Sejak akhir tahun 2018, Yayasan SAPDA mendapatkan kesempatan untuk melakukan implementasi program respon bencana di kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala provinsi (Pasigala) Sulawesi Tengah. Tanggung jawab ini tidak serta merta diberikan kepada Yayasan SAPDA yang sedari awal konsen pada isu disabilitas, perempuan, dan anak. Keterlibatan SAPDA bersama Oxfam berawal dari tahun 2015, saat 2 staf yakni Sri Lestari dan Imam Sibaweh mengikuti simulasi bencana yang dilaksanakan oleh Oxfam beserta mitra Oxfam di Bogor, disitu SAPDA memiliki kesempatan untuk memberikan masukan respon bencana yang inclusive dan berperspektif disabilitas kepada lembaga Oxfam. Sehingga masukan-masukan yang diberikan oleh SAPDA menjadi perhatian Oxfam untuk memulai kerjasama dengan SAPDA dalam memberikan perhatian terkait persoalan penyandang disabilitas.
Sholih yang saat ini menjadi koordinator program respon bencana di Pasigala bercerita bahwa:
“terdapat sebelas pilar dalam Knowledge Hub Oxfam–mitra, dimana salah satunya adalah pilar kesiapsiagaan bencana, WASH (Water And Sanitation and Health promotion) dan EFSVL (Emergency Food Security and Vulnerable Livelihood) adalah salah satu sektor yang menjadi ujung tombak di isu penanggulangan bencana oleh lembaga Oxfam, sedangkan Gender, Inklusi Sosial, dan Child Protection menjadi isu lintas sector dimana SAPDA didalamnya. Setelah melalui proses pelaksanaan berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Oxfam, SAPDA memiliki posisi yang cukup penting dalam cross-cutting isu sehingga visi-misi yang dimiliki oleh Yayasan SAPDA menjadi penting untuk masuk kesemua pilar tersebut, karena berbicara tentang disabilitas adalah berarti juga berbicara tentang isu lintas sektor”.
Saat mulai menerima bantuan dan bekerja sama dengan Oxfam selama 6 bulan, dimulai pada bulan Oktober 2018 lalu dan dan direncanakan akan berakhir pada Maret 2019 ini, SAPDA memiliki beberapa tugas utama, yakni memberikan pemahaman tentang disabilitas pada semua staff JMK Oxfam, mainstreaming disability pada desa dampingan serta mulai membentuk masyarakat yang inklusi dengan memberikan penyadaran tentang disabilitas kepada masyarakat dan juga perangkat desa, dan juga melakukan pendataan dan analisa kebutuhan penyandang disabilitas dalam situasi bencana melalui workshop/ FGD/ pelatihan kepada masyarakat, perangkat desa, tokoh masyarakat, penyandang disabilitas dan keluarganya serta assessment door-to-door kepada penyandang disabilitas setempat terkait kebutuhan penyandang disabilitas dalam situasi kebencanaan.
Berbicara program, maka juga berbicara tentang data, SAPDA bersama dengan Oxfam dan jaringan, sejak dimulainya program telah mengumpulkan data penyandang disabilitas di 14 desa dari 32 desa dampingan yang ada dan menjadi target pendataan. Terdapat sekitar 600 penyandang disabilitas dengan presentase yang seimbang antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Empatbelas desa tersebut diantaranya masuk dalam wilayah Kabupaten Sigi, yakni Desa Sambo, Rogo, dan Pulu; Desa Soulove (Kecamatan Dolo Selatan); Desa Sibalaya Utara (Kecamatan Tanambulava); Desa Salua dan Bolapapu (Kecamatan Kulawi). Sedangkan di Kabupaten Donggala terdapat Desa Ketong, Rano, Pomolulu, Kamonji, Walandano (Kecamatan Balaesang Tanjung); Desa Sipi dan desa Dampal (Kecamatan Sirenja).
Salah satu bentuk kegiatan dan asistensi oleh SAPDA kepada organisasi penyandang disabilitas setempat adalah dengan memberikan capacity building (pengembangan kapasitas diri) baik bagi organisasi yang sebelumnya telah ada seperti PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia), HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia), Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia), dan Paladi Palu) atau yang baru dibentuk yakni OPD (Organisasi Penyandang Disabilitas) di daerah kota.
Selain bekerjasama dengan JMK Oxfam dalam pelaksanaan program tanggap bencana, Yayasan SAPDA secara kelembagaan juga mengajak program Mamacash dan MFAT New Zealand untuk turut serta, yang mana secara khusus program Mamacash menyasar kepada perempuan disabilitas atau perempuan dengan anggota keluarga disabilitas, sedangkan MFAT New Zealand berfokus pada pembangunan percontohan latrin atau MCK (Mandi Cuci Kakus) yang aksesibel.
“Dana yang berasal dari Mamacash ini pengalokasiannya berbeda dengan dana yang berasal dari JMK Oxfam”, terang Sholeh.
“Dana yang berasal dari Mamacash, dialokasikan untuk perempuan dengan anggota keluarga disabilitas dan perempuan disabilitas dan dana dari MFAT New Zealand kita alokasikan untuk membangun percontohan latrin atau MCK yang akses untuk teman-teman disabilitas” lanjutnya.
Dari kriteria yang ditargetkan oleh program Mamacash untuk perempuan disabilitas dan perempuan dengan anggota keluarga disabilitas hingga saat ini didapat data sebanyak 300 penyandang disabilitas. Kemudian data ini digunakan oleh Yayasan SAPDA untuk pengadaan bantuan dan distribusi berupa alat-alat kebersihan diri seperti pampers dewasa, pampers anak, pembalut, dan alat bantu BAB (Buang Air Besar); alat bantu gerak seperti commode chair, kursi roda dewasa, kursi roda anak-anak, kursi roda bagi celebral palsy, canadian, kruk, dan quadro port.
Setelah berjalannya program dan kegiatan selama 4 bulan terakhir, SAPDA akan terus melakukan pendampingan kepada masyarakat khususnya masyarakat penyandang disabilitas dengan memberikan mainstreaming gender dan disability, memberikan capacity building tentang advokasi kepada pemangku kebijakan/ pemerintah, dan memperkuat pijakan SAPDA sendiri di wilayah Indonesia Timur yakni dimulai dari Palu, Sulawesi Tengah.