Sebanyak 159 aparatur pengadilan yang tersebar dari 29 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan 4 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) resmi menyelesaikan pelatihan isu disabilitas yang diselenggarakan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) sepanjang Desember 2021 hingga Mei 2022 lalu.
Direktur Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (Dirjen Badimiltun) Lulik Tri Cahyaningrum menyampaikan ucapan terima kasih kepada SAPDA yang sudah memberikan kesempatan bagi jajarannya untuk mempelajari dan memahami layanan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
“Mudah-mudahan pelatihan ini membuka pikiran kita sebagai pejabat publik untuk memberikan layanan publik yang terbaik. Sehingga masyarakat, termasuk penyandang disabilitas meningkatkan kepercayaannya kepada lembaga peradilan. Semoga kita bisa menjadi lebih memahami kebutuhan mereka dalam layanan-layanan yang akan diberikan oleh pengadilan,” kata Lulik ketika memberikan sambutan dalam penutupan pelatihan yang berlangsung secara daring pada Jumat (3/6) lalu.
Selain itu, Lulik juga berharap para aparatur pengadilan yang telah menuntaskan pelatihan memperbaiki cara pandangnya dalam melihat penyandang disabilitas. “Kita tidak bisa memandang bahwa selama ini mereka adalah warga negara kelas dua, tidak normal atau penyakit. Tetapi kita harus memahami bahwa ini adalah sesuatu yang harus dihadapi. Tugas kita adalah mengimplementasikan dan terus meningkatkan apa yang sudah kita pelajari dan menyosialisasikannya kepada rekan-rekan yang lain,” tambahnya.
Menanggapi Lulik, Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani juga mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Badimiltun yang telah mempercayakan pihaknya untuk memberikan pelatihan kepada jajaran petugas PTUN dan PTTUN. “Dengan adanya kesempatan ini, kami berharap Pengadilan Tata Usaha Negara semakin inklusif dan ramah disabilitas ke depannya, serta berkontribusi dalam mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas,” katanya.
Nurul juga menyampaikan apresiasinya atas komitmen Badimiltun, sebab organisasi penyandang disabilitas tidak mungkin dapat mendorong peradilan inklusif tanpa adanya dukungan dan inisiatif dari lembaga pengadilan. “Kita semua mempunyai kewajiban untuk berkontribusi dalam mewujudkan Pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan-pengadilan lain di Indonesia untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi disabilitas,” ujarnya.
Peserta Terbaik
Lebih lanjut, penutupan pelatihan ini juga diselenggarakan dalam rangka menyampaikan sertifikat penghargaan secara simbolis kepada Dirjen Badimiltun dan semua institusi pengadilan yang telah mengalokasikan aparaturnya untuk mengikuti pelatihan hingga pertemuan terakhir.
Selain itu, SAPDA juga memberikan penghargaan khusus kepada dua aparatur pengadilan yang ditetapkan sebagai peserta terbaik karena keaktifannya selama mengikuti pelatihan. Peserta tersebut adalah Muhammad Roihan dari PTUN Surabaya dan Stryana Berutu dari PTUN Medan.
Roihan mengaku mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat setelah mengikuti pelatihan. “Saya mendapatkan apa yang mulanya belum pernah saya ketahui, seperti berbagai macam ragam disabilitas dan perlakuan khususnya masing-masing sesuai dengan ragamnya, bahwa ternyata tiap disabilitas kebutuhannya berbeda-beda,” ucapnya saat menyampaikan testimoni di sela-sela penutupan pelatihan.
Namun, Roihan menyayangkan para aparatur pengadilan tidak mendapatkan kesempatan untuk bertatap muka dan beinteraksi langsung dengan teman-teman penyandang disabilitas. “Harapannya kami bisa bertemu langsung, dan pelatihan semacam ini terus ada sehingga bisa lebih mengetahui ragam dan kebutuhan disabilitas yang memerlukan bantuan di PTUN Surabaya khususnya,” tambahnya.
Sementara Satryana mengungkapkan bahwa pelatihan ini memberikan wawasan-wawasan baru tentang fasilitas yang diperlukan oleh penyandang disabilitas dalam pelaksanaan proses peradilan. “Pelatihan ini juga berguna dalam meningkatkan keterampilan terkait penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas saat berhadapan dengan hukum di PTUN, mulai mencakup meja pelayanan hingga sarana dan prasarana seperti yang diatur dalam PP Nomor 39 tahun 2020,” ujarnya.
Di sisi lain, Rini Rindawati dari Women Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA mengungkapkan pelatihan ini tidak luput dari tantangan dan hambatan. Ia tidak menampik bahwa isu disabilitas adalah hal yang baru bagi aparatur PTUN, sehingga peserta mungkin masih tertukar-tukar dalam mengidentifikasi ragam disabilitas.
“Peserta juga belum memahami kebutuhan khusus penyandang disabilitas sesuai sub ragam. Dari satu ragam, masih ada kekhususan lain yang berbeda-beda meskipun ragam disabilitasnya sama. Bisa jadi disabilitas fisik cerebral palsy dengan disabilitas fisik polio berbeda kebutuhannya. Dengan orang mini juga berbeda,” kata Rini ketika mempresentasikan laporan hasil pelatihan.
Pelatihan isu disabilitas ini merupakan bagian dari upaya advokasi SAPDA dalam mendorong peradilan yang inklusif dan mendukung pemenuhan hak perempuan dan anak penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum. Kegiatan ini terselenggara atas dukungan pendanaan dari Pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).