Rujukan kasus adalah proses pelimpahan wewenang kepada lembaga atau penyedia layanan lain untuk mempermudah penanganan dan pendampingan kasus. Sedangkan sistem rujukan adalah layanan yang diberikan kepada korban melalui komunikasi dan koordinasi antar lembaga pengada layanan berdasarkan kebutuhan korban guna mendapatkan pemulihan secara komprehensif. Sistem rujukan merupakan sistem yang harus menjiwai dan mendukung kinerja para pemangku kepentingan demi berjalannya SPPT-PKKTP (Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan); terutama antara pihak aparatur penegak hukum dengan pendamping korban.
Misalnya, agar korban siap dalam memberikan keterangan, maka Penyidik dapat merujuk korban kepada pekerja sosial, psikolog atau psikiater agar korban dipulihkan terlebih dahulu kondisi psikologisnya. Demikian pula ketika Penuntut Umum atau Hakim mendapati korban dalam proses persidangan belum didampingi oleh pendamping, maka mereka dapat merujuk korban ke lembaga pengada layanan yang menyediakan pendampingan hukum agar selanjutnya korban memperoleh pendampingan selama menjalani proses peradilan.
Penyebab, Tujuan, dan Bentuk Rujukan Kasus
Penyebab sistem rujukan:
- Alamat/domisili korban di luar daerah atau bukan termasuk wilayah layanan suatu lembaga;
- Keterbatasan SDM, baik dalam hal jumlah maupun kemampuan aparatur;
- Keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung akomodasi yang layak bagi perempuan dan anak disabilitas;
- Keterbatasan sumber daya keuangan;
- Ketiadaan layanan yang dibutuhkan korban.
Tujuan Sistem Rujukan:
- Menyampaikan hak-hak korban dan memastikan bahwa perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan mendapat hak haknya;
- Melakukan pendampingan hukum mulai dari proses pelaporan serta pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi korban, di kantor Kepolisian;
- Melakukan proses pendampingan di kantor Kejaksaan apabila masih dibutukan alat bukti serta pembuatan BAP tambahan;
- Melakukan proses pendampingan di Pengadilan;
- Memastikan pendampingan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dari ragam disabilitas korban.
Bentuk sistem rujukan:
- Rujukan Lepas: Rujukan lepas berarti Lembaga perujuk melimpahkan sepenuhnya kewenangan penanganan kasus kepada lembaga penerima rujukan. Ini berarti, tanggungjawab pemberian layanan sepenuhnya berada di tangan lembaga penerima rujukan. Konsekuensinya, lembaga perujuk harus memberikan semua berkas perkara kepada lembaga penerima rujukan. Apabila korban adalah penyandang disabilitas, maka lembaga perujuk juga harus menginformasikan kepada lembaga penerima rujukan bahwa korban mengalami disabilitas dan membutuhkan akomodasi yang layak.
- Rujukan Sinergi: Dalam praktik rujukan sinergi, lembaga layanan saling berbagi sumberdaya yang dimiliki dalam penanganan sebuah kasus untuk memastikan korban mendapatkan layanan dengan baik. Sumberdaya yang dimaksud dapat berbentuk anggaran, sumber daya manusia, dan/atau sarana prasarana.
Sistem Rujukan Ideal Berbasis Akomodasi yang Layak
Sistem rujukan ideal berbasis akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas merupakan rujukan antar lembaga layanan yang mempertimbangkan aspek kebutuhan khusus dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Salah satu prinsip utama dalam pelaksanaan sistem rujukan ini adalah adanya penilaian personal, sebuah instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan akomodasi yang layak penyandang disabilitas. Penggunaan penilaian personal telah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang Penyandang Disabilitas telah memberikan perlindungan lebih kepada perempuan dan anak disabilitas dari diskriminasi berlapis dan tindakan kekerasan, termasuk eksploitasi seksual. Undang-undang tersebut juga mengamanatkan adanya Unit Layanan Informasi Tindak Cepat bagi perempuan dan anak disabilitas dan penyediaan rumah aman bagi perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan. Ketentuannya sendiri diatur dalam Pasal (125) sampai dengan Pasal (127).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengamanatkan adanya perlindungan lebih bagi perempuan dan anak disabilitas dikarenakan kerentanannya. Dalam Pasal (6) dan Pasal (7), Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas memandatkan agar negara mengambil langkah-langkah terkait perlindungan bagi perempuan dam anak disabilitas.
Rezim hukum perlindungan anak di Indonesia juga telah memberikan perlindungan lebih bagi anak disabilitas. Pasal 70 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak penyandang disabilitas. Lebih spesifik bagi anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, Undang-undang ini juga mewajibkan negara untuk menyediakan aksesibilitas dalam setiap tahapan proses hukum. Pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun juga mengamanatkan hal yang serupa.
Sementara Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak mengamanatkan secara khusus mengenai pelindungan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun demikian, disana diatur bahwa korban berhak didampingi oleh relawan pendamping. Selain itu, korban juga berhak mendapatkan bantuan hukum dari advokat, pemeriksaan dari tenaga kesehatan dan memperoleh pembimbing rohani. Ini berarti perlu ada sistem rujukan antar pihak pemberi layanan.
Pelaksanaan sistem rujukan berbasis akomodasi yang layak juga perlu memperhatikan prinsip berikut:
- Sepengetahuan Korban: Rujukan harus dilakukan dengan terlebih dahulu meminta kesediaan korban/ klien. Korban/klien berhak mengetahui keseluruhan informasi tentang profil lembaga penerima rujukan. Korban perlu memahami layanan yang akan diberikan serta proses rujukan yang disepakati antara lembaga perujuk dan lembaga penerima rujukan.
- Tanggung Jawab yang Sama: Lembaga penerima pengaduan (lembaga perujuk) dan lembaga penerima rujukan memiliki tanggungjawab yang sama untuk memberikan pelayanan kepada korban sesuai dengan kesepakatan bersama.
- Berpusat pada korban: Layanan yang diberikan oleh lembaga perujuk maupun lembaga penerima rujukan harus berpusat pada kepentingan terbaik korban/klien.
- Berbagi sumber daya: Lembaga perujuk dan lembaga penerima rujukan harus bersepakat untuk berbagi sumber daya sesuai kemampuan lembaga untuk kepentingan korban.
- Akuntabilitas: Lembaga perujuk dan lembaga penerima rujukan bersikap profesional dalam memberikan layanan rujukan, menjunjung tinggi transparansi dan memastikan layanan dapat dipertanggungjawabkan kepada korban.
- Keberlanjutan: Pasca layanan rujukan, lembaga perujuk dan lembaga penerima rujukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak berupaya untuk memberdayakan korban/klien melalui berbagai kegiatan.