Bagaimana Menciptakan Sistem Pendataan Disabilitas yang Efektif?

Disabilitas

Pendataan merupakan kunci penting agar pemberian bantuan sosial kepada kelompok penyandang disabilitas bisa dilakukan secara merata. Namun Indonesia sendiri belum memiliki mekanisme pendataan yang valid, sehingga rencana aksi pemerintah terhadap penyandang disabilitas belum tepat sasaran.

“Bagaimana pemerintah bisa membuat program yang terbaik, yang menyasar kepada teman-teman penyandang disabilitas, saat data penyandang disabilitas sendiri masih dimana-mana?” kata Direkrur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Sa’adah saat menjadi penanggap dalam Konferensi Pers bertajuk ‘Penyandang Disabilitas Menagih Janji: Reaksi Implementasi UU No 8 Tahun 2016 di Hari Disabilitas Internasional 2020’, Sabtu (6/12).

Nurul tidak menampik bahwa Kementerian Sosial sudah melakukan pendataan kelompok penyandang disabilitas by name by addres melalui pendamping disabilitas. Kendati itu dinilainya sebagai bentuk kemajuan, Nurul masih menyayangkan adanya kekurangan sumber daya yang membuat laju pendataan tersebut masih berjalan lambat.

“Jumlah dari setiap pendamping penyandang disabilitas berapa dari setiap Kabupaten? Di Papua misalnya, di lima Kabupaten hanya ada lima (pendamping). Di Jogja, mungkin enggak sampai enam untuk lima Kabupaten/Kota. Jadi di dalam satu Kabupaten, mungkin hanya 300 dalam satu tahun yang bisa ditangkap. Lalu berapa lama bisa diselesaikan semua pendataan ini?” jelas Nurul.

Maka menurutnya solusi terbaik adalah sensus dari level desa. Nurul mengatakan bahwa sensus berguna dalam mengidentifikasi kondisi dan keberadaan para penyandang disabilitas secara lebih efektif, berikut dengan rincian potensi serta kebutuhan khususnya. “Dan tentu saja itu harus ada supporting dari misalnya Capacity Building,” tuturnya.

Data sensus tersebutlah yang kemudian bisa menjadi acuan bagi pemerintah dalam merencanakan rencana aksi nasional. “Karena tidak mungkin semua rencana aksi, semua perencanaan pembangunan bisa dilakukan tanpa ada data yang valid tentang penyandang disabilitas,” kata Nurul.

Solusi selanjutnya adalah mengintegrasikan data penyandang disabilitas dengan pusat administrasi kependudukan. Sebab selama ini, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi basis data dalam pemberian bantuan sosial, tidak mewakili kelompok penyandang disabilitas secara keseluruhan.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nusyamsi menjelasan bahwa aspek utama yang diangat dalam DTKS adalah kondisi ekonomi atau tingkat kemiskinan. Sehingga DTKS dinilainya tidak sesuai, mengingat kebutuhan penyandang disabilitas bukan hanya berakar pada ekonomi, melainkan juga aksesbilitas.

“Walaupun seorang penyandang disabilitas dalam situasi perekonomian menengah ke bawah memang harus masuk data DTKS, bukan berarti semua penyandang disabilitas ada di data DTKS. Karena tidak semua berada di ekonomi menengah ke bawah,” jelas Fajri.

Dengan mengintegrasikan data penyandang disabilitas dengan pusat administrasi, diharapkan agar data penyandang disabilitas di Indonesia menjadi lebih lengkap dan representatif. “Bahkan bukan hanya ragam disabilitasnya apa, tetapi hambatan yang dimilikinya apa,” jelas Fajri.

Namun, Fajri mengakui bahwa integrasi tersebut terkendala dengan tantangan birokrasi. “Ketika kita bicara tentang administrasi kependudukan, kita bicara ke Kementerian dalam Negeri. Tapi ketika bicara disabilitas selama ini, mindset birokrasi itu ada di Kementerian Sosial. Menyatukan dua Kementerian ini saja sulit,” katanya.

Kendala birokrasi tersebut salah satunya tercermin dalam proses pembentukan Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas. Fajir bercerita bahwa mulanya basis dari pengadaan kartu tersebut adalah data administrasi kependudukan, sebagaimana yang disepakati antara Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan jaringan penyandang disabilitas.

“Tetapi di detik-detik terakhir, saat sudah harmonisasi dan dapat acc dari eselon I Kementerian Sosial, ternyata tidak disepakati. Karena Permensos ini dianggap urusannya Kemensos, tidak melibatkan Kementerian Dalam Negeri. Akhirnya konsep penggabungan antara administrasi kependudukan dengan data yang dikelola Kementerian Sosial itu tidak terjadi,” tutur Fajri.

Solusi terakhir, perlu ada pembuatan sistem pendataan yang inklusif dengan melibatkan organisasi penyandang disabilitas (OPD). Sunarman Sukanto dari Kantor Staff Presiden mengatakan bahwa ketiadaan peran OPD di Indonesia dalam monitoring dan evaluasi, membuat pendataan penyandang disabilitas menjadi sia-sia.

“Berbagai praktik baik, assement, penelitian, yang sudah susah payah dikompilasi, dikontribusikan dalam berbagai forum, baik forum resmi mau pun tidak resmi, pada akhirnya kandas karena mekanisme yang memang belum sepenuhnya melibatkan teman-teman dari disabilitas,” tuturnya.

Menurut Sunarman, pemerintah seharusnya memberikan afirmasi langsung kepada OPD di Indonesia untuk melakukan pendataan sendiri, termasuk bertanggungjawab atas validitasnya. “Karena teman-teman OPD yang tahu betul situasi dan kondisi teman-teman penyandang disabilitas itu. Kalau selama ini kan (afirmasinya) lewat dinas, dan itu sangat kecil hasilnya,” tutup Sunarman.

Dalam konferensi pers ini sendiri, sebanyak 26 individu yang tergabung dalam Jaringan Pegiat Disabilitas Nusantara menyuarakan delapan pernyataan terkait lambatnya implementasi pemerintah atas UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pembaca dapat membaca pernyataan selengkapnya di sini.