Dampak Pandemi bagi Disabilitas dan Benang Kusut Bantuan Sosial

Disabilitas di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 yang menimpa dunia sejak Februari 2020 menjadi pukulan berat bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas. Riset-riset terdahulu milik Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) dan teman-teman organisasi penyandang disabilitas lainnya membuktikan bahwa pandemi Covid-19 memberikan dampak besar secara ekonomi dan kesehatan bagi mereka.

Secara ekonomi, Direktur SAPDA Nurul Sa’dah mengatakan bahwa lebih dari 80% dari total 1600 responden penyandang disabilitas yang diteliti mengalami kehilangan mata pencaharian, serta penurunan penghasilan lebih dari 50%. Untuk penyandang disabilitas yang bekerja pun, hanya 10% dari mereka yang menjajaki sektor formal atau wirausaha.

“Walaupun mereka bekerja atau wirausaha itu lebih ke wirausaha kecil ya. Penghasilan mereka sebulan belum tentu sebulan 2 sampai 3 juta,” kata Nurul ketika membagikan cerita dalam webinar pembukaan program Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response to Covid-19 (ACTION) pada Rabu (18/11) lalu.

Dengan kata lain, terdapat 90% penyandang disabilitas yang hanya bekerja di sektor informal, atau menganggur dan hidup dengan bergantung pada orang lain seperti suami, istri, orang tua, dan pengampu dari pihak lainnya. “Ketika keluarganya kehilangan pekerjaan, maka ia juga akan ikut kehilangan,” kata Nurul.

Baca Juga: Uni Eropa dan Hivos Luncurkan Proyek ACTION untuk Mengurangi Dampak COVID-19 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, NusaTenggara Barat dan Sulawesi Selatan

Nurul menjelaskan bahwa kemampuan pembelanjaan yang buruk kemudian turut berpengaruh terhadap asupan nutrisi para penyandang disabilitas. Di sinilah dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mereka begitu terasa.

Kondisi kian diperparah dengan pembatasan sosial yang membuat penyandang disabilitas hanya bergantung pada layanan kesehatan online. “Atau kalau kemudian bisa offline, saat mereka ingin mendapatkan rujukan, Puskesmas yang misalnya biasanya memberikan 20 sampai 30 rujukan dalam satu hari, dibatasi mungkin hanya 10. Nah itu jadi masalah, karena hubungannya dengan obat dan konsultasi,” katanya.

Kondisi yang mungkin lebih buruk mungkin menimpa pada anak-anak penyandang disabilitas yang kehilangan orang tuanya karena terpapar Covid-19. Sebab, mereka memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keluarga. “Dimana kemudian dia harus tinggal? Dengan orang lain? Takut. Akhirnya di panti rehabilitasi atau tempat lain, itu pun belum tentu aksesibel,” jelas Nurul.

Benang Kusut Bantuan Sosial

Nurul tidak menampik bahwa kelompok penyandang disabilitas menjadi sasaran khusus bagi bantuan dari pemerintah pusat dan daerah. “Kalau dihitung-hitung, hampir 70% itu dapat, tapi tidak rutin. Bisa dalam bentuk sembako, uang. Bisa sekali, bisa tiga kali,” katanya saat menyinggung risetnya yang lain dengan responden 200 penyandang disabilitas.

Namun, bantuan yang ada selama ini dinilai Nurul belum mampu memenuhi kebutuhan khusus penyandang disabilitas. Masalah ini utamanya menimpa kelompok anak disabilitas yang memiliki kebutuhan asupan makanan dan susu berbeda dengan anak pada umumnya.

“Nah itu sepertinya karena memang belum terdaftar di dalam daftar belanja bantuan sosial ini. Kalau sembako misalnya ada beras, mie, dan minyak. Tapi apakah ada bubur bayi, susu produk A atau produk B untuk disabilitas? Belum lagi vitamin,” papar Nurul.

Selain itu, pemerintah juga dianggap Nurul belum memenuhi kebutuhan lain yang tak kalah penting, yaitu fasilitas terapi. Menurutnya, anak penyandang disabilitas sangat memerlukan terapi karena ada hubungannya dengan kemampuan mereka bertahan hidup.

“Saat kemudian orang tuanya tidak punya penghasilan lagi, anak-anak itu tidak akan mendapatkan terapi. Belum tentu juga mereka semua bisa dapat support, dukungan, dan pembiayaan dari pemerintah. Dapat jaminan juga belum tentu,” kata Nurul.

Persoalan lainnya terkait pemberian bantuan sosial bagi penyandang disabilitas adalah birokrasi. Staff program Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial (PSKBS Kemensos) RI Diandini menyampaikan bahwa selama ini pemberian bansos selalu dilakukan berdasarkan data dokumen kependudukan. Hal ini seringkali membuat seluruh kelompok menjadi tidak terjangkau.

“Bansos tunai mau pun bansos sembako memang basisnya adalah KK yang terdaftar di lokasi penerima bansos. Jadi memang agak sulit untuk teman-teman yang belum punya KTP. Kemudian, juga jika domisilinya bukan di situ. KTPnya dia dimana, tapi dia tinggal dimana. Nah itu kami agak kesulitan juga,” katanya.

Masalah ini pun diakui pula oleh Inna Athanaikal dari Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), sekaligus salah satu peserta webinar yang mengajukan pertanyaan. Ia bercerita bahwa kelompok penyandang disabilitas di Jakarta Selatan sangat sulit dalam mengakses bantuan sosial di wilayah masing-masing.

“Saat mendaftar, mereka bilangnya ada waktunya tapi tidak pernah tahu. Padahal teman-teman disabilitas di sana tidak punya mata pencaharian dan sebagian besar tinggal di pusat rehabilitasi,” kata Inna.

Menanggapi Inna, Diandini pun menyarankan agar kelompok disabilitas yang tidak mampu mengakses bantuan sosial karena persoalan administrasi, agar langsung melakukan pengaduan ke Dinas Sosial di level provinsi. “Memang kalau permasalahan ini seperti benang kusut ya, bisa bersimpul dimana-mana. Namun, tidak akan menutup kemungkinan, karena ada layanan pengaduan,” tutup Diandini.

Diskusi pembukaan program ACTION sendiri turut menghadirkan pembicara lain, yaitu Direktur Jendral (Dirjen) Kesehatan Masyarakat dari Kementerian Kesehatan RI, Direktur PSKBS Kemensos Sunarti, dan Koordinator Youth Interfaith Forum on Sexuality (Yifos) Indonesia Jihan Fairuz. Mereka menyampaikan upaya dan kebijakan masing-masing lembaga dalam membantu kelompok rentan selama pandemi Covid-19.

Acara yang dimoderatori oleh Manajer Komunikasi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Yenuarizki ini, juga memperoleh sambutan dari Duta Besar Uni Eropa untuk Brunei Darrusalam dan Indonesia Vincent Piket, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPBD) Wisnu Widjaja, dan Direkrut Regional Hivos Asia Tenggara Biranchi Upadhayaya.

Baca Juga: Sapda Luncurkan Hasil Assesment Dampak Covid-19 terhadap Penyandang Disabilitas di DIY