansyah mengatakan penting untuk menyimpan bukti-bukti yang jelas. “Sebisa mungkin bekas luka atau potret kejadian lainnya bisa disimpan oleh keluarga terdekat, sebagai bahan merujuk ke kepolisian,” ujarnya.

Kegiatan ini merupakan tahap kedua dari rangkaian ToT kader inklusi upaya perlindungan khusus anak penyandang disabilitas Kota Yogyakarta. Sebelumnya, para kader inklusi telah memperoleh informasi tentang konsep-konsep dasar tentang isu anak penyandang disabilitas, pola asuh, kerentanan yang mengancamnya, dan berbagai upaya yang telah dilakukan dalam upaya pemenuhan hak dan kebutuhan khusus anak disabilitas.

Dan kini, para kader inklusi mendapatkan bekal lebih lanjut tentang cara menjangkau dan memberikan pendampingan kepada anak penyandang disabilitas, dan apa yang bisa dilakukan ketika menemukan keluarga yang menyembunyikan kondisi disabilitas anaknya. Para kader berasal dari Kemantren Kotagede, Kemantren Wirobrajan, Kemantren Kraton, dan Kemantren Jetis.

Para kader inklusi juga diajak untuk melakukan simulasi menggunakan studi kasus. Mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok, dimana setiap kelompok diberikan tugas untuk memecahkan masalah yang berbeda-beda terkait anak penyandang disabilitas. Kegiatan ini terlaksana dengan pendanaan dari Disability Rights Fund (DRF).