Pandemi COVID-19 telah menaikan permintaan Alat Pelindung Diri (APD). Perubahan pasar tersebut banyak dimanfaatkan oleh kelompok penyandang disabilitas dengan menjalankan usaha produksi masker. Namun, sebagian besar dari mereka masih mengalami keterbatasan modal, sehingga membutuhkan bantuan penguatan ekonomi baik dari pemerintah maupun swasta.
Situasi ini ditemukan dalam riset Asesmen Standar dan Potensi Kapasitas Produksi Komunitas Penyandang Disabilitas Atas APD dan Tempat Cuci Tangan Ramah Disabilitas yang diterbitkan oleh Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) pada Juli 2021 lalu.
Riset sendiri dilakukan sepanjang Februari 2021, dengan melibatkan kepada 79 responden penyandang disabilitas pemilik usaha produksi APD yang tersebar di Kota Jakarta Timur, Kabupaten Bogor, Kota Yogyakarta, Kabupaten Lombok Timur dan Kota Makassar.
Menurut hasil wawancara dengan responden, menurunnya nilai modal usaha di tengah pandemi disebabkan oleh harga bahan baku yang semakin tinggi, produk yang dihasilkan kurang terserap oleh pasar dan beralihnya fungsi modal untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga.
“Kemudian, bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah selama ini belum sepenuhnya menjangkau usaha kecil yang benar-benar membutuhkan. Selain karena manajemen bisnis mereka yang bersifat sederhana, mayoritas usaha kecil juga tidak mampu menyediakan jaminan,” demikian salah satu kutipan riset.
Riset juga menemukan menurunnya nilai modal memberikan dampak kepada banyak hal, salah satunya yakni membuat penyandang disabilitas sulit mengeksplorasi beragam metode pemasaran yang baru. Riset tersebut menemukan bahwa sebagian besar dari mereka masih berfokus pada metode pemasaran manual tanpa memanfaatkan teknologi internet.
“Cara yang paling populer adalah menjualnya berdasarkan pesanan, yang dilakukan oleh 60 responden. Cara pemasaran populer kedua yaitu menjualnya langsung kepada konsumen, yang diterapkan oleh 43 responden. Ada pun sisanya menjualnya secara daring maupun menitipkannya ke toko ataupun apotek, yang masing-masing diterapkan 10 responden dan 4 responden,” demikian hasil riset.
Selain itu, keterbatasan modal juga membuat penyandang disabilitas memiliki kapasitas produksi masker yang rendah. Riset tersebut menemukan bahwa 60 responden mengaku hanya mampu memproduksi masker kurang dari 500 pcs dalam 1 bulan.
“Sedangkan kapasitas produksi masker sebesar 500 sampai 1000 pcs dalam 1 bulan ditemukan pada 11 responden. Selanjutnya yang memiliki kemampuan produksi masker lebih dari 1000 pcs hanya 8 responden,” kata hasil riset.
Riset juga menemukan bahwa kapasitas produksi masker tersebut berkorelasi dengan jumlah karyawan yang dipekerjakan. Responden yang hanya mampu memproduksi masker di bawah 500 pcs sebulan dipastikan mengoperasikan usaha produksi maskernya secara mandiri. Responden baru mampu menembus kapasitas produksi di atas 500 pcs sebulan ketika mempekerjakan karyawan.
Karena itu, riset ini pun merekomendasikan adanya pemberian modal dari pemerintah maupun swasta kepada penyandang disabilitas yang menjalankan usaha produksi APD. Harapannya modal bisa membantu mereka mengeksplorasi beragam metode pemasaran modern sekaligus meningkatkan kapasitas produksi melalui penambahan tenaga kerja.
“Selain itu, bantuan modal juga bisa menjadi stimulus yang baik dalam rangka meningkatkan ekonomi pengusaha penyandang disabilitas. Selain membantu menggerakan usaha mereka, harapannya hibah modal dapat menimbulkan efek domino: mendorong konsumsi rumah tangga turut bergeliat,” tambah riset tersebut.
Tak Cukup Sekedar Modal
Selain pemberian modal, pemerintah maupun swasta juga diharapkan dapat melakukan bentuk penguatan ekonomi lainnya. Penguatan ekonomi pertama yaitu lebih aktif dalam memberdayakan usaha mikro APD penyandang disabilitas. “Ini bisa dilakukan dengan langkah sederhana. Contoh, ketika pemerintah melakukan pengadaan masker, ini bisa dilakukan dengan melibatkan langsung UMKM penyandang disabilitas,” menurut hasil riset.
Penguatan ekonomi kedua yaitu pemberian akses kredit lunak. Namun, langkah ini perlu diikuti dengan pendampingan lebih lanjut, agar usaha mikro APD penyandang disabilitas dapat memenuhi prasyarat-prasyarat yang diatur oleh lembaga keuangan maupun mitra kerjasama.
Penguatan ekonomi ketiga yaitu menyelenggarakan pelatihan usaha, agar para penyandang disabilitas mampu memproduksi APD yang tidak hanya sesuai dengan standar kesehatan yang telah ditetapkan Badan Kesehatan Dunia dan pemerintah, tetapi juga aksesibel sesuai dengan ragam disabilitas yang ada.
“Pelatihan juga perlu menyentuh konsep-konsep dasar tentang manajemen keuangan dan pengelolaan usaha. Ini penting karena hasil asesmen memperlihatlkan bahwa kebanyakan usaha mikro APD milik penyandang disabilitas masih beroperasi dengan pengelolaan dan manajemen keuangan yang sederhana,” kata hasil riset.
Penguatan ekonomi keempat yaitu melakukan intervensi untuk mengoptimalkan metode pemasaran secara daring dengan memanfaatkan Facebook sebagai salah satu media sosial yang digunakan mayoritas responden. “Ini sekaligus sebagai bentuk adaptasi atas meningkatnya tren jual beli daring selama pandemi,” menurut riset tersebut.
Penguatan ekonomi kelima yaitu membentuk jejaring antar usaha mikro APD penyandang disabilitas. “Jaringan dan organisasi penting menjadi ruang untuk saling berbagi pengalaman usaha, mempermudah pembentukan izin usaha, dan mendorong penyampaian aspirasi,” demikian menurut riset.
Penguatan ekonomi terakhir yaitu memberikan proteksi kepada usaha mikro APD penyandang disabilitas. Pemerintah pusat dapat mengajak masyarakat maupun pemerintah daerah untuk peduli terhadap produk lokal usaha kecil. “Tanpa adanya perlindungan, UMKM akan terus bergantung pada bantuan,” kata asesmen tersebut.
Masker Masih Mendominasi
Sementara itu, riset ini juga menyimpulkan bahwa masker masih menjadi jenis APD yang paling dominan dipilih untuk diproduksi oleh usaha mikro penyandang disabilitas. Dari total 79 responden yang dilibatkan di dalam riset, 71 di antaranya merupakan produsen masker.
“Jenis APD terbanyak di urutan kedua yang diproduksi adalah tempat cuci tangan, yaitu 5 responden. Kemudian hazmat diproduksi oleh 5 responden. Ada pun sisanya adalah pelindung wajah dan cairan pembersih tangan yang masing-masing diproduksi oleh 1 responden,” menurut hasil riset.
Berdasarkan daerahnya, penyandang disabilitas produsen masker paling banyak ditemui di Kota Jakarta Timur dan Kabupaten Bogor, dimana masing-masing terdapat 16 responden. Sedangkan Kabupaten Lombok Timur dan Kota Makassar masing-masing memiliki 14 penyandang disabilitas yang memproduksi masker. Sementara penyandang disabilitas produsen masker di Kota Yogyakarta hanya sebanyak 12 reponden.
Riset juga menemukan bahwa para penyandang disabilitas menerima permintaan paling tinggi pada tahun 2020 lalu, tepatnya antara Maret hingga Agustus ketika pandemi baru berlangsung di Indonesia dan masker sedang mengalami kelangkaan. Tahun ini, penjualan masker mereka justru menjadi menurun.
“Saat periode itu, responden bisa memperoleh pesanan masker paling banyak hingga 10.000 pcs. Satu responden di Kota Yogyakarta mengaku pernah melayani permintaan masker untuk untuk penyandang disabilitas tuli sebanyak 1.900 pcs. Penjualan kemudian menurun signifikan selama awal tahun 2021,” demikian menurut hasil riset.