Mewujudkan Inklusivitas di Pengadilan Tinggi Yogyakarta

Mewujudkan Inklusivitas di Pengadilan Tinggi Kota Yogyakarta

Yogyakarta – Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta melakukan kunjungan ke Pengadilan Tinggi (PT) Kota Yogyakarta, Kamis (11/12) pagi. Pertemuan ini salah satunya mengagendakan pengadaan kesepakatan perihal kerjasama penyelenggaraan peradilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

Direktur SAPDA Nurul Sa’adah dalam sambutannya menerangkan bahwa kegiatan ini merupakan tindak lanjut atas kerjasama SAPDA dengan Mahkamah Agung (MA) selama beberapa tahun terakhir. Kerjasama itu mengamanatkan SAPDA untuk mendampingi lembaga-lembaga pengadilan yang membutuhkan masukan dalam memberikan layanan yang aksesibel dan ramah bagi penyandang disabilitas.

“Kami sebagai organisasi yang fokus kepada isu penyandang disabilitas punya komitmen untuk memberikan asistensi dan mengadakan kegiatan-legiatan baik itu berkaitan dengan pemahaman tentang disabilitas, pelayanan-pelayanan teknis dan penyediaan infrastruktur serta fasilitas yang dibutuhkan,” kata Nurul.

Selain pengadaan kesepakatan, pertemuan juga mengagendakan pemeriksaan awal terrhadap fasilitas dan infrastruktur untuk penyandang disabilitas di PT Kota Yogyakarta. Fatum Ade dari Hola Woman and Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA pun menyampaikan sejumlah kritik dan masukan.

Pertama, perihal ram atau bidang miring yang masih terlalu curam. “Itu berbahaya bagi penyandang disabilitas fisik. Baik yang di depan pintu masuk, lalu di depan ruang sidang utama itu ramnya belum aksesibel,” jelas Ade setelah melakukan pemeriksaan.

Seperti yang diketahui, standar nasional kelandaian ram di Indonesia adalah sebesar 2 derajat untuk sisi lebar dan 5 derajat untuk sisi panjang, sebagaimana yang terlampir di dalam lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.

Kemudian, terkait tidak adanya guiding block atau jalur pengarah untuk penyandang disabilitas netra. “Terus untuk papan-papan petunjuk itu juga masih kurang aksesibel untuk memberikan informasi yang jelas ke teman-teman tuli terkait dimana lokasi-lokasi fasilitas pengadilan,” jelas Ade.

Selain itu, toilet juga masih kekurangan handrail. Kendati demikian, Ade mengapresiasi adanya toilet duduk, serta luas ruangan toilet yang cukup besar. “Itu bagus, karena bagi kursi roda bisa berputar di dalam dan bisa masuk,” kata Ade.

Edukasi

Setelah itu, pertemuan mengagendakan edukasi etika dalam berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Edukasi diberikan kepada kepada jajaran hakim dan panitera PT Kota Yogyakarta oleh Sholih Mudlor dari Hola Gender & Disability Social Inclusion (GEDSI) SAPDA.  

Dalam paparannya, Sholih mengatakan bahwa etika utama ketika menjalin interaksi dengan penyandang disabilitas adalah tidak asal membuat asumsi dan bertanya terlebih dahulu sebelum menawarkan bantuan. Dengan begitu, penyandang disabilitas tak akan memperoleh perlakuan yang tidak punya hubungan dengan kondisi kedisabilitasannya.

“Termasuk misalnya salah satu asumsi bahwa penyandang disabilitas itu mudah emosi. Itu asumsi yang sebetulnya keliru. Semua orang bisa emosi sebetulnya. Ketika tidak dipahami, ketika tidak diperlakukan dengan benar, ketika tidak dilihat sebagai manusia yang kemudian utuh, dipandang sebelah mata, otomatis bahwa akan emosi,” jelasnya.

Etika yang berikutnya adalah peka terhadap sentuhan. Menurut Sholih, tidak setiap waktu penyandang disabilitas perlu untuk dipegang tangan atau bagian fisik lainnya. “Pada teman-teman disabilitas fisik yang menggunakan kruk, memegang tangan itu justru akan menimbulkan problem dimana mereka akan kehilangan keseimbangan,” jelasnya.

Selanjutnya adalah menjadikan penyandang disabilitas sebagai orang pertama. Sudah menjadi sesuatu yang umum jika penyandang disabilitas datang bersama pendamping. Namun, seringkali lembaga pelayanan publik hanya berfokus berinteraksi dengan pendamping alih-alih penyandang disabilitas itu sendiri.

“Yang berurusan dengan pengadilan itu disabilitasnya, atau yang bukan disabilitas? Kalau yang disabilitasnya, ya dilayani yang disabilitas. Jangan kepada pendampingnya. Kita punya kewajiban untuk menganggap dia ada, bahwa dia manusia, bisa diajak berinteraksi, bisa diajak mengobrol” ujar Sholih.

Terakhir, adalah menghindari penggunaan istilah yang terasosiasi langsung dengan kondisi kedisabilitasannya, seperti ‘si tuli’ atau ‘si bisu’. “Gunakan istilah-istilah yang kemudian itu tidak merendahkan atau tidak membuat orang itu menjadi dinomorduakan atau menjadi rendah diri atau menjadi seolah-olah dia ada sesuatu yang berbeda dari dirinya,” katanya.

Di sela-sela pertemuan, para staff PT Kota Yogyakarta juga diajak melakukan praktik pelayanan disabilitas, seperti berlatih membawa dan menurunkan penyandang disabilitas dengan kursi roda, serta menuntun tunanetra dan penyandang disabilitas fisik yang menggunakan kruk. Sejumlah staff pun ditantang untuk merasakan menjadi penyandang disabilitas.

Upaya SAPDA pun disambut baik oleh pimpinan pengadilan. Ketua Umum PT Yogyakarta Suripto berharap pertemuan ini menjadi awal yang baik untuk menciptakan layanan peradilan yang prima bagi penyandang disabilitas. “Karena memang bagi kami pelayanan disabilitas ini masih baru, masih awam tentang teknis pelaksanaannya,” katanya.

Sementara Wakil Ketua Umum PT Yogyakarta Gatot Suharnoto juga mengucapkan terima kasih kepada SAPDA karena telah memberikan pengetahuan yang lebih dalam terkait ragam disabilitas. “Dan juga untuk koreksi tenaga dan sarana prasarana yang ada di pengadilan tinggi ini ternyata belum memberikan aksesibilitas,” tutupnya.

Sebagai informasi, sebelumnya SAPDA juga telah membuat perjanjian kerjasama dengan sejumlah lembaga peradilan lainnya, antara lain Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Pengadilan Agama Yogyakarta, dan PN Karanganyar.

Harapannya, kerjasama mewujudkan penyelenggaraan hukum yang inklusif ini semakin diperluas ke lembaga lain. Sebab, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 mengamanatkan bahwa penyediaan akomodasi layak dan khusus bagi penyandang disabilitas juga merupakan kewajiban di level Kejaksaan dan Kepolisian.