Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) menyelenggarakan roleplay uji coba aksesibilitas terhadap fasilitas di Pengadilan Agama Yogyakarta (7/12). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut atas MoU kedua lembaga, sekaligus sebagai peringatan Hari Disabilitas Internasional.
Roleplay dipandu oleh Fatum Ade dan Rini Rindawati dari divisi Woman & Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA. Turut hadir sejumlah individu dari setiap ragam disabilitas, yang secara langsung mencoba dan menilai fasilitas yang ada. Fasilitas tersebut antara lain guiding block, ram, handrail, dokumen braille, toilet, hingga Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) khusus kelompok rentan.
Secara umum, para penyandang disabilitas berpendapat bahwa fasilitas di PN Yogyakarta sudah cukup aksesibel, namun dengan sejumlah catatan kekurangan kecil. Misalnya, belum ada video pendek yang aksesibel bagi penyandang disabilitas tuli dalam memahami alur berperkara.
“Jadi ketika dia masuk, perlu ada video yang ada bahasa isyaratnya, ada subtitlenya. Videonya enggak usah panjang-panjang, sedikit saja, tapi menjelaskan dari awal masuk ke PTSP, habis itu kemana lagi, sampai ke sidang,” kata Nana, penyandang disabilitas tuli, melalui perantara Fatum Ade dari WDCC SAPDA.
Selain itu, pegangan pada ram atau bidang miring juga masih terlalu tinggi dan sulit dijangkau penyandang disabilitas yang mengandalkan kursi roda dalam bermobilitas. “Kalau agak rendah kan enak. Yang lainnya sudah tapi kurang satu lagi. Sedangkan toilet kan sudah, tinggal diganti yang diputar saja kuncinya,” kata Ida, penyandang disabilitas fisik.
Ada pun bagi Agatha, penyandang disabilitas intelektual, petunjuk-petunjuk informasi yang ada PA Yogyakarta dinilai belum cukup mudah untuk dipahami. Kendati demikian, ia senang bahwa kekurangan itu tertutup dengan adanya inisiatif petugas pengadilan yang bersedia membantu memberikan penjelasan.
“Karena mungkin kata-katanya memang bukan kata-kata hukum yang umum kita dengar. Tapi tadi diberitahu, kalau memang ada istilah atau sesuatu yang tidak kita mengerti, mereka akan menjelaskan,” kata Agatha melalui perantara ibunya, Maya.
Terakhir, Siti penyandang disabilitas netra merasa senang perihal adanya dokumen panduan peradilan dengan bahasa braille. Namun, menurutnya meja PTSP masih terlalu kecil bagi teman-teman netra dalam meraba dokumen braille.
Terlepas dari itu, Siti mengapresiasi penempatan guiding block yang tersambung langsung dengan guiding block di trotoar milik Pemerintah Daerah Yogyakarta. “Jadi kita sudah tahu kalau mau masuk pengadilan agama. Hanya mungkin yang perlu kanan kirinya itu dihaluskan sedikit, biar bisa dibedakan mana timbul mana tidak,” ujarnya.
Kegiatan roleplay ini dihadiri pula Ketua PA Yogyakarta Dedhy Supriadi dan dibimbing langsung Hakim Ketua Siti Baroroh. Kapada SAPDA dan teman-teman penyandang disabilitas, Dedhy menuturkan bahwa PA Yogyakarta sejak awal tahun 2020 telah berkomitmen untuk menjadi peradilan yang inklusif.
Dedhy bercerita bahwa PA Yogyakarta telah memiliki beberapa pengalaman mengurus perkara yang melibatkan penyandang disabilitas, antara lain tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa. “Dan respon dari mereka cukup baik, bahwa pelayanan pengadilan agama di Yogyakarta, khususnya bagi para difabel, sudah cukup memperhatikan,” kata Dedhy.
Dedhy pun berharap pengadaan fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas juga berlangsung di bangunan-bangunan di sekitar PA Yogyakarta, mengingat jalan Ipda Tut Harsono dimana pengadilan ini berada merupakan pusat perkantoran dan pelayanan.
“Seperti di sini ada pengadilan, di sebelah lagi ada Taspen, kantor, dan sebagainya. Tapi saya lihat kok belum ada (fasilitas disabilitas), gitu lho? Sehingga kami memulai lah untuk di wilayah ini,” jelas Dedhy.
Selain itu, Dedhy memberikan pendapat tentang perlunya sertifikasi bagi para penerjemah bahasa isyarat, mengingat para hakim memiliki mobilitas kerja antar daerah yang tinggi. “Jadi perlu ada kesamaan bahasa. Sehingga ketika bertugas dimana saja, itu sama. Karena hakim itu di wilayah seluruh Indonesia, dua tahun sekali kita putar,” katanya.
Menanggapi Dedhy, Fatum Ade dari WDCC SAPDA menyanggah bahwa tenaga penerjemah bahasa isyarat tidak memerlukan sertifikasi serta memiliki keleluasaan, sebagaimana yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
“Bahasa isyarat tidak bisa dijadikan satu. Dunia tuli mengakui keberagaman. Bahasa isyarat berbeda dengan bahasa isyarat di Jakarta. Bahkan ada yang disabilitas tuli yang tidak bisa berbahasa isyarat. Ada juga yang kemudian hanya bisa bahasa ibu. Ada yang cuman bisa menulis. Ada yang cuman bisa mengingat bahasa bibir,” tutup Ade.
PN Yogyakarta adalah salah satu dari 11 pengadilan yang dipilih Mahkamah Agung (MA) dan mendapatkan pendanaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
SAPDA sendiri bertugas mendampingi lima pengadilan, termasuk salah satunya PA Yogyakarta. Perjanjian kerjasama antara keduanya telah dimulai sejak 9 Juni 2019 lalu. Selain itu, SAPDA di antaranya telah menjalin kerjasama dengan Pengadilan Negeri (PN) Karanganyar, PN Yogyakarta, dan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta.