Hak Reproduksi Perempuan Penyandang Disabiltas Intelektual: dari Persoalan Kebersihan sampai Pemaksaan Kontrasepsi

Gambar menunjukkan seorang dokter yang sedang membawa alat peraga alat kesehatan reproduksi vagina.

Melihat lebih dekat Hak Reproduksi bagi Penyandang Disabilitas

“Jika diingat-ingat, kali pertama Rini memasang alat kontrasepsi pada usia lima belas. Dipasang oleh bidan, atas persetujuan ibunya.”  Saya bertandang ke rumah Rini, salah satu penyandang disabilitas intelektual—down syndrome—dan berbincang dengan Marni, pengasuh Rini selama lebih dari sepuluh tahun kini. “Tujuannya sebenarnya baik, waktu itu banyak berita tentang kekerasan yang dialami penyandang disabilitas seperti Rini. Ibunya takut, keluarga juga sepakat. Lagi pula Rini juga nggak bisa punya anak.”

Saya sesaat sempat tertegun. Berusaha melihat bagaimana bahkan pada lingkungan keluarga terdekat, sering kali penyandang disabilitas dianggap sebagai individu yang tidak memiliki ketertarikan seksual dan tidak dapat menyadari adanya hasrat seksual. Padahal, pandangan ini telah lama ini ditepis, salah satunya melalui tulisan menarik dari Gillian Estgate berjudul Sexual Health for People with Intellectual Disability, tulisan ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas intelektual juga merasakan kebutuhan seksual dan hasrat yang sama dengan seperti orang pada umumnya. Namun, pada kasus tertentu, penyandang disabilitas intelektual mengalami pemaksaan kontrasepsi karena dikhawatirkan saat mengalami kekerasan atau melakukan hubungan seksual maka penyandang disabilitas mengalami kehamilan—sehingga kontrasepsi menjadi jalan keluar satu-satunya. Anggapan ini adalah suatu logical fallacy, suatu kesesatan dalam berpikir: bahwa alih-alih mengupayakan hukuman maksimal bagi pelaku, sebagian (keluarga, aparat penegak hukum, lingkungan sekitar) justru berpandangan untuk mengekang hak reproduksi dari korban agar tidak merepotkan sekitar. Alih-alih menghentikan kekerasan seksual, jalan pintas dengan memasangkan kontrasepsi ini justru semakin menyuburkan kekerasan seksual pada penyandang disabilitas intelektual karena tahu sebagian besar dari mereka melakukan kontrasepsi dan memiliki risiko rendah mengalami kehamilan. Bagi saya, kenapa kita tidak memastikan ada ruang aman bagi semua orang dan khususnya kelompok rentan pada tempat pertama? Kenapa seolah-olah kita membiarkan kekerasan seksual terjadi pada penyandang disabilitas, asalkan mereka tidak mengalami kehamilan?

“Sebelum menikah, saya dipaksa keluarga untuk pakai kontrasepsi.” Pengalaman yang sama juga dirasakan oleh Ratri, penyandang disabilitas intelektual akibat diagnosa gangguan autisme sejak remaja. Meskipun dengan terapi dan kondisinya berangsur-angsur membaik, tetapi stigma itu masih ia terima hingga sekarang. “Saya sering kali ditanya: kalau saya hamil, kalau saya punya anak, siapa yang merawat anak saya? Apa mental saya mampu untuk menahan beban kehamilan? Merawat diri sendiri saja nggak bisa, apalagi punya anak?” Ratri juga turut menceritakan sulit baginya untuk mengakses hak kesehatan reproduksi, karena keterbatasan mobilitas fisik yang ia alami ditambah sampai saat ini akses terhadap hak reproduksi sangat terbatas dapat dipahami.

“Belum lagi kita berbicara tentang penyandang disabilitas intelektual remaja: bagaimana cara mereka mengakses dan mengeksplorasi aspek ketubuhan mereka? Mulai dari kebersihan ketika mengalami menstruasi kali pertama: bagaimana mereka mengetahui siklus menstruasi, mengelola dengan rasa sakit di mana di beberapa ragam disabilitas intelektual mengalami masalah untuk mengkomunikasikan baik secara verbal atas apa yang dirasa, hingga memilih produk menstruasi dan kebersihan yang tepat?” ucap Nurul saat di sela-sela perbincangan kami di forum diskusi SRH. “Inilah pekerjaan rumah kita bersama yang mungkin membutuhkan waktu yang lama.”

Social Determinant of Health berkaitan dengan Akses Hak Reproduksi

Ketika kita berbicara terkait hambatan terhadap akses hak reproduksi—kita tidak bisa melepaskannya dari konsep Social Determinant of Health (SDH) yang diperkenalkan oleh Dahlgreen dan Whithead pada tahun 1991 dan terus dikembangkan dan digunakan sebagai acuan ketika berbicara terkait faktor-faktor non medis yang mempengaruhi kesehatan. Konsep ini membawa pemahaman lebih komprehensif bahwa suatu fenomena kesehatan akan sangat berkelindan dengan banyak faktor-faktor sosial lainnya. Pertama, faktor individual terkait dengan tingkat ekonomi, pendidikan, dan geografis, bahkan kebudayaan yang dipersepsikan oleh individu. Kedua, faktor sosial seperti relasi dengan lingkungan, pekerjaan, dan sarana aktualisasi diri. Ketiga, ada pada tataran yang lebih luas, faktor ini termasuk suatu iklim kebijakan maupun politik suatu negara.

Penelitian dari Mitchell dkk yang berjudul Contraceptive Provision to Women with Intellectual and Developmental Disabilities Enrolled in Medicaid, melihat bahwa penyandang disabilitas intelektual menghadapi permasalahan dalam mengakses kesehatan reproduksi: meliputi aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif (termasuk isu isolasi sosial), keterbatasan dalam pengambilan keputusan (decision making), dan pengetahuan terkait dengan kontrasepsi yang terbatas. Lebih jauh, penyandang disabilitas intelektual sering kali tidak diberikan informasi terkait ketubuhan mereka, dan mengalami supresi terhadap ekspresi diri secara seksual, bahkan kerap dihukum ketika mencoba melakukannya.

Di dalam aspek pendidikan misalnya, pengetahuan dasar seputar kontrasepsi—yang bahkan pada masyarakat umum masih dipersepsikan tabu, lantas bagaimana penyandang disabilitas intelektual bisa mengaksesnya? Belum lagi kita bicara tentang pengetahuan kesehatan dan promosi kesehatan serta konseling yang disampaikan dengan bahasa yang sulit dipahami atau bahkan akses terhadap sarana pendidikan itu sendiri yang masih minim. Atau ketika berbicara tentang bagaimana kultur memberikan stigma pada penyandang disabilitas intelektual. Stigma ini kemudian membawa pada kesalahan pemahaman tanpa melihat ragam penyandang disabilitas intelektual itu sendiri.

Cukupkah Regulasi Kita?

Di atas kertas, kita melihat banyak peraturan berkaitan dengan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Telah lebih dari satu dekade berlalu sejak Indonesia meratifikasi ketentuan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui ketentuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011, dan lima tahun setelahnya mengundangkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang isinya telah banyak diselaraskan dengan ketentuan konvensi. Lebih konkret lagi, hak-hak penyandang disabilitas, khususnya berkaitan dengan hak reproduksi tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan yang terbaru peraturan pelaksana dari UU tersebut, PP No. 28 Tahun 2024. Namun, apakah ketentuan ini telah terlaksana dengan optimal?

Misalnya, pada kasus pemaksaan kontrasepsi, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah melarang adanya larangan pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, bahkan pada kasus penyandang disabilitas—kasus ini dianggap sebagai delik biasa dan hukuman yang dikenakan mengalami pemberatan. Pasal dalam UU TPKS ini dapat mengriminalisasi keluarga dan tenaga kesehatan yang melakukan pemaksaan kontrasepsi terhadap penyandang disabilitas. Oleh karenanya, titik berat perhatian terhadap kontrasepsi dalam pelayanan kesehatan adalah keberadaan informed consent yang memperhatikan spektrum penyandang disabilitas intelektual itu sendiri. Sehingga dalam menentukan kontrasepsi akan sangat bergantung dengan prinsip autonomi dan kesadaran akan ketubuhan.

Dalam arus utama kebijakan kesehatan reproduksi pada penyandang disabilitas, pemerintah telah memberikan fokus terhadap isu kontrasepsi disamping hak-hak reproduksi yang berkaitan dengan kehamilan. Namun, perlu disadari bahwa sering kali hak-hak atas reproduksi seperti kontrasepsi ini bekerja pada ruang privat, yang pengawasannya akan menjadi persoalan lain, terutama pada intervensi terbatas yang dapat dilakukan. Kita harus menyadari bahwa perlindungan hak reproduksi yang sama bagi semua orang adalah tugas negara yang implementasinya melibatkan masyarakat luas dan pada lingkar-lingkar lebih kecil yakni keluarga. Keutuhan pemahaman diperlukan dalam menyoal isu hak reproduksi bagi para penyandang disabilitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *