Pembangunan layanan yang inklusif bisa dengan mudah diwujudkan jika ada sinergi antara pemerintah dengan organisasi penyandang disabilitas (OPD) dan komunitas masyarakat sipil. Inilah yang menjadi poin penting dari paparan Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Sa’dah dalam diskusi Inovasi Daerah dalam Mendorong Pelayanan Dasar yang Inklusif, Kamis (19/11) lalu.
Sinergitas bisa diwujudkan dengan adanya upaya membangun bersama antara pemerintah dengan non-pemerintah. “Membangun bersama bukan lebih kepada kita memberikan dana ke masyarakat, tapi kemudian bagaimana kemudian kita memberikan inspirasi, memberikan masukan-masukan, dan mengasistensi pemerintah daerah,” kata Nurul.
Ia pun memberikan sejumlah catatan penting perihal apa saja yang bisa dilakukan OPD dan masyarakat sipil dalam membantu daerah melakukan pembangunan layanan inklusif. Yang pertama, adalah mencari kepala daerah atau Dinas terkait yang sejak awal telah memiliki komitmen untuk mewujudkan pelayanan inklusif.
“Nah dari sana, kemudian kita dekati dan berikan pelatihan atau asistensi terkait dengan hak-hak penyandang disabilitas. Dan tentu saja itu harus dengan metode pendekatan yang halus dan baik,” jelas Nurul.
Selain itu, OPD dan masyarakat sipil juga harus mempelajari rencana kerja pemerintah daerah. “Dari situ kita bisa memasuki sebetulnya apa saja yang bisa kita berikan dan kontribusikan dengan jalur dan alur pemikiran dari pemerintah daerah itu sendiri,” katanya.
Setelah itu, mereka bisa langsung melakukan sejumlah kegiatan bersama pemerintah daerah, seperti capacity bulding melalui seminar, workshop, dan pelatihan. “Juga melakukan asistensi tentang bagaimana menciptakan ruang-ruang yang aksesibel, menciptakan kebijakan yang memberikan ruang kepada teman-teman penyandang disabilitas,” kata Nurul.
Kemudian, menurut Nurul, OPD dan masyarakat sipil harus meningkatkan kapasitasnya untuk menjadi mitra yang sejajar dengan pemerintah daerah. “Sehingga mereka (pemerintah) memposisikan teman-teman penyandang disabilitas dan masyarakat sipil sebagai orang lain, orang yang harus mendapatkan bantuan,” katanya.
Sebaliknya, pihak pemerintah pun, utamanya seperti Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Sosial, juga harus mendukung partisipasi OPD dan masyarakat sipil. “Jadi bukan hanya dibuka pintunya, tapi kemudian memang harus difasilitasi untuk masuk,” papar Nurul.
Nurul pun juga menyarankan agar OPD dan masyarakat sipil secara praktis membantu pelaksanaan program tertentu yang tidak tuntas dilakukan pemerintah daerah. Misalnya saja, terkait pendataan penyandang disabilitas yang umumnya sering tidak menyeluruh.
“Kalau ada yang tidak terdaftar, pasti ada gap kan. Misalnya, karena keluarga tidak mengizinkan. Nah ini sebetulnya bisa dijembatani oleh organisasi penyandang disabilitas. Nah itu bisa kemudian oleh teman-teman disampaikan ke Dinas terkait, lalu diberikan masukan berkaitan dengan instrumen, metode, atau sistem yang bisa menjangkau teman penyandang disabilitas,” paparnya.
Tidak berhenti sampai di sana, OPD dan masyarakat sipil juga perlu melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perihal betapa pentingnya mendaftarkan anak atau anggota keluarganya yang penyandang disabilitas. “Sebagus apa pun sistem kita, tapi kemudian keluarga tetap menutup diri, itu jadi persoalan,” kata Nurul.
Mendampingi
Melengkapi paparan Nurul, Kepala Subdirektorat Advokasi Peraturan Desa dari Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal Eppy Lugiarti mengatakan bahwa pemerintah daerah perlu didampingi dalam mewujudkan pembangunan layanan inklusif.
Menurutnya, pendampingan tersebut bukan hanya merupakan tugas pemerintah pusat, melainkan juga OPD dan masyarakat sipil, yang dinilai Eppy mampu menjangkau sampai ke level desa. “Juga lembaga-lembaga kemasyarakatan, ada pendamping profesional, dan juga kader di desa,” katanya.
Lebih lanjut, team leader Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia (Kompak) Anna Winoto mengatakan bahwa keterlibatan OPD dan masyarakat sipil akan membuat pembangunan layanan inklusif bisa mengakomodir kebutuhan semua pihak.
“Pembangunan itu tidak akan berkualitas kalau tidak mempertimbangkan kebutuhan dan masukan dari berbagai pihak. Akan boring dan terlalu berpihak pada mayoritas jika tidak ada suara-suara dari kaum marjinal yang masuk dalam proses rumusan kebijakan, perencanaan, dan anggaran,” kata Anna.
“Perlu effort lebih, terobosan, dan upaya yang tidak business as usual. Dan perlu kerjasama berbagai pihak, pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Perlu keroyokan, urun tangan, gotong royong agar hak tercapai bagi seluruh kaum marjinal,” sambungnya.
Diskusi Inovasi Daerah dalam Mendorong Pelayanan Dasar yang Inklusif merupakan tahap ke-4 dari perhelatan Temu Inklusi 2020, yakni program dua tahunan yang dirintis Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), sebagai suatu wadah terbuka yang mempertemukan berbagai pihak pegiat inklusi difabel.
Dalam diskusi, turut hadir pula dalam diskusi antara lain Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) Maliki, Minister Counsellor Tatakelola dan Pembangunan Manusia Kedutaan Besar Australia Kirsten Bishop, Menteri Bappenas Suharso Monoarfa, dan Direktur Jendral Rehabilitas Sosial dari Kementerian Sosial Harry Hikmat, serta Direktur SIGAB Suharto.
Selain itu juga Kepala Dinas Sosial Trenggalek Ratna Sulistyowati, Nufliyanti dari Bappeda Pekalongan, dan Kepala Dinas Sosial dan Kependudukan Aceh Syarbaini. Dalam diksusi, mereka membagikan program di daerahnya masing-masing dalam mewujudkan pembangunan layanan inklusif.