Selama pandemi COVID-19, perempuan penyandang disabilitas menghadapi kerentanan berlapis. Selain terancam mengalami kekerasan berbasis gender dan disabilitas, mereka juga kesulitan mengakses layanan kesehatan medis dan seksual reproduksi. Berbagai upaya advokasi telah dilakukan Sentra Advokasi Perempuan Difabel, dan Anak (SAPDA) bersama Disability Rights Fund (DRF) untuk membantu lebih banyak perempuan disabilitas.
“Upaya yang pertama adalah melakukan penanganan kekerasan dan konseling dengan melibatkan jejaring dan komunitas sebaya, serta melalui rujukan-rujukan dimana SAPDA ada di dalamnya,” kata Project Officer SAPDA untuk DRF Sholih Muhdlor dalam video ‘Advokasi Hak Kesehatan Seksual Reproduksi dan Kekerasan Berbasis Gender di Masa Pandemi’ yang merangkum capaian program SAPDA dan DRF selama beberapa tahun terakhir.
Selain itu, SAPDA dan DRF juga telah mendorong pemberi layanan untuk menjangkau perempuan penyandang disabilitas. “Ini dilakukan lewat menghubungkan layanan home visit yang mereka miliki dengan komunitas-komunitas perempuan disabilitas yang ada di wilayah intervensi SAPDA,” ujar Sholih.
Menurut Sholih, perbaikan layanan kesehatan belum mengimbangi naiknya angka kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas. Data milik Forum Perlindungan Korban Kekerasan Daerah Istimewa Yogyakarta (FPKK DIY) menunjukan dari 1.096 kasus kekerasan terhadap perempuan, 22 di antaranya terjadi pada perempuan penyandang disabilitas. SAPDA sendiri pernah menangani 4 di antaranya.
“Karena itu, upaya peningkatan-peningkatan layanan harus dilakukan secara simultan oleh komunitas penyandang disabilitas lewat kerjasama dengan layanan kesehatan dan juga pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,” tegas Sholih.
Lebih lanjut, Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani menambahkan bahwa SAPDA bersama DRF juga telah menjalin kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam menyusun protokol dua pencegahan dan penanganan COVID-19 untuk penyandang disabilitas.
“Pertama, protokol perlindungan khusus dan lebih kepada perempuan penyandang disabilitas dalam pandemi COVID-19. Kedua, protokol perlindungan khusus kepada anak penyandang disabilitas dalam pandemi COVID-19. Kedua protokol ini sudah diadopsi oleh Satgas COVID-19 Nasional,” jelas Nurul.
Terakhir, SAPDA dengan dukungan DRF juga telah membantu memfasilitasi perempuan penyandang disabilitas yang membutuhkan informasi dan layanan kesehatan seksual reproduksi maupun penanganan kekerasan. “Serta jaringan-jaringan yang memberikan layanan tersebut kepada perempuan-perempuan pada umumnya,” ujar Nurul.
Menurut Nurul, layanan-layanan inklusif harus terus menjangkau perempuan penyandang disabilitas, mengingat kebutuhan mereka di dalam isu kesehatan seksual dan reproduksi terus berjalan. “Ini dilakukan oleh pemberi layanan serta pemerintah pusat dan pemerintah daerah melalui kebijakan,” katanya.
Sementara itu, Rini Ririndawati dari Woman Disability Crisis Center (WDCC) SAPDA mengatakan selama perempuan penyandang disabilitas banyak mengalami ketidakadilan gender baik secara individual, di dalam keluarga, masyarakat, maupun sistem. Karena itu mereka membutuhkan dukungan sosial, ekonomi, dan psikologi.
“Karena bisa jadi mereka memikul beban ganda. Mulai dari mendampingi dan menemani anak selama sekolah online, hingga menjadi tulang punggung keluarga dan pencari nafkah utama. Mereka juga mengalami penurunan pendapatan, bahkan ada yang kehilangan pekerjaan,” jelas Rini.