Anak penyandang disabilitas memiliki kebutuhan khusus, termasuk dalam hal pengasuhan. Hampir semua orang tua mengalami kesulitan ketika mengasuh anak yang menyandang kondisi disabilitas. Situasi ini tergambarkan jelas dalam Diskusi Puncak Pengasuhan Anak Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada Sabtu (11/6) di pendopo SAPDA, Kota Yogyakarta.
Di dalam kegiatan tersebut, perwakilan orang tua dari 5 ragam anak penyandang disabilitas asal Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo menceritakan tantangannya masing-masing berdasarkan pengalamannnya mengasuh anak penyandang disabilitas. Dari cerita-cerita yang ada, pengembangan bakat dan minat menjadi satu dari sekian tantangan yang dialami.
Tantangan dalam mengembangkan bakat dan minat anak penyandang disabilitas salah satunya diungkapkan oleh Adi, orang tua dari anak penyandang disabilitas mental. Ia mengatakan tantangan ini mulai terasa ketika pandemi COVID-19 yang berdampak pada tutupnya sekolah selama kebijakan pembatasan. Berhentinya kegiatan belajar mengajar membuat anaknya kehilangan semangat untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
“Selama ini, setelah libur panjang itu hampir niatan untuk sekolah tidak ada. Itu sangat membuat saya prihatin. Bagaimana untuk ke depannya kalau nanti sampai sama sekali enggak mau berangkat untuk mengenyam, menambah ilmu di sekolah,” kata Adi.
Semangat anaknya baru kembali ketika Adi mengikutsertakannya dalam kompetisi fashion show yang diadakan salah satu sekolah. “Kemauan yang kemarin hampir punah, akan tumbuh lagi ketika kita pancing dengan satu hal yang bisa membangkitkan semangatnya. Kita harus memahami bagaimana kemauan anak itu kita, membuat strategi biar ada semangat untuk lebih maju lagi,” ujarnya.
Tantangan yang lainnya adalah menjaga kesehatan seksual dan reproduksi anak penyandang disabilitas, terutama ketika sudah mencapai masa pubertas. Hal ini salah satunya diungkapkan oleh Fianti Maya Sari, orang tua dari anak penyandang disabilitas intelektual grahita. Ia mengatakan, anak penyandang disabilitas rentan menjadi korban penyalahgunaan organ seksual dan reproduksi.
“Karena anak-anak kami sama seperti orang-orang yang non difabel, memiliki ketertarikan (secara seksual). Tetapi anak-anak kami rawan dimafaatkan karena mereka tidak tahu mana yang bener dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh sebelum kita memberitahu. Sampai saat ini saya berbicara pun, saya masih menghadapi tantangan yang sangat luar biasa apalagi di masa puber,” kata Maya.
Beruntungnya, Maya mendapatkan dukungan dari pasangan dalam mengajarkan anaknya tentang kesehatan seksual dan reproduksi. Ia juga mengaku mendapatkan banyak pembelajaran dari SAPDA tentang menjaga kesehatan seksual dan reproduksi anak penyandang disabilitas. Ilmu yang diperoleh tersebut kemudian ia terapkan langsung di lingkungan keluarga.
“Ketika pubertas, saya jelaskan bagian tubuh mana yang boleh disentuh dan yang enggak boleh disentuh, siapa saja (yang boleh menyentuh) dan harus dalam keadaan apa saja. Anak anak saya kan (disabilitas) grahita ya. Jadi memahamkan mereka supaya mengerti dan paham itu luar biasa. Pada suka lupa, ngeyel, tantrum,” tutur Maya.
Hal lainnya yang tak kalah menjadi tantangan adalah perihal akses layanan kesehatan. Tantangan ini salah satunya diungkapkan oleh Tri, orang tua dari penyandang disabilitas Tuli. Ia bercerita anaknya tidak pernah bisa mengakses layanan terapi gratis, kendati sudah terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dari pemerintah selama 2 tahun terakhir.
“Jam terapi kan sedikit, jadi saya selalu kalah dengan yang bayar. Saya itu sekali ke rumah sakit bawa uang 800 ribu hanya untuk bayar dan belum termasuk transportnya. Dengan itu, saya masih bisa menterapi anak saya. Tapi kalau untuk gratis-gratis itu saya nggak pernah dapat,” tutur Tri.
Karena situasi tersebut, Tri lantas berusaha mendaftarkan identitas anaknya sebagai penyandang disabilitas ke pemerintah Kelurahan atau pemerintah Kecamatan, dengan harapan bisa mengakses layanan gratis. Namun upaya ini tetap tidak membuahkan hasil.
“Saya enggak tahu kenapa. Apakah karena saya kurang dekat atau karena mereka sebal dengan saya karena terlalu vokal. Yang jelas saya sampai matur, tapi sampai detik ini tidak pernah ada. Anak yang lain kok pada dapat? Kenapa anak saya enggak? Padahal saya itu sudah sangat heboh. Kesana kemari ngeluh,” katanya.
Masalah kemudian bertambah, ketika Tri sendiri juga harus pergi ke layanan kesehatan. Ia bingung kepada siapa harus menitipkan anaknya, mengingat anak penyandang disabilitas memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap orang dewasa. “Karena kondisi seperti ini kita bingung. Ini saya mau operasi lho, mosok yo ora entok? Mau dititipkan ke siapa itu bingung,” ujarnya.
Lebih lanjut, Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani yang memfasilitasi kegiatan ini mengatakan, berbagai cerita tantangan pengasuhan anak penyandang disabilitas yang telah diungkapkan Adi, Maya, Tri dan para orang tua lainnya akan menjadi dasar bagi SAPDA dalam melakukan advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas ke depan.
Sebagai informasi, kegiatan yang terselenggara berkat dukungan pendanaan dari Disability Rights Fund ini sebelumnya telah berlangsung dalam tiga sesi masing-masing di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo. Pada dua sesi sebelumnya, SAPDA telah mengumpulkan data-data awal terkait pengalaman orang tua dalam mendidik, membangun komunikasi dan kemandirian anak penyandang disabilitas.