Dengan segala kondisi dan kebutuhan khususnya, para penyandang disabilitas memiliki hak atas layanan akomodasi khusus ketika berhadapan dengan hukum. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas pun mengamanatkan bahwa lembaga hukum memiliki kewajiban untuk memenuhinya.
Menurut PP tersebut, pemberian akomodasi yang layak dilakukan melalui modifikasi dan penyesuaian yang tepat. Tujuannya, demi menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan.
Tidak terbatas pada level peradilan, PP Nomor 39 Tahun 2020 juga menegaskan bahwa kewajiban untuk memenuhi akomodasi yang layak tersebut juga menjadi tanggungjawab di level Aparat Penegak Hukum (APH), seperti kepolisian.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengatakan bahwa APH wajib menyediakan akomodasi khusus dalam bentuk layanan dan sarana prasarana. Untuk pelayanan, akomodasi meliputi perlakuan non-diskriminatif, pemenuhan rasa aman dan nyaman, komunikasi yang efektif.
“Kemudian pemenuhan informasi perkembangan proses peradilan, penyediaan komunikasi audio, penyediaan standar pemeriksaan, standar hukum,” katanya, ketika menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Mekanisme Sistem Rujukan untuk Perempuan dan Anak Penyandang Disabilitas yang Berhadapan dengan Hukum pada Rabu (11/11) lalu.
Ada pun untuk sarana dan prasarana, akomodosi yang bisa diberikan meliputi ruangan, sarana transportasi, dan fasilitas gedung yang berstandar mudah diakses oleh penyandang disabilitas. “Termasuk pemberian jasa hukum dan penyediaan pendamping dan penerjemah bagi penyandang disabilitas,” jelasnya.
Di samping itu, kata Ema, juga terdapat akomodasi tambahan yang berkaitan dengan pemulihan. APH punya wewenang untuk mengajukan permintaan kepada dokter, psikolog, dan psikiater. “Atau tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan ahli yang dapat memberikan penilaian dan memeriksa kondisi kesehatan,” katanya.
Akomodasi lainnya yakni berupa penyediaan Ruang Pelayanan Khusus atau RPK. “RPK sendiri merupakan ruang yang aman dan nyaman untuk saksi, korban, dan tersangka tindak pidana yang patut diperlakukan atau perlu perlakuan khusus yang perkaranya sedang ditangani oleh Polri,” kata Ema.
Pengadaannya sendiri diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 tentang pembentukan RPK dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan Korban Tindak Pidana. Menurut Ema, landasan hukum tersebut tidak secara gamblang menyebut penyandang disabilitas, namun sudah secara tersirat menjamin perlakuan khusus terhadap kelompok marjinal.
Menanggapi Ema, Astri Kusuma Mayasari dari Direktorat Pertahanan dan Keamanan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyarankan agar pembangunan RPK bisa diarahkan di level Polres. Sebagaimana yang diketahui dari data Polri, hingga saat ini RPK hanya hadir dalam level Polda, tepatnya di 11 Polda di Indonesia.
Menurut Astri, hal itu membuat RPK terlalu jauh untuk diakses masyarakat. “Bisa saja persoalan-persoalannya lebih banyak terjadi di level Polres. Ketika menentukan Polres mana yang dibangun RPK, perlu dilihat data kekerasan terhadap perempuan dan anak di masing-masing kota,” jelasnya.
Dalam diskusi yang sama, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas Maliki mengatakan bahwa para APH memerlukan pendidikan khusus terkait pemberian layanan terhadap para penyandang disabilitas. “Saya kira bukan hanya petugas hukum, tetapi juga masyarakat” jelasnya.
Hal tersebut merupakan salah satu dari tiga target capaian yang hendak dipenuhi Bappenas sebagai terjemahan atas program Perlindungan Hak dan Akses Keadilan.
Ada pun target lainnya adalah menciptakan mekanisme panduan penanganan dan penyelesaian putusan hukum dalam perkara yang melibarkan penyandang disabilitas. “Terakhir adalah membuat standar pemeriksaan dalam proses peradilan dan tahapan pelaksanaan putusan,” kata Maliki.
Diskusi yang dimoderatori oleh Astriyani dari Justice Reform Advisor (AIPJ 2) ini merupakan bagian dari perhelatan Temu Inklusi 2020, yakni program dua tahunan yang pertama kali dirintis oleh SIGAB pada Desember 2014 lalu. Temu Inklusi merupakan wadah terbuka yang mempertemukan berbagai pihak pegiat inklusi difabel.
Menurut Astri, diskusi ini sangat penting untuk membangun sinergitas dan harmonisasi dalam pembangunan sistem rujukan peradilan yang efektif bagi penyandang disabilitas Indonesia. “Sebab saya melihat bahwa isunya sangat crosscutting di antara pemangku kebijakan yang terlalu tersebar di banyak Kementerian dan lembaga,” katanya.
Turut hadir pula dalam diskusi yakni: penanggungjawab Temu Inklusi sekaligus direktur Sigab Indonesia Suharto, Direktur Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Nurul Sa’dah Andriani, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial dari Kementerian Sosial Kanya Eka Santi, dan Amaliyah Mahsunah dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),
Selain itu juga Kepala Subdirektorat Penerapan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Bappenas) Reza Faraby, serta Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nyimas Aliah.
Diskusi juga diisi dengan testimoni sejumlah perwakilan kelompok penyandang disabilitas, antara lain Siti Sa’dah dari Persatuan Tunanetra Indonesia, Dwi Rahayu Februarti dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Sleman, serta Enik Hambarani dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).