Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) bersama Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta melakukan rapat kerja pada Selasa (2/3). Kegiatan ini menghasilkan sejumlah rencana kolaborasi antar kedua lembaga di masa depan terkait mewujudkan aksesibilitas sarana prasarana dan layanan di pengadilan.
“Kami mengerti bahwa bapak ibu di Pengadilan Tinggi memiliki kesulitan untuk mengkonkritkan aksesibilitas secara cepat karena ada keterbatasan anggaran dan mutasi staf. Ini penting, karena menentukan visi dan misi aksesibilitas Pengadilan Tinggi kedepan,” kata Fatum Ade dari divisi Woman Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA.
Berdasarkan hasil rapat kerja, setidaknya terdapat lima rencana yang hendak dijalankan SAPDA bersama PT Yogyakarta dalam dua hingga tiga bulan ke depan. Pertama, berkaitan dengan capacity building dan mainstreaming disability kepada jajaran aparatur di PT Yogyakarta terkait cara berinteraksi dan melayani penyandang disabilitas.
“Agar petugas mengetahui apa saja hambatan disabilitas dan bagaimana hambatan tersebut ditransformasikan dengan program. Misalnya saya pengguna kruk, saya enggak sanggup kalau anak tangganya terlalu banyak. Jadi pengadilan tahu bahwa saya bukan butuh tangga tetap ramp. Pemahaman ini juga penting,” jelasnya.
Kedua, berkaitan dengan pengadaan sarana dan prasarana aksesibilitas fisik. Pembangunan guiding block dan hand rail disepakati akan berlangsung sampai April mendatang. Di samping itu, PT Yogyakarta akan melakukan perbaikan ramp karena kemiringannya yang masih belum ideal.
Dalam menyediakan sarana dan prasarana, Fatum Ade pun mengingatkan untuk tetap mengacu pada desain universal. “Misalnya kursi roda. Kalau sesuai kebutuhan itu akan berbeda beda setiap orang. Pengadilan tidak bisa menyediakan itu karena itu butuh proses. Orang yang datang harus diukur tubuhnya. Itu ribet,” terang Fatum Ade.
Ketiga, berkaitan degan perbaikan layanan kebijakan, dengan dimasukannya profile assessment atau penilaian personal ke dalam pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sebelumnya, ini telah diamanatkan oleh Surat Keputusan (SK) Badan Peradilan Umum (Badilum) nomor 1692 pada akhir tahun lalu.
“Penilaian personal itu akan memberikan dampak untuk identifikasi kebutuhan penyandang disabilitas. Misal disabilitas netra, dia butuh audio atau sesuatu yang bisa diraba, seperti dokumen dalam huruf braile. Misal tuli, dia butuh juru bahasa isyarat atau visual dengan running text yang membuat dia paham alur berperkara,” kata Fatum Ade.
Keempat, berkaitan dengan peradilan semu. SAPDA akan menyelenggarakan peradilan semu di pengadilan-pengadilan sebagai referensi bagi kelompok penyandang disabilitas. “Dia bisa melihat soal layanan di pengadilan, mengerti soal prosesnya, mengerti juga bahwa Pengadilan Tinggi sudah akses sehingga tidak lagi khawatir ketika berhadapan dengan hukum,” jelasnya.
Terakhir, berkaitan dengan pemantauan akomodasi yang layak dan diskusi enam bulanan, baik secara tatap muka atau jarak jauh. SAPDA pun menawarkan jejaring pihak ketiga yang bisa diajak bekerjasama mendampingi penyandang disabilitas di pengadilan.
“Misalnya butuh juru bahasa isyarat. Nanti kita akan bikin semacam directory book yang isinya alamat dan kontak dari semua jaringan yang di Jogja. Misal Pusbisindo, Pusat Bahasa Isyarat Indonesia. Atau ke SAPDA agar teman tuli bisa mendapatkan pendamping,” tutur Fatum Ade.
Atas rencana kerja itu, Kepala Bagian Umum dan Keuangan PT Yogyakarta Tasiman lantas memberikan apresiasi. Dengan kolaborasi bersama SAPDA, Tasiman berharap PT Yoyakarta mampu memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh kelompok masyarakat termasuk penyandang disabilitas.
“Kalau orang jawa itu istilahnya nguwongke. Jadi kalau kita memberikan pelayanan itu jangan dipukul rata. Apa yang kita dianggap itu benar, belum tentu tepat. Jadi kita butuh bantuan dari SAPDA supaya bisa memberikan layanan yang terbaik bagi semua, khususnya difabel,” jelasnya.
Agenda rapat kerja SAPDA bersama PT Yogyakarta ini juga dibarengi dengan pemeriksaan fasilitas bagi penyandang disabilitas yang sudah ada, serta pengukuran sarana dan prasarana yang akan dibangun dalam sehingga hingga beberapa bulan ke depan.
“Untuk sementara sarana memang seadanya. Di kantor kita sudah ada kursi roda yang sudah disiapkan sejak lama. Yang jalur kursi roda kita juga sudah ada tapi belum memenuhi standar. Untuk itulah kita akan melakukan perbaikan sarana dan prasarananya,” tambah Tasiman.
Aksesibilitas yang hendak diwujudkan ini nantinya tidak hanya bermanfaat untuk penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, melainkan juga internal pegawai PT Yogyakarta yang berstatus rentan. “Ada hakim, panitera yang sudah lanjut usia. Ada yang menggunakan tongkat dan penglihatannya sudah mulai menurun fungsinya,” timpa kembali Fatum Ade.
SAPDA sendiri diamanatkan untuk mendampingi sejumlah pengadilan yang ditunjuk Mahkamah Agung (MA) dan memperoleh pendanaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) untuk menjadi pengadilan yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Hingga kini, SAPDA antara lain telah menjalin perjanjian kerjasama dengan Pengadilan Agama (PA) Yogyakarta, Pengadian Negeri (PN) Yogyakarta, PN Karanganyar, PN Batam, PN Klaten, dan PN Pati. Seluruh kolaborasi ini terwujud berkat pendanaan dari Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ 2).