UU TPKS Berpihak pada Korban Disabilitas

Konselor Hukum dari UPTD PPA Kota Yogyakarta Catur Udi Handayani sedang menjadi narasumber dalam lokakarya bedah UU TPKS bersama seluruh staff SAPDA dan perwakilan organisasi penyandang disabilitas. Bagikan

Lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membuka ruang lebih besar bagi penanganan yang lebih optimal terhadap kasus kekerasan seksual. Jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya, UU TPKS lebih banyak menyorot pemenuhan hak korban, tidak terkecuali korban penyandang disabilitas.

Konselor hukum dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Yogyakarta Catur Udi Handayani menyontohkan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) misalnya lebih memperhatikan kepentingan pelaku dan sama sekali belum mengatur hak-hak korban kekerasan seksual.

“Jadi di KUHAP, hukum acaranya itu mengatur pelaku berhak didampingi pengacara, pelaku berhak dikunjungi oleh keluarganya, pelaku berhak mendapat kunjungan dari rohaniawan. Banyak sekali hak-hak pelaku yang ditulis dengan sangat rigid di KUHAP. Sementara tidak ada satupun hak korban tertulis di situ,” katanya ketika menjadi narasumber dalam lokakarya Bedah UU TPKS yang diselenggarakan Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada Rabu (9/11) 2022.

Sebaliknya, pasal-pasal pada UU TPKS sudah lebih berpihak pada kepentingan korban. “UU TPKS ini kemudian memang tujuannya adalah berpihak pada korban. Korban ini tidak harus perempuan. Dia bisa laki laki, bisa disabilitas maupun non disalibitas. Yang kita syukuri adalah perspektifnya pada korban. Hak-hak korban di situ menjadi sangat jelas,” ujar Udi.  

Keberpihakan UU TPKS pada korban penyandang disabilitas salah satunya terlihat dengan adanya pengecualian delik aduan pada kasus pelecehan seksual non fisik yang menyasar korban penyandang disabilitas (Pasal 7). “Jadi meskipun itu pelecehan seksual non fisik tetapi korbannya disabilitas atau anak, maka itu masuk delik umum. Meskipun (aduan) itu dicabut, proses tetap berjalan,” kata Udi.

Selain itu, Udi mengatakan UU TPKS juga mengatur pemberatan hukuman sepertiga dari pidana bagi pelaku kekerasan seksual jika korbannya merupakan penyandang disabilitas (Pasal 15). “Ini menegaskan kembali soal kerentanan penyandang disabilitas, soal hambatan dan ketidakberdayaan,” tutur Udi.

Kemudian, UU TPKS juga menyetarakan antara kesaksian korban atau saksi penyandang disabilitas dengan kesaksian dari individu tanpa disabilitas (Pasal 25). “Kalau dulu selalu diragukan ketika saksinya adalah penyandang disabilitas. Dengan UU TPKS, diharapkan lebih dipahami bahwa enggak masalah penyandang disabilitas atau bukan, keduanya (kesaksian) mempunyai kekuatan hukum yang sama,” tegas Udi.

Hak Kebutuhan Khusus Disabilitas

Lebih lanjut, UU TPKS turut memastikan pemenuhan kebutuhan khusus penyandang disabilitas yang mengalami tindak kekerasan seksual. Beberapa bagian dari Undang-undang yang disahkan pada 11 Mei 2022 tersebut mengatur langsung hak-hak korban penyandang disabilitas yang perlu diakomodir berkaitan dengan hambatan kedisabilitasannya.

Koordinator sekaligus konselor hukum unit layanan Rumah Cakap Bermartabat (RCB) SAPDA Arini Robbi Izzati menyontohkan, Pasal 27 UU TPKS misalnya mengatur bahwa korban penyandang disabilitas dapat didampingi oleh orang tua atau wali yang telah ditetapkan oleh pengadilan atau pendamping.

“Ini sangat baik, bagian dari bentuk perlindungan khusus dan lebih dari teman teman penyandang dsaibilitas. Pendamping ini bisa kita terjemahkan sebagai pendamping disabilitas atau JBI (Juru Bahasa Isyarat). Ini menunjukkan bahwa Undang-undang ini sudah mengakomodir kebutuhan penting peyandang disabilitas,” kata Arini.

Selain itu, UU TPKS juga mewajibkan adanya aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual dengan korban penyandang disabilitas. Hal ini di antaranya diatur dalam pasal 66 UU TPKS. Pasal 70 pun mengatur bahwa aksesibilitas dan akomodasi yang layak wajib diberikan saat pemulihan sebelum dan selama proses peradilan.

“Sekali lagi ini menjamin hak korban penyandang disabilitas untuk dapat dipenuhi. Tanpa adanya aksesibilitas akomodasi yang layak, maka pemenuhan hak korban itu tidak ada. Kita ketahui sendiri bahwa teman-teman penyandang disabilitas membutuhkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak ketika dia berproses di peradilan,” tutur Arini.

Lebih lanjut, UU TPKS juga memberikan amanat bagi beberapa pemangku kepentingan yang memiliki peran strategis dalam memastikan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual. Misalnya, pasal 76 mengamanatkan UPTD PPA untuk memfasilitasi kebutuhan korban penyandang disabilitas dalam penanganan, perlindungan dan pemulihan.

Pasal 83 UU TPKS juga mewajibkan Komisi Nasional Disabilitas untuk melakukan pemantauan kemajuan penanganan kasus kekerasan dengan korban penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, pasal 73 juga memberikan wewenang bagi organisasi penyandang disabilitas untuk mengambil peran dalam penyediaan layanan terpadu bagi penyandang disabilitas korban kekerasan seksual.

Namun, Arini mengingatkan, peran lebih lanjut dari para pemangku kepentingan tersebut perlu diatur dalam peraturan-peraturan turunan UU TPKS yang sifatnya lebih teknis. “Namanya Undang-undang itu kan belum teknis sekali. Teknisnya ada di Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Ini harus segera dibuat. Kalau tidak salah 2 tahun (setelah terbitnya Undang-undang). Itu yang harus kita kawal, karena di situlah hal-hal teknis baik di tingkat Kementerian maupun di tingkat lembaga menerjemahkan apa yang ada di UU TPKS ini,” tandasnya.

Sebagai informasi, SAPDA menyelenggarakan lokakarya Bedah UU TPKS sebagai ruang belajar bersama untuk memahami amanat dan kebaruan dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana UU TPKS melihat dan menempatkan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual.

Lokakarya Bedah UU TPKS difasilitasi oleh Irmaningsih Pudyastuti dari Gender Equality, Disability & Social Inclusion (GEDSI) SAPDA serta diikuti oleh seluruh jajaran staff Yayasan SAPDA bersama beberapa perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas. Kegiatan ini terselenggara dengan dukungan pembiayaan dari pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).