Mendengar Cerita Dinamika Pendampingan Disabilitas Tuli Pelaku Tindak Pidana

Gambar berisi 15 orang duduk melingkar mengelilingi ruangan diskusi. Teks: DISKUSI KELOMPOK TERARAH, SITUASI SISTEM RUJUKAN PENANGANAN KBGD DI 3 DAERAH

Penyedia layanan dan aparat penegak hukum di Kabupaten Bantul, DIY, membagikan cerita pengalaman mereka saat mendampingi penyandang disabilitas Tuli yang menjadi pelaku tindak pidana kekerasan. Berbagai tantangan jamak ditemui, mulai dari sulitnya mendapatkan akses Juru Bahasa Isyarat (JBI) hingga menentukan metode komunikasi yang tepat di dalam proses pemeriksaan.

Cerita tersebut dibagikan dalam kegiatan diskusi kelompok terarah (FGD) Sistem Rujukan Berbasis Pemenuhan Akomodasi yang Layak bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada akhir Mei lalu.

Kesulitan mendapatkan akses JBI diceritakan oleh Kamal, peserta dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resort (PPA Polres) Kabupaten Bantul. Diketahui, status penyandang disabilitas Tuli yang merupakan pelaku tindak pidana kekerasan cukup dipersoalkan oleh beberapa lembaga yang bergerak pada isu disabilitas.

“Walaupun kita melihat pelaku masih bisa mengerti bahasa umum, kita tetap membutuhkan penerjemah bahasa isyarat, karena ini adalah proses hukum. Kami minta bantuan ke mana-mana. Tetapi semuanya enggak mau memberikan pendampingan, hanya karena dia (teman Tuli) adalah pelaku. Kami sampai bingung bagaimana nanti pemeriksaannya,” tuturnya.

Arini, koordinator layanan penanganan kasus kekerasan berbasis disabilitas Rumah Cakap Bermartabat (RCB) SAPDA mengatakan bahwa sebagian penyedia layanan dan organisasi disabilitas di DIY memang enggan menyediakan JBI bagi pelaku sebagai bentuk sikap di dalam isu kekerasan. Mencari JBI yang bersedia bekerja secara sukarela pada akhirnya mau tidak mau menjadi jalan keluar.

“Itu yang bisa dilakukan, walaupun tidak banyak teman-teman JBI yang mau voluntary. Tapi sejak awal saya sudah pernah menyampaikan kepada mereka, bahwa di dalam penanganan kasus, ada tidaknya biaya itu sangat tergantung pada institusi. Saya kasih gambaran elek-eleke memang. Tapi ya kayaknya ojo ngarep,” jelas Arini.

Setelah mendapatkan akses JBI sukarelawan, tidak lantas membuat pemeriksaan menjadi lebih efektif. Pelaku masih terlihat kesulitan memahami proses komunikasi; atau kemungkinan lainnya, pelaku memanipulasi keterangan. “Proses pemeriksaan memakan waktu sampai 6 jam, tetapi sulit membuat pelaku mengakui perbuatannya. Kita sudah melaksanakan pemeriksaan dan hasilnya pun tidak signifikan. Tetapi, dari keputusan pimpinan, kita harus tetap melaksanakan penegakan hukum,” tutur Kamal.

Situasi tersebut juga masih terjadi sampai pada pemeriksaan di ruang persidangan. Sampai akhirnya pendamping dan pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pendampingan memutuskan untuk menggunakan foto-foto yang menggambarkan tempat kejadian perkara sebagai alat peraga.

“Dan benar, ternyata dengan melalui gambar ril itu cukup membantu proses. Yang saya apresiasi di sana, hakim memberikan keleluasaan kepada pendamping, para juga merasa nyaman dan tidak kikuk dalam memberikan penjelasan di hadapan hakim,” kata Arini.

Sebagai informasi, FGD ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penanganan kasus KBGD yang dialami oleh penyandang disabilitas, serta informasi terkait pelaksanaan sistem rujukan berbasis pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas korban KBGD. Selain Bantul, diskusi yang sama juga melibatkan penyedia layanan dari daerah lain, yakni Jombang dan Garut.

Kegiatan ini merupakan bagian dari langkah advokasi perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas korban kekerasan yang terlaksana dengan dukungan pemerintah Australia melalui program Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Temuan-temuan yang diperoleh di dalam diskusi ini akan digunakan untuk mendukung penyusunan kertas kebijakan terkait sistem rujukan inklusif yang akan diadvokasikan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

“Setelah ada policy brief, harapannya KemenPPPA bisa menyusun kebijakan tersebut, baik kebijakan secara terpisah, ataupun kebijakan yang terpadu dengan kebijakan-kebijakan yang lain,” kata Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *