Review Pasal- Pasal Perda DIY No. 4 tahun 2012: Pendidikan, Kesehatan, Hukum, dan Adminduk

Yogyakarta, sapdajogja.org, SAPDA mengadakan workshop: review implementasi dan dokumen Perda No. 4 Tahun 2012 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang dihadiri oleh Bapeljamkesos, Bappeda, Komite Disabilitas DIY, perwakilan mitra, jaringan, dan komunitas penyandang disabilitas Yogyakarta antara lain HWDI (Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia), Samsara, Gergatin, Rifka, dan Sigab pada Senin, 1 April 2019 bertempat di Hotel Kalya. Workshop ini diadakan guna mereview pasal-pasal dalam Perda No. 4 khususnya pada bagian pendidikan, kesehatan, hukum, dan adminduk karena perda ini disahkan sebelum UU disabilitas No. 8 pada tahun 2016, maka ada beberapa hal yang kurang berkesinambungan dan perlunya revisi.

Peserta yang hadir dibagi menjadi empat kelompok Bidang Pendidikan dipimpin Bintang, Bidang Kesehatan dipimpin Prima, Bidang Hukum dipimpin Hanif, dan Bidang Adminduk oleh Zul dari Samsara untuk membahas dan mendiskusikan praktik baik yang telah dilakukan, tantangan, dan rekomendasi dari masing-masing kelompok yang mana selanjutnya kelompok lain akan saling memberikan tanggapan dan masukan.

 

Yudi Aditya dari Komite Disabilitas DIY mempresentasikan bagian pendidikan pada pasal 5-15. Yudi menyatakan bahwa sistem zonasi dirasa masih belum berpihak pada difabel karena belum semua sekolah mau menerima difabel, oleh karena itu sebaiknya ada sanksi bagi pihak sekolah yang menolak penyandang disabilitas. Pada praktik baik telah adanya diskusi dengan sekolah yang ada di kabupaten atau kota tentang pendidikan inklusi. Dalam rekomendasinya, Yudi mengatakan perlu lebih rutin lagi memberikan beasiswa untuk difabel dan anak dari orangtua difabel. Sedangkan untuk masukkannya Ayatullah R.K (Miko) menambahkan,  bahwa yang sering terlupakan adalah lulusan dari SLB yang sebagian besar mereka bingung dimana mau melanjutkan untuk mengasah skillnya.

Ratna Dewi Setyaningsih dari HWDI mempresentasikan bagian kesehatan pada pasal 41-57, Ratna mengatakan bahwa sebaiknya pada pasal 55 kata “miskin” seharusnya dihapus, dan data penyandang disabilitas harus diperbaharui karena faktanya masih banyak penyandang disabilitas yang belum terdata. Aksesibilitas untuk tempat-tempat umum pun masih belum ada, seperti rumah sakit dan kantor pengurusan KTP dan berkas-berkas pemerintah lainnya. Selain itu juga perlu adanya pendidikan tentang kesehatan reproduksi untuk difabel agar mereka bisa menjaga tubuhnya sendiri. Sedangkan untuk masukkannya, Laila dari LBH APIK mengatakan bahwa bantuan hukum pada penyandang disabilitas belum ada. Lain halnya dengan lembaga Sigab yang telah memiliki paralegal di lima kabupaten kota, ujar Presti.

Pada bagian adminduk, dari pasal 4 pertanyaan menarik perlu ditinjau yakni Pergub, apakah sudah ada prosedur tentang pembagian antar SKPD tentang pencatatan dan pendataan penyandang disabilitas hal itu perlu dipikirkan juga bagaimana mengintegrasikan setiap dinas, dinas mana yang sudah punya data tentang disabilitas.

Hasil dari pertemuan ini berupa dokumentasi praktik baik, daftar masukkan perbaikan dan kebutuhan harmonisasi akan digunakan sebagai advokasi amandemen perda DIY No. 4 tahun 2012. Dokumen hasil workshop ini akan dikirimkan pada Komite Disabilitas DIY sebagai masukkan dari SAPDA Yogyakarta untuk mendukung upaya advokasi amandemen perda DIY no 4 tahun 2012.